Mudik
dan Arus Migrasi
Chotib ; Peneliti
Lembaga Demografi FEUI
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
KEGEMBIRAAN
umat Islam dalam menyambut Lebaran di Indonesia memiliki karakteristik khusus
dibandingkan dengan umat Islam di belahan dunia lain.
Jika
di bulan Ramadhan secara umum umat Muslim mendapat dua kegembiraan, yaitu
saat berbuka puasa dan saat menyambut hari raya, umat Muslim di Indonesia
memiliki tiga kegembiraan, dengan ”ritual” mudik ke kampung halaman sebagai
kegembiraan ketiga.
Menjelang
hari raya umat Islam ini, kata ”mudik” menjadi sangat populer di kalangan
masyarakat Indonesia karena tradisi unik ini tidak hanya dilakukan umat
Islam, tetapi juga sudah berkembang menjadi sebuah ”peribadatan” lintas
agama. Banyak umat non-Muslim yang
juga memanfaatkan momentum liburan panjang untuk bersilaturahim dengan sanak
keluarga.
Sebagai
fenomena khas masyarakat Indonesia, mudik merupakan sebuah manifestasi dari
masih kuatnya kohesi sosial masyarakat kita di tengah perubahan sosial menuju
masyarakat industri dan pasca modernisme.
Jarak sosial dan geografis yang membentuk pelapisan sosial akibat
perbedaan profesi dan struktur ekonomi
yang selama ini terjadi menjadi lebih pendek ketika arus mudik
berlangsung.
Meski
lebih kental nuansa sosialnya ketimbang nuansa religinya, mudik telah
memberikan inspirasi dan dukungan teologis yang kuat. Dalam Islam, misalnya, ajaran membangun
silaturahim atau jaringan sosial (social
capital), ukhuwah, dan saling
memaafkan telah diterjemahkan dalam kultur masyarakat kita melalui peristiwa
mudik.
Secara
etimologis, mudik berasal dari kata Betawi yang berarti ’menuju udik’ (pulang
kampung). Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata mudik yang
berlawanan dengan kata milir. Jika mudik berarti pulang, milir berarti
’pergi’. Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum
urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar
Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap, dan pulang kembali ke kampungnya
saat Idul Fitri tiba.
Sementara
menurut Mahayana (2011), fenomena mudik yang kemudian dikaitkan dengan
Lebaran mulai terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an ketika Jakarta
tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan
luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977)
disulap menjadi sebuah kota metropolitan.
Bagi
penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai
kota impian. Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang
udik yang di kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Boleh jadi, lebih dari 80 persen para
urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.
Migrasi penduduk
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa tidak ada peristiwa mudik jika tidak ada
peristiwa migrasi penduduk dari luar Jakarta menuju Jakarta. Secara
demografis, terdapat beberapa tipe migrasi penduduk, di antaranya migrasi
seumur hidup (life time migration)
dan migrasi risen (recent
migration).
Penghitungan
migran seumur hidup diperoleh dari data yang memperbandingkan tempat tinggal
penduduk pada saat pencacahan (dalam hal ini tinggal di Jakarta) dengan
tempat kelahirannya (dalam hal ini di luar Jakarta). Sementara migrasi risen diperoleh dari data
penduduk yang pada saat pencacahan tinggal di Jakarta dan lima tahun sebelum
pencacahan tinggal di luar Jakarta.
Data
Sensus Penduduk (SP) 2010 memperlihatkan jumlah migran seumur hidup di
Jakarta sekitar 4 juta jiwa. Jumlah
ini sedikit lebih besar daripada data yang diperlihatkan oleh SP 2000, yaitu
sekitar 3,5 juta jiwa. Dari perbandingan kedua data ini, sementara dapat
disimpulkan, ada tambahan penduduk yang masuk ke Jakarta sebesar lebih kurang 500.000 jiwa selama
kurun waktu 10 tahun. Angka ini
relatif mirip dengan data migrasi risen yang masuk ke Jakarta dari SP 2010,
yaitu sebesar 600.000 jiwa, yang memperlihatkan adanya sejumlah penduduk yang
masuk ke Jakarta selama periode 2005-2010.
Baik
data sensus maupun data survei yang dilakukan Lembaga Demografi FEUI bekerja
sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
(2014) memperlihatkan bahwa 90 persen migran yang masuk ke Jakarta
berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa.
Daerah-daerah pengirim utama migran ke Jakarta adalah Jawa Tengah (37
persen), Jawa Barat (34 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (7 persen), Jawa
Timur (7 persen), dan Banten (7 persen). Sisanya para migran yang berasal
dari terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan daerah-daerah lain
di Indonesia.
Hasil
survei memperlihatkan, hampir semua pemudik dari Jakarta berangkat menuju
tempat kelahiran mereka sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pemudik yang
berangkat dari Jakarta sekitar 4 juta jiwa jika dikaitkan dengan jumlah migran
semasa hidup yang masuk ke Jakarta berdasarkan SP 2010.
Namun,
bisa jadi tidak semua migran tersebut pergi mudik pada tahun ini dengan
berbagai alasan. Karena itu pula, hasil survei ini memperlihatkan perkiraan
pemudik tahun 2014 dari Jakarta sebesar 3,6 juta jiwa.
Sejalan
dengan distribusi daerah asal (tempat kelahiran) migran di Jakarta sebagaimana disebutkan di atas,
distribusi daerah tujuan mudik juga diperkirakan menuju tempat-tempat yang
sama. Para penentu kebijakan yang
menangani persoalan arus penduduk ini hendaknya memperhatikan dan memfokuskan
diri pada distribusi interaksi spasial antara Jakarta dan daerah-daerah lain,
terutama di Jawa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar