Bapak
SBY yang Terhormat
Geger Riyanto ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 21 Juli 2014
Yang saya hormati Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Betapa janggal
memanggil Anda dengan panggilan ini. Sepuluh tahun Anda memerintah, kami
mengembangkan banyak panggilan dan atribut untuk Anda. SBY, tentu saja. Pak
Beye. Presiden yang tidak tegas. Banyak melakukan pembiaran. Pemimpin yang
lebih banyak berpikir ketimbang bertindak.
Sungguhlah sosok Anda menunaikan citra ideal seorang pemimpin
dari masa pemilihan langsung: tak berjarak dengan rakyat. Memang bukan
ketakberjarakan seorang Sukarno yang mengedepankan panggilan "Bung"
guna mencitrakan diri sebagai panglima yang berada di garis depan revolusi
bersama rakyat. Tapi, siapa yang berani memperlakukan Soeharto atau bahkan
Sukarno di publik secara tanpa hormat seperti yang dilakukan media massa,
media sosial, dan khalayak kepada Anda beberapa tahun ini?
Foto Anda mengusap kening menyebar dari ponsel ke ponsel dan
menjadi semacam emotikon untuk mengekspresikan kepeningan. Cercaan-cercaan
kepada Anda meluncur dengan ringan di antara demonstran atau perbincangan di
forum daring (online). Warga hari ini akan langsung merujuk presidennya
dengan namanya, SBY. Pada masa Orde Baru, kalau bukan aktivis atau mahasiswa
yang kontra-pemerintahan, tampaknya tak terbayang seseorang merujuk
presidennya dengan "Harto". Selalu "Pak Harto", panggilan
kesehariannya yang masih terwariskan kepada kita saat ini.
Sosok Anda, bagi kami, adalah seorang bapak biasa yang kebetulan
memperoleh mandat menjalankan tanggung jawab kepresidenan. Saat Soeharto
bergeming, diiringi cemas kami menafsirkan dirinya panjang-lebar. Apa yang
disimpannya? Apa yang akan dilakukannya? Sebaliknya, saat Anda bergeming,
kami menafsirkan Anda uring-uringan, bimbang, galau--segala sifat yang
menjadikan seseorang tampak begitu manusiawi. Tak ada aura misterius, dingin,
tak tertebak sebagaimana yang menyelubungi The Smiling General.
Namun, di balik keheningan Anda, saya setidaknya ingin percaya
bahwa Anda melakoninya bukan tanpa alasan. Apalagi semata tak berani
bertindak, sebuah alasan yang lebih-lebih tak masuk akal. Anda menginginkan
lebih dari apa pun ketenangan, stabilitas. Hanya, memang, selepas cara-cara
penindasan masa silam tak lagi menjadi pilihan, merangkul sebanyak-banyaknya
partai, kalangan, lapisan di negeri yang, sayangnya, ringkih karena
keberagamannya ini menjadi satu-satunya pilihan Anda. Tak berpihak ke
mana-mana secara tegas menjadi arsenal Anda.
Berhasilkah? Penilaian akan berbeda-beda. Tapi, faktanya, rezim
Anda adalah rezim seusai Orde Baru yang bertahan paling lama. Cukup lama bagi
kami untuk merampungkan citra-citra tak tegas Anda, sekaligus menikmati kue
pembangunan yang tentu saja disertai getir kemudaratannya--ketimpangan yang
kian tajam, koalisi tak seronok elite lokal-bisnis perusak-organ kekerasan
daerah.
Saya juga ingin karenanya percaya, kendati partai Anda mendekat
ke salah satu koalisi, guna mengamankan sejumlah kepentingan, desas-desusnya
Anda tengah menjaga agar pemilu berlangsung dengan mengindahkan aturan
permainan yang ada. Seperti yang sudah-sudah, semua tak lain agar ketenangan
yang Anda dambakan tetap tegak. Tanggal 22 ini, presiden baru diumumkan.
Semoga Bapak SBY yang terhormat akan mengukir satu lagi prestasinya, yang
tentu akan kami kenang: menghalau negerinya dari perpecahan yang tak
diperlukannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar