Agenda
Hukum Presiden Baru
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2014
Siapa pun yang terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) 2014, yang pasti Indonesia akan memiliki presiden dan
wakil presiden baru.
Kepastian memiliki presiden (dan wakil presiden) baru disebabkan petahana
(incumbent), yaitu Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono tidak lagi menjadi calon
dalam Pemilu 2014. Khusus bagi Yudhoyono, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 tidak
memungkinkan baginya menjadi presiden untuk periode ketiga. Karena tidak diikuti
petahana, kontestasi politik memperebutkan posisi RI-1 dan RI-2 berlangsung
ketat.
Dalam batas-batas tertentu, perkembangan dari hari-hari terasa begitu
menegangkan. Segala macam upaya dan manuver telah dilakukan untuk meraih
dukungan pemilih. Bahkan bila hendak berkata dengan jujur, suasana kali ini
jauh lebih kontroversial dibandingkan Pilpres 2009. Namun demikian, apa pun,
hari ini, 9 Juli, pemilih akan menunjukkan daulatnya untuk menentukan siapa
di antara Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang nilai layak memimpin
Indonesia lima tahun ke depan.
Di tengah penantian hasil akhir pilihan rakyat, banyak kalangan
berharap agar segala perbedaan dan karut-karut menuju pemungutan suara tidak
menjadi pemicu yang dapat memecah-belah kita dan negeri ini. Karena itu,
supaya tidak terlalu lama terjebak dalam perbedaan, waktunya mengemukakan
berbagai agenda yang harus dikerjakan presiden baru ke depan. Paling tidak,
begitu pilihan rakyat dapat dilacak arahnya, peraih dukungan mayoritas
pemilih mulai menyusun agenda lima tahun ke depan.
Tulisan ini hanya fokus pada tawaran agenda hukum yang mestinya
dilakukan presiden baru. Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar yang harus
dipecahkan dan ditata dengan baik adalah agenda di bidang hukum. Jamak
dipahami, membahas isu hukum tidak bisa dilepaskan dari tiga persoalan
mendasar, yaitu substansi hukum (legal
substance), struktur hukum (legal
culture), dan budaya hukum (legal
culture).
Dalam konteks agenda hukum, ketiganya tidak mungkin dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Namun, dalam kesempatan ini yang coba sedikit disentuh
adalah soal substansi hukum dan struktur hukum.
Politik
Legislasi
Pada tingkat pembentukan substansi hukum, banyak kalangan berpendapat,
di antara penyebab laten sulitnya melakukan penegakan hukum karena begitu
banyak aturan hukum yang tidak jelas, memiliki makna ganda
(multiinterpretasi), dan tidak sinkron antara yang satu dan yang lainnya.
Karena itu, dalam berbagai aspek termasuk dalam upaya memberantas
korupsi, misalnya, aturan hukum yang demikian acap dinilai sebagai salah satu
faktor yang memberi kontribusi besar atas kegagalan menghentikan gurita
korupsi di negeri ini. Ketiga penyakit akut pada substansi hukum tersebut
hanya mungkin diselesaikan sekiranya presiden baru memiliki political will untuk membangun dan
membenahi politik legislasi.
Dalam produk hukum yang berupa undang-undang (UU), misalnya, bermula
dari fase persiapan harus melakukan identifikasi setiap draf rancangan
undang-undang (RUU) yang kemungkinan akan saling tumpang-tindih dengan
peraturan yang ada. Paling tidak, kantor atau instansi di bawah presiden
harus mampu melakukan konsolidasi semua draf RUU yang berasal dari usulan
inisiatif pemerintah.
Selama ini, ketidaksinkronan materi UU sudah dimulai sejak draf RUU
disiapkan pemerintah (dan juga yang disiapkan DPR). Di sisi pemerintah, salah
satu penyebabnya, presiden gagal menghentikan egosektoral di antara
kementerian/lembaga yang berada di ranah eksekutif utamanya yang terdapat
persentuhan kewenangan. Padahal, sesama instansi yang berada di bawah
presiden, sejak semula sudah dapat dicegah adanya norma atau pasal-pasal
dalam UU yang saling bertentangan dengan UU yang lain.
Paling tidak, misalnya, kecenderungan ini dengan mudah dapat dilacak
dari UU yang berada di wilayah pengelolaan sumber daya alam. Padahal,
diyakini, dengan UU yang tidak sinkron, pengelolaan sumber daya alam tidak
hanya masif dengan praktik koruptif, tetapi juga semakin hancurnya sumber
daya alam. Dalam batas penalaran yang wajar, bila dalam UU terjadi pengaturan
yang tidak sinkron maka dapat dipastikan aturan pelaksana akan semakin banyak
yang saling bertentangan.
Akibatnya, dalam praktik,
masing-masing kementerian/lembaga berjalan dengan logika masing-masing dan
seperti tidak ada hubungan satu sama lain. Padahal bila dilihat dari sudut
penyelenggaraan negara, kementerian menjalankan mandat presiden sesuai dengan
pembidangan masing-masing. Meski telah sejak lama diketahui sebagai penyakit
akut, sampai sejauh ini, presiden seperti kehilangan nyali mengatasinya.
Persoalan lain yang tidak kalah seriusnya di wilayah legislasi yang
memerlukan perhatian serius presiden baru adalah pola pembahasan RUU di DPR.
Merujuk Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam praktik yang terjadi selama ini,
pembahasan RUU di DPR bukanlah antara DPR dan presiden atau menteri yang
ditunjuk, melainkan antara fraksi-fraksi di DPR dengan pemerintah.
Padahal dengan ketentuan itu, pembahasan bersama antara DPR dan
pemerintah dilakukan dalam pola bipartit atau kalau menyangkut Pasal 22D UUD
1945, pola pembahasan adalah tripartit (DPR-Presiden-DPD). Karena itu, jika
konsisten dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, sebelum dibahas bersama, secara
internal, DPR harus menyelesaikan terlebih dulu daftar inventarisasi masalah
(DIM) antarfraksi.
Hasil pembahasan tersebut kemudian menghasilkan DIM DPR dan selama
belum selesai urusan internal DPR pembahasan dengan pemerintah belum dapat dilakukan.
Dengan logika ini, saat membahas bersama dengan pemerintah, yang dibahas
adalah DIM DPR dan DIM pemerintah.
Selama ini, karena tidak tunduk dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,
pemerintah harus berhadap dengan semua fraksi yang ada. Akibatnya, pembahasan
menjadi jauh dari efisien, panjang dan bertele-tele. Karenaitu, menjadi
sangat wajar produktivitas legislasi dari waktu ke waktu cenderung menurun.
Pemberantasan
Korupsi
Kalau dibaca visi-misi pasangan calon, keduanya memiliki pandangan yang
sama soal pemberantasan korupsi. Paling tidak pandangan begitu dapat dibaca
dari komitmen mereka untuk mendukung dan memperkuat peran KPK. Salah satu
yang akan mereka lakukan adalah menambah tenaga penyidik KPK dan menjaga
independensi lembaga ini dari pengaruh kekuatan politik.
Tidak hanya itu, kedua calon juga sepandangan untuk melakukan sinergi
antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Melihat
praktik korupsi yang semakin menggurita di negeri ini, semua agenda yang
berujung pada penguatan pemberantasan korupsi harus didukung dan diberi
apresiasi secara khusus.
Selama ini, salah satu persoalan yang kian mempersulit upaya pemberantasan
korupsi adalah kuatnya tekanan politik kepada aparat penegak hukum. Kalau mau
berkata jujur, tekanan tersebut tidak hanya terjadi ke KPK tetapi juga
dialami kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, salah satu tugas sangat penting
presiden baru adalah memastikan bahwa penegak hukum jauh dari tekanan
politik.
Selain itu, presiden baru harus mampu membangun sistem yang dapat
memastikan berkurangnya praktik korupsi. Sebagaimana diketahui, pencegahan
merupakan langkah penting dalam memberantas korupsi. Jamak dipahami, langkah
itu haruslah bertumpu pada desain yang dipersiapkan pemerintah. Selama
desainnya tidak baik, apa pun bentuk dan langkah penindakan yang dilakukan
KPK, kepolisian, dan kejaksaan hampir dapat dipastikan tidak akan mampu
menghambat laju praktik korupsi.
Semoga kedua agenda di atas menjadi prioritas utama di antara himpunan
agenda hukum yang harus dilakukan presiden baru hasil Pilpres 2014. Semoga
saja, presiden dan wakil presiden baru tidak datang dengan janji gombal.
Kita berharap, hari pelantikan, 20 Oktober mendatang, tidak menjadi
hari pertama untuk meninggalkan semua pohon janji yang telah dikemukakan
kepada rakyat. Akhirnya, selamat memilih! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar