Simalakama
Pemilu Presiden
Khairul Fahmi ;
Dosen Hukum Tata Negara,
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2014
DI
negara paling liberal sekalipun, tempat norma agama, moral dan kesusilaan
dianggap sebagai urusan pribadi semata, standar moral tinggi calon pemimpin
tetap diletakkan pada urut wahid. Boleh saja sehari-hari sebagian penduduknya
berjudi, mabukmabukan, bergaul bebas, tetapi mereka tetap menuntut agar yang
akan dipilih menjadi presiden atau perdana menteri adalah orang yang sejak
kecilnya tanpa cela. Apalagi di negara dengan ideologi ketuhanan, kemanusiaan
dan keadilan sosial, tentunya tuntutan agar seorang calon pemimpin tidak
memiliki catatan buruk soal moral akan jauh lebih tinggi.
Oleh
karena itu, membuka selebar-lebarnya rekam jejak seorang calon presiden
merupakan langkah yang mesti didukung. `Menguliti' calon presiden merupakan
bagian dari proses menguji, apakah yang bersangkutan betul-betul layak pilih
atau tidak. Pada saat bersamaan, juga merupakan bagian dari proses bagaimana
menginformasikan kepada rakyat tentang siapa sesungguhnya calon-calon yang
akan mereka pilih. Sehingga, kelak ketika sudah terpilih menjadi presiden,
penyesalan rakyat tidak muncul kemudian. Sebaliknya, yang tidak boleh
dilakukan adalah menyebar fitnah untuk tujuan membunuh lawan politik guna
memenangkan kontestasi. Alih-alih melakukan pendidikan politik, fitnah merupakan
wujud kebangkrutan moral politik yang akan mengerus modal sosial dalam
membangun demokasi.
Soal
rekam jejak, perdebatan terkait perbuatan tercela yang pernah dilakukan salah
seorang calon presiden, secara hukum patut dibedah dan didiskusikan. Capres
Prabowo Subianto, misalnya, dinilai kalangan penggiat HAM telah melakukan
perbuatan tercela berupa penculikan aktivis pada saat masih bertugas di dinas
militer. Penilaian tersebut juga dibenarkan mantan Panglima ABRI dan sejumlah
Jenderal yang terlibat memeriksa Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto di
Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Akibat perbuatannya, Prabowo diberhentikan
sebagai prajurit Angkatan Bersenjata.
Atas
alasan itu, menurut kalangan ini, seharusnya Prabowo dinyatakan tidak
memenuhi syarat sebagai calon presiden. Hanya saja, sebagai penyelenggara
pemilu, KPU telah menyatakan yang bersangkutan memenuhi syarat dan ditetapkan
sebagai pasangan calon bersama Hatta Rajasa.
Perangkap syarat administratif
Sebagaimana
diketahui, salah satu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai calon presiden
dan calon wakil presiden menurut UU No 42/2008 adalah tidak pernah melakukan
perbuatan tercela. Selain itu, calon presiden dan calon wakil presiden juga
disyaratkan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dua dari
18 syarat calon presiden dan calon wakil presiden tersebut menarik untuk
ditelaah terkait polemik keterpenuhan syarat Prabowo Subianto sebagai calon
presiden. Sebab, syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan tidak
pernah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan merupakan dua hal yang
berbeda. Namun, dalam pelaksanaannya, ke dua syarat tersebut sangat mungkin
diperlakukan sama ketika membuktikan keterpenuhannya.
Dalam
Penjelasan UU No 42/2008 dinyatakan, bahwa yang dimaksud `tidak pernah
melakukan perbuatan tercela' adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain
seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina. Dengan demikian, standar
penentuan keterpenuhannya adalah norma agama, kesulilaan, dan adat.
Lalu,
apa alat verifikasi yang dapat digunakan KPU untuk menentukan seorang calon
telah atau belum memenuhi syarat tersebut? Secara administratif, keterpenuhan
syarat dimaksud dapat saja dibukti kan dengan surat pernyataan. Namun,
apabila kemudian muncul pengaduan yang mempersoalkan moralitas seorang calon
presiden atas dasar standar norma agama, kesusilaan, atau adat, tentunya
sebuah pernyataan pribadi tidak lagi dapat dipegang. Sehubungan dengan itu,
apakah kemudian pembuktian keterpenuhan syarat dimaksud dapat didasarkan atas
belum adanya putusan pengadilan yang menyatakan yang bersangkutan bersalah
atau dengan sebuah surat keterangan berkelakuan baik yang dikeluarkan pihak
kepolisian?
Keduanya
tentu tidak relevan. Sebab, ketika tidak ada putusan pengadilan yang
menyatakan seseorang bersalah, belum tentu yang bersangkutan tidak pernah
melakukan perbuatan tercela. Bisa saja seseorang belum pernah diproses
pengadilan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum, tetapi sangat mungkin
dia telah melakukan perbuatan tercela berdasarkan norma agama, kesusilaan,
maupun adat.
Logika
tersebut linear dengan putusan pengadilan dan surat keterangan berkelakuan
baik yang berbasis pada norma hukum, bukan norma agama atau kesusilaan,
apalagi adat. Sementara, yang dikehendaki dari persyaratan tidak pernah
melakukan perbuatan tercela adalah standar moral yang berpatokan pada selain
norma hukum. Pemisahan demikian menjadi penting karena untuk persyaratan yang
berbasis pada norma hukum, telah ada persyaratan khusus, yaitu tidak pernah
dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Dengan
demikian, standar keterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan
tercela merupakan subjektivitas yang didasarkan pada rekam jejak seorang
calon presiden. Sebagian besar pembuktiannya ada pada masyarakat tempat sang
calon presiden pernah hidup bersama. Sepanjang bahwa pengaduan atas
ketidakterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela dapat
dipertanggungjawabkan menurut ukuran norma agama, kesusilaan dan adat, tidak
terdapat alasan bagi penyelenggara pemilu untuk menolak atau mengabaikannya.
Di sini, peran kunci ada pada keberanian KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Simalakama
Di satu
pihak, apabila rencana YLBHI dan sejumlah aktivis HAM mengajukan gugatan
terkait keputusan KPU yang meloloskan Prabowo Subianto sebagai calon presiden
jadi dilakukan, proses pemilu presiden dan wakil presiden akan dihadapkan
pada sebuah kondisi yang sangat dilematis. Secara substansi, gugatan yang
mempersoalkan keterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela
berdasarkan logika UU No 42/2008 sebagaimana dibentangkan di atas cukup kuat.
Terlepas bahwa KPU juga memiliki alasan dan argumentasi hukum untuk
mempertahankan keputusannya, apabila kelak pengadilan menilai KPU keliru dan
secara bersamaan mengabulkan gugatan tersebut, akan berdampak serius bagi
penyelenggaran Pemilu Presiden 2014 dan keberlanjutan kepemimpinan nasional.
Pemilu
presiden sangat mungkin ditunda untuk melakukan proses pendaftaran calon yang
baru. Sebab, dengan hanya dua pasangan calon, apabila salah satu di antara
keduanya dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat, pemilu presiden tidak dapat
dilanjutkan. Jika hal itu terjadi, tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih
akan dapat dilantik pada 20 Oktober mendatang. Selanjutnya, negara sangat
mungkin masuk ke situasi darurat kekosongan jabatan presiden dan wakil
presiden. Dalam kondisi darurat, apa pun mungkin terjadi. Bisa saja keadaan
darurat dilalui dengan mulus, saat proses demokratisasi tetap terjaga dan
berlanjut dengan baik, atau bisa juga sebaliknya.
Di pihak
lain, tidak ada gugatan pun menyimpan bom waktu yang berbahaya, jika
seandainya nanti calon presiden Prabowo Subianto terpilih, tentunya penilaian
bahwa yang bersangkutan pernah melakukan perbuatan tercela tetap akan
dipersoalkan kalangan penggiat HAM, bahkan bukan tidak mungkin juga akan
menjadi sorotan dunia internasional. Lebih jauh dari itu, juga terbuka
peluang untuk menjadikan masalah tersebut sebagai `gorengan politik', baik
oleh lawan maupun kawan politik Prabowo sendiri. Pada gilirannya, kondisi ini
akan menyandera yang bersangkutan kelak jika terpilih.
Dua
situasi di atas sungguh tidak enak untuk dipilih, tapi itulah realitas yang
hari ini terjadi. Mungkin, hanya waktu yang bisa menyelesaikannnya. Lain dari
pada itu, jika pemilu presiden tetap dapat dilaksanakan pada 9 Juli
mendatang, pilihan rakyat tentu akan turut membantu menemukan jalan
keluarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar