Jumat, 11 Juli 2014

Agenda Hukum Presiden Baru

                                  Agenda Hukum Presiden Baru

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KORAN SINDO, 09 Juli 2014
                                                


Siapa pun yang terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, yang pasti Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden baru.

Kepastian memiliki presiden (dan wakil presiden) baru disebabkan petahana (incumbent), yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono tidak lagi menjadi calon dalam Pemilu 2014. Khusus bagi Yudhoyono, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 tidak memungkinkan baginya menjadi presiden untuk periode ketiga. Karena tidak diikuti petahana, kontestasi politik memperebutkan posisi RI-1 dan RI-2 berlangsung ketat.

Dalam batas-batas tertentu, perkembangan dari hari-hari terasa begitu menegangkan. Segala macam upaya dan manuver telah dilakukan untuk meraih dukungan pemilih. Bahkan bila hendak berkata dengan jujur, suasana kali ini jauh lebih kontroversial dibandingkan Pilpres 2009. Namun demikian, apa pun, hari ini, 9 Juli, pemilih akan menunjukkan daulatnya untuk menentukan siapa di antara Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang nilai layak memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Di tengah penantian hasil akhir pilihan rakyat, banyak kalangan berharap agar segala perbedaan dan karut-karut menuju pemungutan suara tidak menjadi pemicu yang dapat memecah-belah kita dan negeri ini. Karena itu, supaya tidak terlalu lama terjebak dalam perbedaan, waktunya mengemukakan berbagai agenda yang harus dikerjakan presiden baru ke depan. Paling tidak, begitu pilihan rakyat dapat dilacak arahnya, peraih dukungan mayoritas pemilih mulai menyusun agenda lima tahun ke depan.

Tulisan ini hanya fokus pada tawaran agenda hukum yang mestinya dilakukan presiden baru. Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar yang harus dipecahkan dan ditata dengan baik adalah agenda di bidang hukum. Jamak dipahami, membahas isu hukum tidak bisa dilepaskan dari tiga persoalan mendasar, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal culture), dan budaya hukum (legal culture).

Dalam konteks agenda hukum, ketiganya tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lainnya. Namun, dalam kesempatan ini yang coba sedikit disentuh adalah soal substansi hukum dan struktur hukum.

Politik Legislasi

Pada tingkat pembentukan substansi hukum, banyak kalangan berpendapat, di antara penyebab laten sulitnya melakukan penegakan hukum karena begitu banyak aturan hukum yang tidak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan tidak sinkron antara yang satu dan yang lainnya.

Karena itu, dalam berbagai aspek termasuk dalam upaya memberantas korupsi, misalnya, aturan hukum yang demikian acap dinilai sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar atas kegagalan menghentikan gurita korupsi di negeri ini. Ketiga penyakit akut pada substansi hukum tersebut hanya mungkin diselesaikan sekiranya presiden baru memiliki political will untuk membangun dan membenahi politik legislasi.

Dalam produk hukum yang berupa undang-undang (UU), misalnya, bermula dari fase persiapan harus melakukan identifikasi setiap draf rancangan undang-undang (RUU) yang kemungkinan akan saling tumpang-tindih dengan peraturan yang ada. Paling tidak, kantor atau instansi di bawah presiden harus mampu melakukan konsolidasi semua draf RUU yang berasal dari usulan inisiatif pemerintah.

Selama ini, ketidaksinkronan materi UU sudah dimulai sejak draf RUU disiapkan pemerintah (dan juga yang disiapkan DPR). Di sisi pemerintah, salah satu penyebabnya, presiden gagal menghentikan egosektoral di antara kementerian/lembaga yang berada di ranah eksekutif utamanya yang terdapat persentuhan kewenangan. Padahal, sesama instansi yang berada di bawah presiden, sejak semula sudah dapat dicegah adanya norma atau pasal-pasal dalam UU yang saling bertentangan dengan UU yang lain.

Paling tidak, misalnya, kecenderungan ini dengan mudah dapat dilacak dari UU yang berada di wilayah pengelolaan sumber daya alam. Padahal, diyakini, dengan UU yang tidak sinkron, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya masif dengan praktik koruptif, tetapi juga semakin hancurnya sumber daya alam. Dalam batas penalaran yang wajar, bila dalam UU terjadi pengaturan yang tidak sinkron maka dapat dipastikan aturan pelaksana akan semakin banyak yang saling bertentangan.

 Akibatnya, dalam praktik, masing-masing kementerian/lembaga berjalan dengan logika masing-masing dan seperti tidak ada hubungan satu sama lain. Padahal bila dilihat dari sudut penyelenggaraan negara, kementerian menjalankan mandat presiden sesuai dengan pembidangan masing-masing. Meski telah sejak lama diketahui sebagai penyakit akut, sampai sejauh ini, presiden seperti kehilangan nyali mengatasinya.

Persoalan lain yang tidak kalah seriusnya di wilayah legislasi yang memerlukan perhatian serius presiden baru adalah pola pembahasan RUU di DPR. Merujuk Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam praktik yang terjadi selama ini, pembahasan RUU di DPR bukanlah antara DPR dan presiden atau menteri yang ditunjuk, melainkan antara fraksi-fraksi di DPR dengan pemerintah.

Padahal dengan ketentuan itu, pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah dilakukan dalam pola bipartit atau kalau menyangkut Pasal 22D UUD 1945, pola pembahasan adalah tripartit (DPR-Presiden-DPD). Karena itu, jika konsisten dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, sebelum dibahas bersama, secara internal, DPR harus menyelesaikan terlebih dulu daftar inventarisasi masalah (DIM) antarfraksi.

Hasil pembahasan tersebut kemudian menghasilkan DIM DPR dan selama belum selesai urusan internal DPR pembahasan dengan pemerintah belum dapat dilakukan. Dengan logika ini, saat membahas bersama dengan pemerintah, yang dibahas adalah DIM DPR dan DIM pemerintah.

Selama ini, karena tidak tunduk dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, pemerintah harus berhadap dengan semua fraksi yang ada. Akibatnya, pembahasan menjadi jauh dari efisien, panjang dan bertele-tele. Karenaitu, menjadi sangat wajar produktivitas legislasi dari waktu ke waktu cenderung menurun.

Pemberantasan Korupsi

Kalau dibaca visi-misi pasangan calon, keduanya memiliki pandangan yang sama soal pemberantasan korupsi. Paling tidak pandangan begitu dapat dibaca dari komitmen mereka untuk mendukung dan memperkuat peran KPK. Salah satu yang akan mereka lakukan adalah menambah tenaga penyidik KPK dan menjaga independensi lembaga ini dari pengaruh kekuatan politik.

Tidak hanya itu, kedua calon juga sepandangan untuk melakukan sinergi antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Melihat praktik korupsi yang semakin menggurita di negeri ini, semua agenda yang berujung pada penguatan pemberantasan korupsi harus didukung dan diberi apresiasi secara khusus.

Selama ini, salah satu persoalan yang kian mempersulit upaya pemberantasan korupsi adalah kuatnya tekanan politik kepada aparat penegak hukum. Kalau mau berkata jujur, tekanan tersebut tidak hanya terjadi ke KPK tetapi juga dialami kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, salah satu tugas sangat penting presiden baru adalah memastikan bahwa penegak hukum jauh dari tekanan politik.

Selain itu, presiden baru harus mampu membangun sistem yang dapat memastikan berkurangnya praktik korupsi. Sebagaimana diketahui, pencegahan merupakan langkah penting dalam memberantas korupsi. Jamak dipahami, langkah itu haruslah bertumpu pada desain yang dipersiapkan pemerintah. Selama desainnya tidak baik, apa pun bentuk dan langkah penindakan yang dilakukan KPK, kepolisian, dan kejaksaan hampir dapat dipastikan tidak akan mampu menghambat laju praktik korupsi.

Semoga kedua agenda di atas menjadi prioritas utama di antara himpunan agenda hukum yang harus dilakukan presiden baru hasil Pilpres 2014. Semoga saja, presiden dan wakil presiden baru tidak datang dengan janji gombal.

Kita berharap, hari pelantikan, 20 Oktober mendatang, tidak menjadi hari pertama untuk meninggalkan semua pohon janji yang telah dikemukakan kepada rakyat. Akhirnya, selamat memilih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar