Sabtu, 26 Juli 2014

Indonesia dan Resolusi Konfliks Palestina-Israel

        Indonesia dan Resolusi Konfliks Palestina-Israel

Sidratahta Mukhtar  ;   Dosen Tetap Ilmu Politik
pada Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UKI.
SINAR HARAPAN, 24 Juli 2014
                                                


Bila mencermati betapa besarnya perhatian dan semangat bangsa Indonesia terhadap masa depan bangsa Palestina, sudah seharusnya pemerintah baik yang kini masih memerintah, yakni Presiden SBY maupun siapa pun presiden terpilih hasil Pilpres 2014 ke depan, untuk menyusun strategi dan peta jalan damai Palestina-Israel.

Tragedi kemanusiaan yang dialami warga sipil Palestina di Gaza merupakan momentum penting, untuk meletakkan semangat juang bangsa Indonesia kepada agenda politik yang terencana dan melibatkan masyarakat global. Sebagaimana kita ketahui, PBB gagal mencapai kesepakatan atau resolusi konflik Gaza seperti yang diharapkan masyarakat dan negara-negara anggotanya. DK PBB hanya melahirkan seruan agar perundingan damai dan dilanjutkan dengan permintaan pemberlakuan kembali gencatan senjata.

Fakta yang terjadi di Gaza, serangan-serangan yang lancarkan militer Israel telah membawa korban jiwa dalam jumlah besar yakni kurang lebih 200 orang. Ribuan lainnya juga menderita luka berat maupun ringan. Belum lagi serangan pihak Israel itu telah menimbulkan ketakutan luar biasa. Hal ini menunjukkan Israel telah mempraktikkan state terrorism (terorisme negara) terhadap warga sipil Palestina, khususnya anak-anak, ibu-ibu, bahkan tenaga medis.

Setelah menelan korban jiwa dan menghancurkan Kota Gaza, pihak Israel segera mengajukan gencatan senjata dan demiliterisasi di jalur Gaza. (Sindo, 16/7/14). Pihak Hamas yang berada pada posisi menghadapi serangan Israel, tentu saja tidak setuju dengan inisiatif PM Netanyahu tersebut.

Usulan resolusi ala Israel seperti itu diperkirakan akan menyelesaikan masalah dalam jangka pendek. Penderitaan dan dampak kemanusiaan bagi warga Gaza tentu sulit disembuhkan dalam waktu yang singkat. Apalagi, konflik Palestina-Israel telah melewati proses dan perjalanan yang panjang. Beberapa capaian yang penting adalah Kesepakatan Damai Oslo antara palestina dan Israel sekitar dua dekade lalu, pada 13 September 1993.

Israel dan PLO sepakat saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada momentum damai itu, Yaser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, duduk satu meja untuk suatu agenda perdamaian dan kedaulatan, khususnya di wilayah pusat konflik, tepi barat dan Jalur Gaza. Dua tahun sesudah itu, sempat terjadi perkembangan positif bagi kedua negara. Namun, pada 1996 terjadi kerusuhan terowongan di Masjid Al Aqsa yang dipicu pihak Israel yang bertindak di luar kesepakatan Oslo.

Pada 1998 juga terdapat kesepakatan rekonsiliasi Israel-Palestina. Namun, lagi-lagi perkembangan perdamaian seakan buntu ketika konflik kekerasan latent muncul kepermukaan. Harus diakui, bila konflik itu menyangkut agama dan sejarah suatu masyarakat-bangsa, konflik antarnegara itu sulit diselesaikan. Konflik dan konsensus dapat dengan mudah diselesaikan melalui konsep resolusi konflik internasional bila konflik itu sendiri memiliki motif sosial ekonomi.

Salah satu problem yang dihadapi dunia internasional terhadap Israel adalah, Israel terus berkemauan dan bahkan lebih kuat untuk mempertahankan wilayah kedaulatan negara dari ancaman negara-negara Arab. Itu dengan membangun persenjataan nuklir dan memperkuat fungsi intelijen, di samping memperkuat ekonomi nasional.

Sejak 1990-an, Israel sudah mengutamakan pembangunan militer guna menghadapi tipe perang baru yang didukung pengembangan industri pertahanan modern, baik melalui soft maupun hard power (Connie R Bakrie, 2013).

Mengacu kepada studi Connie, AS selalu membantu pembangunan infrastruktur militer Israel sebagai bagian dari strategi dan geopolitik Israel dalam menghadapi ancaman musuh teologis di kawasan Timur Tengah terhadap kepentingan nasional AS.

Profesor Michel Chossudovsky dalam bukunya Skenario Perang Dunia III, Israel merupakan bagian utama dari persekutuan militer dan sebagai anggota de facto NATO. Segala tindakan militernya senantiasa mendapatkan dukungan dari Pentagon dan Washington. Persenjatan nuklir Israel diperkirakan sejumlah 200-500 buah dan dikategorikan sebagai nuklir canggih yang didesain khusus untuk pertempuran di Timur Tengah. (Michael Ch: 2011)

Perkembangan muktahir Israel seperti di atas dapat dijadikan bagian dari strategi dan taktik Indonesia dalam menghadapi Israel. Artinya, Israel bukanlah entitas tunggal yang memutuskan untuk melakukan “genosida” atas warga sipil di Gaza itu.

Tindakan agresi militernya merupakan bagian dari kepentingan nasional negara-negara anggota Nato dan AS, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap perkembangan di Timur Tengah. Isu-isu pokok Barat di Timur Tengah di antaranya; ketergantungan terhadap minyak, demokratisasi dan liberalisme, dan ancaman ideologi.

Urgensi Peran Indonesia

Berdasarkan perkembangan penyelesaian konfliks Israel-Palestina di atas, sebenarnya terbuka peluang untuk membangun resolusi konflik yang berkeadilan dan sesuai prinsip kemerdekaan, HAM, dan demokrasi. Di sini, Indonesia diharapkan berperan lebih strategis dan terarah dalam agenda diplomasi terkait nasib Palestina.

Pengalaman Indonesia dalam mengatasi beberapa konfliks laten di kawasan ASEAN, seperti di Kamboja dan Laos, peranan Indonesia dalam menyatukan visi dan kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada dekade 1950-an, serta peran global Indonesia saat ini, patut dijadikan kekuatan nasional dalam mendorong penyelesaian masalah Palestina-Israel.

Usaha awal Indonesia dalam mendorong peran dan kerja sama antarnegara-negara nonblok di New York beberapa waktu lalu, memerlukan langkah strategis lebih lanjut. Power interplay yang dimainkan Indonesia seperti itu dapat melahirkan poros alternatif dalam mendorong kemerdekaan Palestina dan resolusi yang lebih komprehensif.

Di samping itu, sejumlah negara besar (major powers), seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Kanada, dan Inggris memilih sikap untuk mengecam pihak Hamas, meskipun serangan Hamas tidak membawa korban jiwa dan lainnya bagi pihak Israel. Sikap dan kebijakan luar negeri negara-negara Arab juga kurang memberikan penguatan bagi upaya mendorong resolusi konflik damai antara Palestina-Israel.

Salah satu doktrin politik SBY adalah navigating a turbulent ocean dan thousand friends-zero enemy. Asumsi dari doktrin ini, kompleksitas ancaman dan masalah politik dan keamanan global yang berdampak pada terganggunya kepentingan Indonesia.

Prof Zainuddin Djafar menafsirkan doktrin luar negeri SBY itu dengan kondisi ketika negara adidaya muncul menjadi kekuatan unilateral dalam memecahkan masalah internasional, termasuk keamanan internasional yang dapat bertentangan dengan hukum dan perjanjian internasional. (Zainuddin Djafar, 2013).

Konsep zero enemy perlu ditransformasikan ke dalam pendekatan baru, yakni penekanan pada Israel sebagai pihak negara yang dikategorikan sebagai negara penjajah bangsa Palestina. Indonesia perlu terus menggalakkan diplomasi internasional melalui penguatan aliansi strategis dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Pasifik untuk memperkuat dukungan dan solidaritas terhadap Palestina.

Oleh karenanya, pendekatan diplomasi kemitraan komprehensif tentu perlu disesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi. Fokus utama kepada penyelesaian kasus Palestina-Israel ke depan. Selain itu, Indonesia perlu mendorong dialog dan perundingan di tingkat PBB (summit) yang dapat melahirkan resolusi konflik Palestina-Israel.

Fokus diplomasi Indonesia kepada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan globa, dan perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan dan target kepentingan nasional dalam mengatasi konflik Palestina-Israel seperti itu, perlu memanfaatkan potensi-potensi diplomatik resmi yang kita miliki di seluruh dunia, dan diaspora Indonesia yang saat ini sedang membangun visi bersama untuk memperkokoh hubungan internasional Indonesia di mancanegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar