Indonesia
Tak Akan Rusuh
Eep Saefulloh Fatah ;
Pendiri dan Pimpinan
PolMark Indonesia,
Pusat
Riset dan Konsultasi Political Marketing
|
KOMPAS,
22 Juli 2014
SEBULAN terakhir masa kampanye, saya kerap bersua kecemasan
bahwa penghitungan suara Pemilu Presiden 2014 akan berbuah rusuh.
Inilah respons spontan saya waktu itu: jangan mudah
terprovokasi. Bukan orang lain yang akan menentukan Indonesia rusuh atau
damai, melainkan kita.
Jangan jadikan kecemasan itu sebagai sumber ketakutan yang
membuat kita batal datang ke tempat pemungutan suara atau urung memilih salah
satu pasangan kandidat. Justru buktikan bahwa kita bukan bangsa yang suka
rusuh.
Hari pencoblosan sudah lewat. Jawaban itu tak lagi memadai.
Diperlukan jawaban yang lebih kontekstual dan terperinci. Namun, pokok
argumen saya tak berubah: Indonesia tidak akan rusuh. Untuk itu, izinkan saya
menjelaskan pokok argumen ini, yang bisa dijelaskan lebih lanjut dengan dua
”teori dasar”. Pertama, teori kepentingan yang menyempit. Kedua, sebagai
konsekuensinya, teori kemarahan yang menyempit.
Kepentingan menyempit
Bagi publik luas, yaitu kita para pemilih, hari pencoblosan
adalah pemuncak alias klimaks. Pada hari-H ini, 9 Juli 2014, energi emosi
kita mengumpul setelah menjalani bulan-bulan persiapan dan masa kampanye yang
menguras energi dan melelahkan.
Syukurlah bahwa dalam konteks demokrasi Indonesia yang berskala
besar, kita punya perlengkapan ilmu statistik canggih bernama ”hitung cepat”
(quick qount). Menjelang petang, hasil hitung cepat itu sudah tersaji.
Sebagaimana terbukti dalam Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, hitung
cepat sukses memproyeksikan dengan baik hasil pemilu, jauh mendahului
penghitungan manual berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka, berkat
hitung cepat, hari-H pun jadi semakin sakral: kita mencoblos sambil menanti
hasilnya nyaris seketika.
Pada hari yang sakral itulah terjadi ”ledakan emosi” yang bukan
hanya ”menyatukan” kita dalam identitas pemilih-penentu, melainkan juga
”memecah” kita menjadi beragam pemangku kepentingan. ”Kita” terpecah menjadi
kandidat, tokoh utama partai pengusung, pendonor utama, tim inti pemenangan
di pusat, pendukung kandidat paling fanatik, pendukung partai paling fanatik,
jaringan berjenjang tim pemenangan di daerah, serta pemilih emosional dan
pemilih rasional.
Daftar para pemangku kepentingan itu adalah sebuah gradasi, dari
segmen terkecil hingga terbesar. Maka, dua kelompok terakhir, yaitu para
pemilih emosional dan rasional, adalah segmen paling besar, meliputi puluhan
juta pemilih setiap kandidat.
Pada hari pencoblosan, semua pemangku kepentingan, tanpa
kecuali, dipersatukan sebagai warga yang menanti hasil dari proses panjang
dan melelahkan yang melibatkan mereka. Namun, segera sesudah hasil hitung
cepat tersaji, kepentingan mereka memencar.
Kandidat adalah pihak yang paling berkepentingan dengan hasil
Pilpres 2014 dan keseluruhan proses formal yang berjalan selepas hari-H.
Intensi mereka untuk memperjuangkan kemenangan tak akan surut sampai titik
keringat terakhir dari ikhtiar terakhir yang dimungkinkan oleh sistem
demokrasi dan hukum kita. Mereka adalah pemangku kepentingan paling pokok dan
berdaya tahan paling panjang.
Sesudah mereka, berderet para tokoh utama partai pengusung, para
pendonor utama, dan tim pemenangan di pusat. Ketiganya punya kepentingan
sangat langsung berkaitan dengan pemenangan pilpres karena akan menentukan
masa depan mereka. Namun, intensi mereka untuk memperjuangkan kemenangan
tidak akan sekuat dan sesinambung kandidat.
Sesudah mereka adalah para pendukung fanatik kandidat dan partai
pengusung. Mereka berkepentingan untuk menang karena punya ikatan emosional
kuat dengan kandidat atau partai. Namun, intensi mereka untuk menjaga
kemenangan akan surut sejalan dengan waktu, apalagi ketika daya tahan
kandidat dan partai sudah melemah.
Segmen paling raksasa adalah para pemilih, baik yang emosional
maupun yang rasional. Pemilih emosional adalah yang melibatkan faktor
primordial (ikatan darah, asal daerah, suku bangsa, atau ras dan agama) dalam
pilihan mereka. Sementara pemilih rasional cenderung meletakkan
primordialisme itu di bawah pertimbangan integritas dan kompetensi figur dan
atau rencana kerja kandidat.
Kepentingan pemilih emosional akan kemenangan kandidat
pilihannya akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan pemilih rasional.
Namun, pada akhirnya mereka segera dipersatukan oleh kepentingan yang sama:
hidup mereka, keluarga mereka, dan lingkungan mereka harus lebih baik di
bawah kepemimpinan baru kelak: siapa pun sang pemimpin itu!
Kedua kelompok pemilih ini sama-sama membutuhkan Indonesia yang
damai, baik untuk memperbaiki hidup maupun untuk memenangi perkelahian
melawan segala keterbatasan mereka.
Para pemilih sebagai segmen terbesar akan memilih berdamai
dengan kenyataan dan menerima hasil pilpres. Kepentingan mereka akan
kemenangan semakin menyempit dan akhirnya kalah karena terdesak kepentingan
lebih besar, yaitu memenangi masa depan di bawah kepemimpinan baru yang
membawa perbaikan kebijakan dan layanan-layanan publik. Penolakan atas hasil
pilpres pun semakin hari semakin elitis.
Itulah teori ”kepentingan yang menyempit”. Jumlah massa yang
teragitasi oleh ajakan rusuh semakin hari semakin mengecil dan akhirnya
menjadi super minoritas belaka. Ia akan dikalahkan oleh super mayoritas warga
negara yang lebih bijak. Walhasil, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh.
Kemarahan menyempit
Energi kekecewaan dan kemarahan publik yang ditabung sepanjang
proses pemilu memang memuncak di hari pencoblosan. Namun, hari-hari
sesudahnya adalah cerita tentang luapan kemarahan yang menyempit.
Kemarahan kandidat dan para tokoh utama partai pengusung atas
kekalahan mereka mungkin saja berusia panjang. Bagaimanapun, mereka
mempertaruhkan nama, harga diri, pengeluaran besar sumber daya (termasuk dan
terutama sumber daya finansial), masa depan politik mereka, dan bahkan nasib
mereka di depan hukum atau peradilan pemberantasan korupsi.
Namun, umumnya anasir lain tak punya kemarahan berusia panjang
seperti mereka. Pada hari pencoblosan, kekecewaan dan kemarahan bisa jadi
dimiliki banyak pihak. Namun, semakin lama, jumlah mereka yang kecewa dan
marah semakin mengecil. Pemilik kemarahan semakin sedikit dan pada akhirnya
menjadi kelompok yang kesepian.
Kita, para pemilih, baik yang emosional maupun rasional, tak
punya cadangan kemarahan berdaya tahan panjang. Umumnya kita tak sudi
berlama-lama berkubang dalam penjara kemarahan atas kekalahan.
Bagi kita, kekecewaan dan kemarahan adalah reaksi sejenak yang
lalu mengantar kita pada kelapangan, kebijakan, dan kedewasaan. Kita percaya
bahwa kemarahan tak akan mengantarkan kita ke masa depan yang gemilang.
Alih-alih marah berkepanjangan, kita lebih memilih jalan kebaikan dan
kemuliaan: siap kalah dan siap menang sambil menata hidup lebih baik.
Setelah 16 tahun menjalani reformasi, kita tidak lagi diharu
biru psikologi politik marah dan membongkar segala sesuatu. Psikologi politik
kita sudah bergerak maju menjadi bangsa yang sedang ”memasang kembali”
segenap hal yang keliru.
Karena itu, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh. Sebab, di
atas segalanya, kita mencintai Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar