Jumat, 11 Juli 2014

Tantangan Politik Pasca-Pilpres

                               Tantangan Politik Pasca-Pilpres

R Siti Zuhro  ;   Profesor Riset LIPI
KORAN SINDO, 09 Juli 2014
                                                


Kampanye pilpres usai sudah. Kini nasib dua pasangan capres-cawapres berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Andaikan PDIP dan Gerindra masih berpegang teguh pada kesepakatan Batu Tulis yang dibuatnya tahun 2009, agaknya bisa dipastikan bahwa pemerintahan Indonesia 2014-2019 menjadi milik mereka. Dengan absennya SBY, sejauh ini elektabilitas Prabowo (Gerindra) dan Jokowi (PDIP) tak tertandingi. Namun, sejarah tak selurus jalan kereta. Kini keduanya justru saling berhadapan untuk memperebutkan kursi kepresidenan tanpa pesaing lain.

Dalam politik, hal itu bukan sebuah keanehan, sebab yang abadi memang bukan kawan dan lawan melainkan kepentingan. Meskipun demikian, Pilpres 2014 dapat dikatakan unik. Dengan 12 partai politik, setidaknya bisa ada tiga pasang capres-cawapres yang bertarung dalam pilpres. Bahwa kenyataannya berbeda sepertinya juga di luar antisipasi para perumus Konstitusi dan penyusun UU Pilpres.

 Persoalan hukum pun muncul berkenaan dengan Pasal 159 ayat 1 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan memaksa KPU harus mendengarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, haruskah pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasang kandidat tetap digelar dua putaran bila pemenang suara terbanyak tidak memenuhi sedikitnya 20 (dua puluh) persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan bunyi UU?

Sebagai runner up pileg Partai Golkar bukan tidak berjuang keras untuk mencapreskan ketua umumnya sebagai capres. Namun, capres yang ditawarkannya tak laku. Sebab, elektabilitasnya dipandang tidak kompetitif. Partai-partai lain cenderung memilih merapat ke PDIP atau Gerindra. Demikian juga dengan partai-partai Islam yang secara teoretis (UU pilpres) bisa mengajukan calonnya sendiri.

Kenyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa perilaku partai berada di bawah genggaman ”bayang-bayang” lembaga-lembaga survei. Lepas dari itu, tak bisa dipungkiri bahwa kedua pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam Pilpres 2014 (Prabowo-Hatta vs Jokowi-JK) merupakan putra-putra terbaik bangsa. Keduanya juga memiliki tim sukses dan tim pakar yang sama hebatnya.

Hasil lembaga-lembaga survei menunjukkan bahwa kekuatan politik keduanya juga berimbang. Lepas dari siapa yang terpilih, bagi rakyat pertanyaan pentingnya adalah mampukah presiden/wakil presiden terpilihnya membangun pemerintahan yang efektif dan menyejahterakan rakyat sebagaimana janji mereka dalam kampanye?

Koalisi Partai

Sebagaimana diketahui, hanya ada dua pasangan capres- cawapres dalam pilpres 2014. Capres/cawapres Prabowo- Hatta didukung oleh tujuh partai politik, yakni partai Gerindra (73 kursi), Golkar (91 kursi), Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), PPP (39 kursi) dan PBB (0 kursi); sedangkan pasangan Jokowi- JK didukung oleh lima partai politik, yakni PDIP (109 kursi), PKB (47 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dan PKPI (0 kursi).

Dengan dukungan 353 (63,04%) kursi di parlemen, koalisi (kerja sama) pasangan Prabowo-Hatta merupakan koalisi besar karena jumlah kursi yang dimiliki pasangan Jokowi-JK hanya 207 kursi (36,96%). Lebih kecilnya koalisi Jokowi-JK bukan berarti pasangan tersebut tak mampu menggaet partai-partai lain.

Seperti halnya Gerindra, nyaris semua partai juga telah berusaha membangun koalisi dengan PDIP. Masalahnya hanya sebagian kecil yang akhirnya menemukan titik temu untuk berkoalisi dengan PDIP. Sebagian besarnya lagi ke Gerindra. Namun, sejarah pilpres Indonesia menunjukkan bahwa faktor penentu kemenangan bukan besar-kecilnya jumlah anggota koalisi. Yang lebih menentukan adalah faktor ketokohan capres-cawapres, solidnya kerja sama antarpartai dan efektif tidaknya kerja mesin partai koalisi dalam memenangkan pilpres.

Efektivitas Koalisi

Tanpa menafikan faktorfaktor lainnya, salah satu tantangan terbesar presiden/wakil presiden terpilih (pemerintah baru) adalah terletak pada kemampuannya dalam membangun koalisi pemerintahannya. Idealnya pembentukan koalisi antarpartai didasarkan atas kesamaan atau setidaknya kemiripan ideologi, platform, dan visi-misi parpol. Bila tidak, setidaknya perlu ada nilai dasar (basic/core values) yang akan dicapai oleh koalisi pemerintahan.

Hal tersebut penting untuk dapat membangun pemerintahan yang efektif dan melayani demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan amanat UUD 1945, tujuan utama berpemerintahan adalah untuk memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat merupakan nilai dasar yang seharusnya melandasi koalisi. Namun melihat proses terbentuknya dua koalisi yang ada, agaknya hal tersebut sulit diwujudkan. Seperti yang sudah-sudah proses pembentukan koalisinya umumnya baru terjadi menjelang pendaftaran pilpres. Demikian juga dengan penentuan masing-masing pasangannya.

Oleh karena itu, sulit untuk dinafikan bila muncul anggapan bahwa pembentukan koalisi dalam pilpres lebih merupakan cara untuk mendapatkan, berbagi, dan/atau mempertahankan kekuasaan, sebab yang lebih mengemuka adalah faktor kepentingan partai dan elitenya ketimbang ideologi, platform, dan misi partai. Indikasi ini, misalnya, terlihat sangat jelas dari pilihan koalisi PKB dan PPP yang saling berseberangan, pada keduanya sama-sama berbasis utama NU.

Fenomena tersebut bukannya tanpa risiko. Sejumlah elite dan kader partai yang merasa tak sejalan dengan pilihan koalisi partainya banyak yang mengambil pilihan yang berseberangan dengan partainya. Contohnya antara lain terjadi di Golkar, PKB, Demokrat, dan PAN.

Seperti yang dialami pemerintahan SBY, koalisi yang dibangun secara dadakan jelas rentan dengan perpecahan atau setidaknya dengan ketidakstabilan bangunan koalisinya. Hal tersebut telah dialami pemerintahan SBY. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Century, PKS dan Golkar yang sama-sama berada dalam pemerintahan kerap mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pemerintah.

Sejauh ini, Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi yang dibangun untuk menstabilkan anggota koalisi hanya menjadi aksesori karena tak berfungsi. Persoalan tersebut bukannya tanpa solusi. Lepas dari besar kecilnya anggota koalisinya, yang diperlukan adalah kontrak politik yang mengikat anggota koalisi.

Kontrak politik tersebut tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, lebih dari itu hendaknya juga memuat tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan dan sanksi tegas bagi parpol yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Yang tersebut terakhir sangat penting karena itulah salah satu kelemahan pemerintahan koalisi SBY selama ini.

Pemerintahan SBY dianggap tidak tegas terhadap anggota partai koalisi yang berseberangan dengannya. Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser demokrasi yang terkonsolidasi mestinya jelas, terformat, terukur dan solid agar penguatan sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and balances dapat diwujudkan.

Untuk itu, meskipun bentuknya koalisi ”pelangi”, koalisi tersebut harus kukuh dan tidak hanya menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek, seperti sekadar ”bagibagi kursi” di kabinet saja, tetapi juga harus diarahkan untuk merekonstruksi sistem politik demokratik yang kuat, stabil dan produktif dan efektif.

Bertentangan dengan hal tersebut, di tataran praksis, drama koalisi politik yang berlangsung belakangan ini tak ubahnya seperti dagelan ketoprak atau lenong yang alur ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending untuk sekelompok elite/partai. Lobi-lobi yang dilakukan untuk membangun koalisi sampai menjelang pendaftaran pilpres seolah menyiratkan besarnya representasi politik yang diamanatkan rakyat dan konstituennya.

Ketika koalisinya terbentuk, argumentasi para elite parpol umumnya bersembunyi di balik ungkapan klise bahwa tak ada yang tak mungkin dalam politik. Seperti yang dialami SBY, koalisi besar yang dibangun poros Gerindra rentan menimbulkan masalah. pengalaman Setgab dalam koalisi pemerintahan SBY menunjukkan sulitnya membangun soliditas internal koalisinya dan lemahnya kepemimpinan dari leading partainya.

Kondisi tersebut telah membuat kinerja pemerintah kurang efektif karena anggota partai koalisi di pemerintahan yang acap sangat kritis dan berseberangan kebijakan pemerintah tak mendapat sanksi yang keras dan tegas. Atas dasar itu, bila terpilih, ke depan pemerintahan Prabowo- Hatta perlu menunjukkan sikap tegasnya dalam membangun koalisi dengan format baru yaitu model koalisi yang efektif yang paralel antara di pemerintahan dan parlemen.

Ini diperlukan agar program-program yang menjadi kebijakan pemerintah mendapatkan dukungan penuh di parlemen. Artinya, partai-partai pendukung dalam koalisi harus solid dan tidak mencla-mencle. Sekali mendukung koalisi, mereka harus konsisten. Permasalahan koalisi besar tak hanya menyangkut soliditas dan konsistensi saja tapi juga isu kepemimpinan (leadership) seorang presiden dalam mengelola koalisi.

Sementara itu, koalisi yang relatif tidak besar yang dibangun PDIP juga harus bisa membangun pemerintahan yang efektif dan tak dibebani politik transaksional. Masalahnya, pada dasarnya tak ada koalisi yang tidak didasarkan atas kepentingan untuk menduduki kekuasaan. It goes without saying, orientasi kepentingan dan kekuasaan telah melekat di dalamnya.

Salah satu problem lainnya adalah bagaimana pemerintahan nanti bisa menghadapi kedigdayaan DPR? Dengan suara 207 (36,96%) dari total 560 kursi di parlemen, koalisi ini harus mampu membangun kekuatan politik untuk mengegolkan program-programnya bila mendapat tentangan dari mayoritas anggota.

Dengan kekuatan suara yang lemah di DPR, koalisi Jokowi-JK (bila terpilih) harus selalu menjaga hubungan baiknya dengan kekuatan politik ekstra parlementer, seperti LSM, media, dan ormas, untuk mengimbangi koalisi besar di parlemen. Zig-zag politik yang dilakukan para elite parpol dalam membangun koalisi dengan mengedepankan kepentingan sempit jelas tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat.

Hal tersebut akan mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Pasalnya, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan. Bagi rakyat akhirnya yang membuat mereka masih bisa bernapas lega adalah kemungkinan terselenggaranya Pilpres 2014 yang aman, transparan, jujur, dan adil.

Dalam kemiskinan hanya rasa aman yang membuat mereka masih bisa tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah Pilpres 2014 berhasil memunculkan ”dwitunggal” pemimpin nasional yang memiliki mata hati untuk tidak terus menciderai rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar