Presiden
Baru tanpa Bulan Madu
Dahlan Iskan ;
Ketua Umum Serikat
Perusahaan Pers, Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 24 Juli 2014
INILAH
presiden baru tanpa bulan madu. Sebuah tamsil yang pas untuk Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Seruannya di malam kemenangan untuk jangan bikin
perayaan, dan salam dua jari yang harus langsung diubah menjadi salam tiga
jari, menandakan pengantin baru ini benar-benar tidak punya waktu untuk honeymoon.
Saya
mendukung semua itu. Tentu saya juga memahami kalau sebagian relawan sewot. Ada di antara mereka yang
berpendapat sewajarnyalah sebuah kerja keras yang membuahkan hasil gemilang
dirayakan.
Ada
beberapa faktor yang membuat sebaiknya memang tidak diperlukan bulan madu.
Pertama, kemenangan Jokowi adalah kemenangan tipis, 53 persen. Beda dengan
Pak SBY yang menang lebih dari 60 persen.
Kedua,
pesaing Jokowi tidak menerima kekalahannya dengan legawa. Bahkan, kelihatannya berbagai usaha untuk menggagalkan
kemenangan itu akan dilakukan di semua front: hukum dan politik.
Ketiga,
kondisi ekonomi lagi sangat kurang baik: kurs rupiah, defisit neraca
perdagangan/pembayaran, ancaman defisit anggaran, besarnya subsidi energi,
dan banyak lagi.
Kini
semua itu harus diselesaikan dengan kerja. Tidak bisa lagi dengan pidato atau
selebaran.
Maka
sudah sewajarnya Jokowi-JK tidak menghabiskan waktu untuk berbulan madu.
Harus langsung kerja. Pekerjaan pertama adalah menjalin kerja sama dengan
pemerintah yang sekarang. Terutama untuk menggodok RAPBN tahun depan.
Pengajuan
RAPBN 2015 adalah wewenang Presiden SBY. Namun, yang akan melaksanakan APBN
itu adalah Presiden Jokowi. Jangan sampai Pak Jokowi bekerja berdasar
anggaran yang dia tidak tahu alokasinya. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa
dia tidak bisa mengerjakan apa yang dia janjikan dalam kampanyenya selama
ini.
Padahal,
janji kampanye itu akan ditagih. Penagihannya pun kelihatannya akan sangat
keras. Ingat, Koalisi Merah-Putih akan memelototi semua janji Jokowi dengan
mata sampai mendelik. Mereka yang saat ini memosisikan diri sebagai relawan
bisa berubah menjadi kelompok kritis yang mencermati kebijakan-kebijakan
pemerintah baru.
Beruntung
bahwa Pak SBY menunjukkan niat yang sangat baik untuk mengajak presiden
terpilih ikut menyiapkan RAPBN 2015. Meski Pak Jokowi baru akan dilantik 20
Oktober, Pak SBY akan mengajak presiden terpilih untuk membahasnya.
RAPBN
2015 sekarang sedang disusun dan diajukan ke DPR bulan depan. Tidak boleh
telat. Pak Jokowi harus memasukkan program utamanya dalam RAPBN tersebut
sehingga tersedia anggaran untuk melaksanakannya tahun depan.
Misalnya,
di bidang kesehatan. Tahun ini anggaran BPJS Kesehatan hanya Rp 16,5 triliun.
Akibatnya tidak memuaskan. Banyak sekali komplain dari pasien maupun dokter.
Saya menghitung, harusnya bidang itu diberi anggaran Rp 35 triliun. Ini tidak
besar, mengingat yang menikmati adalah seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya
segelintir koruptor.
’’Menolong orang miskin jangan
tanggung-tanggung,’’ ujar Pak SBY pada suatu saat.
Contoh
lain, anggaran untuk pesantren, PAUD, dan sekolah swasta. APBN bidang
pendidikan itu besarnya seperti gajah bengkak. Sudah waktunya dialirkan
sampai jauh ke pesantren dan PAUD. Dan itu harus dialokasikan sekarang, dalam
RAPBN 2015.
Demikian
juga anggaran riset, subsidi pupuk serta benih, dan seterusnya. Dengan
demikian, tahun depan Presiden Jokowi bisa langsung bekerja.
Di
bidang politik, agenda besarnya adalah penggantian hampir seluruh anggota
BPK. Beda dengan KPK dan OJK, DPR sepenuhnya memiliki wewenang melakukan
pendaftaran, menyeleksi, dan memilih anggota BPK. Yang menyeleksi KPK dan OJK
adalah lembaga independen. Hasil seleksi diajukan ke DPR untuk dipilih.
Untuk
BPK, semua sepenuhnya di DPR. Transaksi politik akan luar biasa serunya.
Pemerintahan Pak Jokowi akan jadi sasaran pemeriksaan yang sangat politis
kalau seluruh anggota BPK yang terpilih berasal dari kalangan oposisi. Bisa
saja terjadi saling umpan bola antara BPK dan DPR yang akan sangat
menyulitkan jalannya pemerintahan.
Maka
sungguh pantas dipertimbangkan agar ada ’’kuota’’ keanggotaan di BPK.
Misalnya, 50 persen kuota diberikan untuk pejabat karir yang sudah puluhan
tahun bekerja sebagai auditor di BPK atau BPKP, baru 50 persennya kuota untuk
nonkarir. Dengan demikian, akan ada batasan agar BPK tidak dijadikan arena
politik. Atau, bahkan ada kombinasi persentase lain yang lebih hebat.
Benar-benar
pemerintahan baru yang tidak perlu berbulan madu, tidak bisa berbulan madu, dan
tidak sempat berbulan madu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar