Tantangan
Politik Pasca-Pilpres
R Siti Zuhro ; Profesor Riset LIPI
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2014
Kampanye pilpres usai sudah. Kini nasib dua pasangan capres-cawapres
berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Andaikan PDIP dan Gerindra masih berpegang teguh pada kesepakatan Batu
Tulis yang dibuatnya tahun 2009, agaknya bisa dipastikan bahwa pemerintahan
Indonesia 2014-2019 menjadi milik mereka. Dengan absennya SBY, sejauh ini
elektabilitas Prabowo (Gerindra) dan Jokowi (PDIP) tak tertandingi. Namun,
sejarah tak selurus jalan kereta. Kini keduanya justru saling berhadapan
untuk memperebutkan kursi kepresidenan tanpa pesaing lain.
Dalam politik, hal itu bukan sebuah keanehan, sebab yang abadi memang
bukan kawan dan lawan melainkan kepentingan. Meskipun demikian, Pilpres 2014
dapat dikatakan unik. Dengan 12 partai politik, setidaknya bisa ada tiga
pasang capres-cawapres yang bertarung dalam pilpres. Bahwa kenyataannya
berbeda sepertinya juga di luar antisipasi para perumus Konstitusi dan
penyusun UU Pilpres.
Persoalan hukum pun muncul
berkenaan dengan Pasal 159 ayat 1 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan memaksa KPU harus mendengarkan
keputusan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, haruskah pilpres yang hanya diikuti
oleh dua pasang kandidat tetap digelar dua putaran bila pemenang suara
terbanyak tidak memenuhi sedikitnya 20 (dua puluh) persen suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia
sesuai dengan bunyi UU?
Sebagai runner up pileg
Partai Golkar bukan tidak berjuang keras untuk mencapreskan ketua umumnya sebagai
capres. Namun, capres yang ditawarkannya tak laku. Sebab, elektabilitasnya
dipandang tidak kompetitif. Partai-partai lain cenderung memilih merapat ke
PDIP atau Gerindra. Demikian juga dengan partai-partai Islam yang secara
teoretis (UU pilpres) bisa mengajukan calonnya sendiri.
Kenyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa perilaku partai berada di
bawah genggaman ”bayang-bayang” lembaga-lembaga survei. Lepas dari itu, tak
bisa dipungkiri bahwa kedua pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam Pilpres
2014 (Prabowo-Hatta vs Jokowi-JK)
merupakan putra-putra terbaik bangsa. Keduanya juga memiliki tim sukses dan
tim pakar yang sama hebatnya.
Hasil lembaga-lembaga survei menunjukkan bahwa kekuatan politik
keduanya juga berimbang. Lepas dari siapa yang terpilih, bagi rakyat
pertanyaan pentingnya adalah mampukah presiden/wakil presiden terpilihnya
membangun pemerintahan yang efektif dan menyejahterakan rakyat sebagaimana
janji mereka dalam kampanye?
Koalisi
Partai
Sebagaimana diketahui, hanya ada dua pasangan capres- cawapres dalam
pilpres 2014. Capres/cawapres Prabowo- Hatta didukung oleh tujuh partai
politik, yakni partai Gerindra (73 kursi), Golkar (91 kursi), Demokrat (61
kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), PPP (39 kursi) dan PBB (0 kursi);
sedangkan pasangan Jokowi- JK didukung oleh lima partai politik, yakni PDIP
(109 kursi), PKB (47 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dan PKPI
(0 kursi).
Dengan dukungan 353 (63,04%) kursi di parlemen, koalisi (kerja sama)
pasangan Prabowo-Hatta merupakan koalisi besar karena jumlah kursi yang
dimiliki pasangan Jokowi-JK hanya 207 kursi (36,96%). Lebih kecilnya koalisi
Jokowi-JK bukan berarti pasangan tersebut tak mampu menggaet partai-partai
lain.
Seperti halnya Gerindra, nyaris semua partai juga telah berusaha
membangun koalisi dengan PDIP. Masalahnya hanya sebagian kecil yang akhirnya
menemukan titik temu untuk berkoalisi dengan PDIP. Sebagian besarnya lagi ke
Gerindra. Namun, sejarah pilpres Indonesia menunjukkan bahwa faktor penentu
kemenangan bukan besar-kecilnya jumlah anggota koalisi. Yang lebih menentukan
adalah faktor ketokohan capres-cawapres, solidnya kerja sama antarpartai dan
efektif tidaknya kerja mesin partai koalisi dalam memenangkan pilpres.
Efektivitas
Koalisi
Tanpa menafikan faktorfaktor lainnya, salah satu tantangan terbesar
presiden/wakil presiden terpilih (pemerintah baru) adalah terletak pada
kemampuannya dalam membangun koalisi pemerintahannya. Idealnya pembentukan
koalisi antarpartai didasarkan atas kesamaan atau setidaknya kemiripan
ideologi, platform, dan visi-misi parpol. Bila tidak, setidaknya perlu ada
nilai dasar (basic/core values)
yang akan dicapai oleh koalisi pemerintahan.
Hal tersebut penting untuk dapat membangun pemerintahan yang efektif
dan melayani demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan amanat UUD
1945, tujuan utama berpemerintahan adalah untuk memperjuangkan pelayanan dan
kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat merupakan
nilai dasar yang seharusnya melandasi koalisi. Namun melihat proses
terbentuknya dua koalisi yang ada, agaknya hal tersebut sulit diwujudkan.
Seperti yang sudah-sudah proses pembentukan koalisinya umumnya baru terjadi
menjelang pendaftaran pilpres. Demikian juga dengan penentuan masing-masing
pasangannya.
Oleh karena itu, sulit untuk dinafikan bila muncul anggapan bahwa
pembentukan koalisi dalam pilpres lebih merupakan cara untuk mendapatkan,
berbagi, dan/atau mempertahankan kekuasaan, sebab yang lebih mengemuka adalah
faktor kepentingan partai dan elitenya ketimbang ideologi, platform, dan misi
partai. Indikasi ini, misalnya, terlihat sangat jelas dari pilihan koalisi
PKB dan PPP yang saling berseberangan, pada keduanya sama-sama berbasis utama
NU.
Fenomena tersebut bukannya tanpa risiko. Sejumlah elite dan kader
partai yang merasa tak sejalan dengan pilihan koalisi partainya banyak yang
mengambil pilihan yang berseberangan dengan partainya. Contohnya antara lain
terjadi di Golkar, PKB, Demokrat, dan PAN.
Seperti yang dialami pemerintahan SBY, koalisi yang dibangun secara
dadakan jelas rentan dengan perpecahan atau setidaknya dengan ketidakstabilan
bangunan koalisinya. Hal tersebut telah dialami pemerintahan SBY. Dalam
beberapa kasus, seperti kasus Century, PKS dan Golkar yang sama-sama berada
dalam pemerintahan kerap mengambil kebijakan yang bertentangan dengan
pemerintah.
Sejauh ini, Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi yang dibangun
untuk menstabilkan anggota koalisi hanya menjadi aksesori karena tak
berfungsi. Persoalan tersebut bukannya tanpa solusi. Lepas dari besar
kecilnya anggota koalisinya, yang diperlukan adalah kontrak politik yang
mengikat anggota koalisi.
Kontrak politik tersebut tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol
dalam koalisi, lebih dari itu hendaknya juga memuat tujuan yang akan dicapai
koalisi dalam pemerintahan dan sanksi tegas bagi parpol yang tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintah. Yang tersebut terakhir sangat penting karena
itulah salah satu kelemahan pemerintahan koalisi SBY selama ini.
Pemerintahan SBY dianggap tidak tegas terhadap anggota partai koalisi
yang berseberangan dengannya. Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah
koalisi dalam membentuk konser demokrasi yang terkonsolidasi mestinya jelas,
terformat, terukur dan solid agar penguatan sistem presidensial yang
mengedepankan mekanisme checks and
balances dapat diwujudkan.
Untuk itu, meskipun bentuknya koalisi ”pelangi”, koalisi tersebut harus
kukuh dan tidak hanya menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek,
seperti sekadar ”bagibagi kursi” di kabinet saja, tetapi juga harus diarahkan
untuk merekonstruksi sistem politik demokratik yang kuat, stabil dan
produktif dan efektif.
Bertentangan dengan hal tersebut, di tataran praksis, drama koalisi
politik yang berlangsung belakangan ini tak ubahnya seperti dagelan ketoprak
atau lenong yang alur ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending
untuk sekelompok elite/partai. Lobi-lobi yang dilakukan untuk membangun
koalisi sampai menjelang pendaftaran pilpres seolah menyiratkan besarnya
representasi politik yang diamanatkan rakyat dan konstituennya.
Ketika koalisinya terbentuk, argumentasi para elite parpol umumnya
bersembunyi di balik ungkapan klise bahwa tak ada yang tak mungkin dalam
politik. Seperti yang dialami SBY, koalisi besar yang dibangun poros Gerindra
rentan menimbulkan masalah. pengalaman Setgab dalam koalisi pemerintahan SBY
menunjukkan sulitnya membangun soliditas internal koalisinya dan lemahnya
kepemimpinan dari leading partainya.
Kondisi tersebut telah membuat kinerja pemerintah kurang efektif karena
anggota partai koalisi di pemerintahan yang acap sangat kritis dan
berseberangan kebijakan pemerintah tak mendapat sanksi yang keras dan tegas.
Atas dasar itu, bila terpilih, ke depan pemerintahan Prabowo- Hatta perlu
menunjukkan sikap tegasnya dalam membangun koalisi dengan format baru yaitu
model koalisi yang efektif yang paralel antara di pemerintahan dan parlemen.
Ini diperlukan agar program-program yang menjadi kebijakan pemerintah
mendapatkan dukungan penuh di parlemen. Artinya, partai-partai pendukung
dalam koalisi harus solid dan tidak mencla-mencle.
Sekali mendukung koalisi, mereka harus konsisten. Permasalahan koalisi besar
tak hanya menyangkut soliditas dan konsistensi saja tapi juga isu
kepemimpinan (leadership) seorang
presiden dalam mengelola koalisi.
Sementara itu, koalisi yang relatif tidak besar yang dibangun PDIP juga
harus bisa membangun pemerintahan yang efektif dan tak dibebani politik
transaksional. Masalahnya, pada dasarnya tak ada koalisi yang tidak
didasarkan atas kepentingan untuk menduduki kekuasaan. It goes without saying, orientasi kepentingan dan kekuasaan telah
melekat di dalamnya.
Salah satu problem lainnya adalah bagaimana pemerintahan nanti bisa
menghadapi kedigdayaan DPR? Dengan suara 207 (36,96%) dari total 560 kursi di
parlemen, koalisi ini harus mampu membangun kekuatan politik untuk
mengegolkan program-programnya bila mendapat tentangan dari mayoritas
anggota.
Dengan kekuatan suara yang lemah di DPR, koalisi Jokowi-JK (bila
terpilih) harus selalu menjaga hubungan baiknya dengan kekuatan politik
ekstra parlementer, seperti LSM, media, dan ormas, untuk mengimbangi koalisi
besar di parlemen. Zig-zag politik yang dilakukan para elite parpol dalam membangun
koalisi dengan mengedepankan kepentingan sempit jelas tidak memberikan
pendidikan politik yang baik pada masyarakat.
Hal tersebut akan mencederai kepentingan politik para pemilihnya.
Pasalnya, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari
kenyataan. Bagi rakyat akhirnya yang membuat mereka masih bisa bernapas lega
adalah kemungkinan terselenggaranya Pilpres 2014 yang aman, transparan,
jujur, dan adil.
Dalam kemiskinan hanya rasa aman yang membuat mereka masih bisa
tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah Pilpres 2014 berhasil memunculkan
”dwitunggal” pemimpin nasional yang memiliki mata hati untuk tidak terus menciderai
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar