Indonesia dan
Resolusi Konfliks Palestina-Israel
Sidratahta Mukhtar ;
Dosen Tetap Ilmu Politik
pada
Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UKI.
|
SINAR
HARAPAN, 24 Juli 2014
Bila
mencermati betapa besarnya perhatian dan semangat bangsa Indonesia terhadap
masa depan bangsa Palestina, sudah seharusnya pemerintah baik yang kini masih
memerintah, yakni Presiden SBY maupun siapa pun presiden terpilih hasil
Pilpres 2014 ke depan, untuk menyusun strategi dan peta jalan damai
Palestina-Israel.
Tragedi
kemanusiaan yang dialami warga sipil Palestina di Gaza merupakan momentum
penting, untuk meletakkan semangat juang bangsa Indonesia kepada agenda
politik yang terencana dan melibatkan masyarakat global. Sebagaimana kita
ketahui, PBB gagal mencapai kesepakatan atau resolusi konflik Gaza seperti
yang diharapkan masyarakat dan negara-negara anggotanya. DK PBB hanya
melahirkan seruan agar perundingan damai dan dilanjutkan dengan permintaan pemberlakuan
kembali gencatan senjata.
Fakta
yang terjadi di Gaza, serangan-serangan yang lancarkan militer Israel telah
membawa korban jiwa dalam jumlah besar yakni kurang lebih 200 orang. Ribuan
lainnya juga menderita luka berat maupun ringan. Belum lagi serangan pihak
Israel itu telah menimbulkan ketakutan luar biasa. Hal ini menunjukkan Israel
telah mempraktikkan state terrorism (terorisme negara) terhadap warga sipil
Palestina, khususnya anak-anak, ibu-ibu, bahkan tenaga medis.
Setelah
menelan korban jiwa dan menghancurkan Kota Gaza, pihak Israel segera
mengajukan gencatan senjata dan demiliterisasi di jalur Gaza. (Sindo,
16/7/14). Pihak Hamas yang berada pada posisi menghadapi serangan Israel,
tentu saja tidak setuju dengan inisiatif PM Netanyahu tersebut.
Usulan
resolusi ala Israel seperti itu diperkirakan akan menyelesaikan masalah dalam
jangka pendek. Penderitaan dan dampak kemanusiaan bagi warga Gaza tentu sulit
disembuhkan dalam waktu yang singkat. Apalagi, konflik Palestina-Israel telah
melewati proses dan perjalanan yang panjang. Beberapa capaian yang penting
adalah Kesepakatan Damai Oslo antara palestina dan Israel sekitar dua dekade
lalu, pada 13 September 1993.
Israel
dan PLO sepakat saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada momentum damai
itu, Yaser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, duduk satu meja
untuk suatu agenda perdamaian dan kedaulatan, khususnya di wilayah pusat
konflik, tepi barat dan Jalur Gaza. Dua tahun sesudah itu, sempat terjadi
perkembangan positif bagi kedua negara. Namun, pada 1996 terjadi kerusuhan
terowongan di Masjid Al Aqsa yang dipicu pihak Israel yang bertindak di luar
kesepakatan Oslo.
Pada
1998 juga terdapat kesepakatan rekonsiliasi Israel-Palestina. Namun,
lagi-lagi perkembangan perdamaian seakan buntu ketika konflik kekerasan
latent muncul kepermukaan. Harus diakui, bila konflik itu menyangkut agama
dan sejarah suatu masyarakat-bangsa, konflik antarnegara itu sulit
diselesaikan. Konflik dan konsensus dapat dengan mudah diselesaikan melalui konsep
resolusi konflik internasional bila konflik itu sendiri memiliki motif sosial
ekonomi.
Salah
satu problem yang dihadapi dunia internasional terhadap Israel adalah, Israel
terus berkemauan dan bahkan lebih kuat untuk mempertahankan wilayah kedaulatan
negara dari ancaman negara-negara Arab. Itu dengan membangun persenjataan
nuklir dan memperkuat fungsi intelijen, di samping memperkuat ekonomi
nasional.
Sejak
1990-an, Israel sudah mengutamakan pembangunan militer guna menghadapi tipe
perang baru yang didukung pengembangan industri pertahanan modern, baik
melalui soft maupun hard power (Connie R Bakrie, 2013).
Mengacu
kepada studi Connie, AS selalu membantu pembangunan infrastruktur militer
Israel sebagai bagian dari strategi dan geopolitik Israel dalam menghadapi
ancaman musuh teologis di kawasan Timur Tengah terhadap kepentingan nasional
AS.
Profesor
Michel Chossudovsky dalam bukunya Skenario Perang Dunia III, Israel merupakan
bagian utama dari persekutuan militer dan sebagai anggota de facto NATO.
Segala tindakan militernya senantiasa mendapatkan dukungan dari Pentagon dan
Washington. Persenjatan nuklir Israel diperkirakan sejumlah 200-500 buah dan
dikategorikan sebagai nuklir canggih yang didesain khusus untuk pertempuran
di Timur Tengah. (Michael Ch: 2011)
Perkembangan
muktahir Israel seperti di atas dapat dijadikan bagian dari strategi dan
taktik Indonesia dalam menghadapi Israel. Artinya, Israel bukanlah entitas
tunggal yang memutuskan untuk melakukan “genosida” atas warga sipil di Gaza
itu.
Tindakan
agresi militernya merupakan bagian dari kepentingan nasional negara-negara
anggota Nato dan AS, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap
perkembangan di Timur Tengah. Isu-isu pokok Barat di Timur Tengah di
antaranya; ketergantungan terhadap minyak, demokratisasi dan liberalisme, dan
ancaman ideologi.
Urgensi Peran Indonesia
Berdasarkan
perkembangan penyelesaian konfliks Israel-Palestina di atas, sebenarnya
terbuka peluang untuk membangun resolusi konflik yang berkeadilan dan sesuai
prinsip kemerdekaan, HAM, dan demokrasi. Di sini, Indonesia diharapkan
berperan lebih strategis dan terarah dalam agenda diplomasi terkait nasib
Palestina.
Pengalaman
Indonesia dalam mengatasi beberapa konfliks laten di kawasan ASEAN, seperti
di Kamboja dan Laos, peranan Indonesia dalam menyatukan visi dan kemerdekaan
bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada dekade 1950-an, serta peran global
Indonesia saat ini, patut dijadikan kekuatan nasional dalam mendorong
penyelesaian masalah Palestina-Israel.
Usaha
awal Indonesia dalam mendorong peran dan kerja sama antarnegara-negara
nonblok di New York beberapa waktu lalu, memerlukan langkah strategis lebih
lanjut. Power interplay yang dimainkan Indonesia seperti itu dapat melahirkan
poros alternatif dalam mendorong kemerdekaan Palestina dan resolusi yang
lebih komprehensif.
Di
samping itu, sejumlah negara besar (major
powers), seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Kanada, dan Inggris
memilih sikap untuk mengecam pihak Hamas, meskipun serangan Hamas tidak
membawa korban jiwa dan lainnya bagi pihak Israel. Sikap dan kebijakan luar
negeri negara-negara Arab juga kurang memberikan penguatan bagi upaya
mendorong resolusi konflik damai antara Palestina-Israel.
Salah
satu doktrin politik SBY adalah navigating a turbulent ocean dan thousand
friends-zero enemy. Asumsi dari doktrin ini, kompleksitas ancaman dan masalah
politik dan keamanan global yang berdampak pada terganggunya kepentingan
Indonesia.
Prof
Zainuddin Djafar menafsirkan doktrin luar negeri SBY itu dengan kondisi
ketika negara adidaya muncul menjadi kekuatan unilateral dalam memecahkan
masalah internasional, termasuk keamanan internasional yang dapat
bertentangan dengan hukum dan perjanjian internasional. (Zainuddin Djafar,
2013).
Konsep
zero enemy perlu ditransformasikan ke dalam pendekatan baru, yakni penekanan
pada Israel sebagai pihak negara yang dikategorikan sebagai negara penjajah
bangsa Palestina. Indonesia perlu terus menggalakkan diplomasi internasional
melalui penguatan aliansi strategis dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan
Pasifik untuk memperkuat dukungan dan solidaritas terhadap Palestina.
Oleh
karenanya, pendekatan diplomasi kemitraan komprehensif tentu perlu
disesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi. Fokus utama kepada penyelesaian
kasus Palestina-Israel ke depan. Selain itu, Indonesia perlu mendorong dialog
dan perundingan di tingkat PBB (summit) yang dapat melahirkan resolusi
konflik Palestina-Israel.
Fokus
diplomasi Indonesia kepada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan globa, dan
perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan dan target kepentingan nasional dalam
mengatasi konflik Palestina-Israel seperti itu, perlu memanfaatkan
potensi-potensi diplomatik resmi yang kita miliki di seluruh dunia, dan diaspora
Indonesia yang saat ini sedang membangun visi bersama untuk memperkokoh
hubungan internasional Indonesia di mancanegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar