Presiden Baru dan
Mudahnya Melindungi Nelayan
M Riza Damanik ;
Ketua Dewan Pembina
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Anggota Delegasi RI untuk Perundingan
FAO VGSSF
|
SINAR
HARAPAN, 21 Juli 2014
Tepat sebulan sebelum berlangsungnya Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014, kabar gembira datang dari ruang sidang ke-31 Komite Perikanan
Dunia di Roma Italia, 10 Juni. Kali ini, Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO) mengadopsi instrumen perlindungan nelayan kecil pertama di dunia
yang disebut Voluntary Guidelines for
Securing Sustainable Small-scale Fisheries (VGSSF).
Berbekal 13 pasal, instrumen ini di antaranya mengatur pembaruan
agraria kelautan, kelayakan lingkungan kerja bagi nelayan, rantai dagang
berkeadilan, peran strategis perempuan nelayan pada hulu-hilir perikanan,
meminimalkan dampak buruk perubahan iklim, serta dukungan implementasi dan
pemantauan VGSSF untuk masing-masing negara.
Beranikah presiden terpilih kelak menggunakan panduan ini,
sebagai jalan (mempercepat) kesejahteraan sedikitnya 13,8 juta rakyat
Indonesia, yang menggantungkan penghidupannya pada sektor perikanan?
Tantangan Nelayan
Pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sejak awal telah memasukkan
agenda kesejahteraan nelayan sebagai prioritas visi-misinya; Di antaranya,
melalui pemberantasan pencurian ikan dan penyediaan bank khusus nelayan.
Namun, tawaran solusi ini belum menyentuh akar soal kemiskinan dan tantangan
nelayan ke depannya.
Pertama, ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Di Indonesia,
90 persen dari total 2,8 juta nelayan kecil hanya membawa pulang rata-rata 2
kg ikan per hari. Jika seluruh hasil tangkapan ikan tersebut langsung dijual
ke pasar, penghasilan rata-rata nelayan Indonesia hanya sekitar Rp 20.000,
kurang dari US$ 2 per harinya.
Minimnya tangkapan ikan nelayan kecil lebih disebabkan karena
tidak efektifnya instrumen negara bekerja di laut; Membiarkan kapal-kapal
berbobot besar bebas menangkap ikan di perairan kepulauan atau beroperasi
kurang dari 12 mil laut dari garis pantai.
Faktanya, 99,5 persen armada ikan Indonesia, termasuk kapal
berbobot 30-100GT, beroperasi di perairan kepulauan. Hanya 0,5 persen dari
sisanya berani berhadapan dengan kapal-kapal ikan asing di Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia (12-200 mil laut). Faktor berpengaruh lainnya adalah
kualitas lingkungan laut yang terus menurun, serta cuaca yang semakin
ekstrem.
Kedua, tidak terpenuhinya hak-hak dasar keluarga nelayan. Di
Marunda Jakarta Utara misalnya, meski jaraknya kurang dari 20 km dari Istana
Presiden, kealpaan pemerintah melindungi keluarga nelayan terlihat jelas.
Mulai dari ketidaklayakan fasilitas kesehatan dan pendidikan, sulitnya
mendapatkan air bersih, hingga kondisi permukiman dan lingkungan perairan
yang buruk. Terakhir, semakin kuatnya arus liberalisasi.
Pada akhir 2015, Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Komoditas perikanan telah menjadi 1 dari 12 sektor prioritas
pasar tunggal ASEAN. Dengan kenyataan buruknya perlindungan hak-hak nelayan
kecil, lebarnya ketimpangan pembangunan infrastruktur perikanan antara barat
dan timur Indonesia, minimnya pendidikan dan pelatihan pengolahan ikan,
hingga rendahnya dukungan teknologi, mustahil nelayan Indonesia memperoleh
manfaat dari MEA.
Jika terlambat berbenah, tidak mustahil laut Indonesia segera
dibanjiri tenaga kerja (baca: nelayan) asing, kapal-kapal bukan berbendera
merah-putih, maupun produk perikanan impor dari Thailand, Filipina, Vietnam,
dan Malaysia.
Membantu Indonesia
Perubahan paling mendasar dari VGSSF adalah meletakkan nelayan
kecil sebagai solusi mengatasi kelaparan dan kemiskinan di dunia. Jika
dijalankan, VGSSF akan memudahkan kerja Presiden Indonesia setelah 20 Oktober
2014.
Pada skala global, VGSSF memberi kepastian di tingkat
internasional kepada pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan
meningkatkan pemberian subsidi kepada nelayan kecil. Ini menjadi relevan di
tengah maraknya tuntutan negara-negara industri mempersoalkan pemberian
subsidi ke sektor perikanan. Sama halnya “gugatan” yang diterima pemerintah
Indonesia pada 2012.
Saat itu, Amerika Serikat (AS) mempersoalkan kebijakan
“Minapolitan”. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI memberi berbagai bentuk
insentif kepada para nelayan dan pembudi daya udang di sejumlah kawasan
perikanan terpadu. Argumentasi klasik di balik gugatan AS tersebut adalah
pemberian subsidi kepada para nelayan dan petambak kecil Indonesia, diduga
telah menyebabkan terganggunya harga komoditas udang di pasar dunia.
Padahal, sesuai amanat konstitusi UUD 1945, UU Perikanan, maupun
realitas lapangan, mustahil nelayan kecil Indonesia dapat berproduksi dan
memiliki daya saing tinggi tanpa dukungan dan fasilitas dari pemerintah.
Selain hal tersebut, VGSSF juga telah membuka akses pembiayaan internasional
untuk implementasi dan pemantauan instrumen perlindungan nelayan kecil di
Indonesia (Pasal 5, 6, 7, dan 13).
Pada skala nasional, VGSSF dapat membantu pemerintahan ke depan
melalui dua cara. Pertama, mengukur efektivitas kebijakan nasional dalam
melindungi nelayan kecil. Kedua, mempercepat lahirnya kebijakan perlindungan
nelayan yang lebih komprehensif, termasuk untuk memastikan kapal-kapal ikan
berbobot lebih dari 30GT tidak beroperasi di perairan kepulauan. Di tingkat
kampung, instrumen VGSSF dapat memperkuat pengakuan peran strategis nelayan
kecil Indonesia, termasuk kearifan tradisionalnya dalam mengelola sumber daya
pesisir dan laut.
Lalu, menjamin tersedianya akses pendidikan dan pelatihan guna
meningkatkan daya saing nelayan Indonesia di pasar lokal, nasional,
internasional, termasuk untuk memperbesar daya lenting nelayan kecil
menghadapi perubahan iklim (Pasal 11 dan 12). Diadopsinya VGSSF membuat
presiden dan wakil presiden terpilih 2014 tak lagi memiliki hambatan
ideologis, politis, maupun birokratis untuk segera menyejahterakan nelayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar