Minggu, 06 Juli 2014

Simalakama Pemilu Presiden

                                    Simalakama Pemilu Presiden

Khairul Fahmi  ;   Dosen Hukum Tata Negara,
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA,  04 Juli 2014
                                                


DI negara paling liberal sekalipun, tempat norma agama, moral dan kesusilaan dianggap sebagai urusan pribadi semata, standar moral tinggi calon pemimpin tetap diletakkan pada urut wahid. Boleh saja sehari-hari sebagian penduduknya berjudi, mabukmabukan, bergaul bebas, tetapi mereka tetap menuntut agar yang akan dipilih menjadi presiden atau perdana menteri adalah orang yang sejak kecilnya tanpa cela. Apalagi di negara dengan ideologi ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan sosial, tentunya tuntutan agar seorang calon pemimpin tidak memiliki catatan buruk soal moral akan jauh lebih tinggi.

Oleh karena itu, membuka selebar-lebarnya rekam jejak seorang calon presiden merupakan langkah yang mesti didukung. `Menguliti' calon presiden merupakan bagian dari proses menguji, apakah yang bersangkutan betul-betul layak pilih atau tidak. Pada saat bersamaan, juga merupakan bagian dari proses bagaimana menginformasikan kepada rakyat tentang siapa sesungguhnya calon-calon yang akan mereka pilih. Sehingga, kelak ketika sudah terpilih menjadi presiden, penyesalan rakyat tidak muncul kemudian. Sebaliknya, yang tidak boleh dilakukan adalah menyebar fitnah untuk tujuan membunuh lawan politik guna memenangkan kontestasi. Alih-alih melakukan pendidikan politik, fitnah merupakan wujud kebangkrutan moral politik yang akan mengerus modal sosial dalam membangun demokasi.

Soal rekam jejak, perdebatan terkait perbuatan tercela yang pernah dilakukan salah seorang calon presiden, secara hukum patut dibedah dan didiskusikan. Capres Prabowo Subianto, misalnya, dinilai kalangan penggiat HAM telah melakukan perbuatan tercela berupa penculikan aktivis pada saat masih bertugas di dinas militer. Penilaian tersebut juga dibenarkan mantan Panglima ABRI dan sejumlah Jenderal yang terlibat memeriksa Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto di Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Akibat perbuatannya, Prabowo diberhentikan sebagai prajurit Angkatan Bersenjata.

Atas alasan itu, menurut kalangan ini, seharusnya Prabowo dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon presiden. Hanya saja, sebagai penyelenggara pemilu, KPU telah menyatakan yang bersangkutan memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai pasangan calon bersama Hatta Rajasa.

Perangkap syarat administratif

Sebagaimana diketahui, salah satu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden menurut UU No 42/2008 adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Selain itu, calon presiden dan calon wakil presiden juga disyaratkan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Dua dari 18 syarat calon presiden dan calon wakil presiden tersebut menarik untuk ditelaah terkait polemik keterpenuhan syarat Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Sebab, syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan tidak pernah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan merupakan dua hal yang berbeda. Namun, dalam pelaksanaannya, ke dua syarat tersebut sangat mungkin diperlakukan sama ketika membuktikan keterpenuhannya.

Dalam Penjelasan UU No 42/2008 dinyatakan, bahwa yang dimaksud `tidak pernah melakukan perbuatan tercela' adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina. Dengan demikian, standar penentuan keterpenuhannya adalah norma agama, kesulilaan, dan adat.

Lalu, apa alat verifikasi yang dapat digunakan KPU untuk menentukan seorang calon telah atau belum memenuhi syarat tersebut? Secara administratif, keterpenuhan syarat dimaksud dapat saja dibukti kan dengan surat pernyataan. Namun, apabila kemudian muncul pengaduan yang mempersoalkan moralitas seorang calon presiden atas dasar standar norma agama, kesusilaan, atau adat, tentunya sebuah pernyataan pribadi tidak lagi dapat dipegang. Sehubungan dengan itu, apakah kemudian pembuktian keterpenuhan syarat dimaksud dapat didasarkan atas belum adanya putusan pengadilan yang menyatakan yang bersangkutan bersalah atau dengan sebuah surat keterangan berkelakuan baik yang dikeluarkan pihak kepolisian?

Keduanya tentu tidak relevan. Sebab, ketika tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah, belum tentu yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Bisa saja seseorang belum pernah diproses pengadilan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum, tetapi sangat mungkin dia telah melakukan perbuatan tercela berdasarkan norma agama, kesusilaan, maupun adat.

Logika tersebut linear dengan putusan pengadilan dan surat keterangan berkelakuan baik yang berbasis pada norma hukum, bukan norma agama atau kesusilaan, apalagi adat. Sementara, yang dikehendaki dari persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah standar moral yang berpatokan pada selain norma hukum. Pemisahan demikian menjadi penting karena untuk persyaratan yang berbasis pada norma hukum, telah ada persyaratan khusus, yaitu tidak pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, standar keterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela merupakan subjektivitas yang didasarkan pada rekam jejak seorang calon presiden. Sebagian besar pembuktiannya ada pada masyarakat tempat sang calon presiden pernah hidup bersama. Sepanjang bahwa pengaduan atas ketidakterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela dapat dipertanggungjawabkan menurut ukuran norma agama, kesusilaan dan adat, tidak terdapat alasan bagi penyelenggara pemilu untuk menolak atau mengabaikannya. 
Di sini, peran kunci ada pada keberanian KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Simalakama

Di satu pihak, apabila rencana YLBHI dan sejumlah aktivis HAM mengajukan gugatan terkait keputusan KPU yang meloloskan Prabowo Subianto sebagai calon presiden jadi dilakukan, proses pemilu presiden dan wakil presiden akan dihadapkan pada sebuah kondisi yang sangat dilematis. Secara substansi, gugatan yang mempersoalkan keterpenuhan syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela berdasarkan logika UU No 42/2008 sebagaimana dibentangkan di atas cukup kuat. Terlepas bahwa KPU juga memiliki alasan dan argumentasi hukum untuk mempertahankan keputusannya, apabila kelak pengadilan menilai KPU keliru dan secara bersamaan mengabulkan gugatan tersebut, akan berdampak serius bagi penyelenggaran Pemilu Presiden 2014 dan keberlanjutan kepemimpinan nasional.

Pemilu presiden sangat mungkin ditunda untuk melakukan proses pendaftaran calon yang baru. Sebab, dengan hanya dua pasangan calon, apabila salah satu di antara keduanya dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat, pemilu presiden tidak dapat dilanjutkan. Jika hal itu terjadi, tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih akan dapat dilantik pada 20 Oktober mendatang. Selanjutnya, negara sangat mungkin masuk ke situasi darurat kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden. Dalam kondisi darurat, apa pun mungkin terjadi. Bisa saja keadaan darurat dilalui dengan mulus, saat proses demokratisasi tetap terjaga dan berlanjut dengan baik, atau bisa juga sebaliknya.

Di pihak lain, tidak ada gugatan pun menyimpan bom waktu yang berbahaya, jika seandainya nanti calon presiden Prabowo Subianto terpilih, tentunya penilaian bahwa yang bersangkutan pernah melakukan perbuatan tercela tetap akan dipersoalkan kalangan penggiat HAM, bahkan bukan tidak mungkin juga akan menjadi sorotan dunia internasional. Lebih jauh dari itu, juga terbuka peluang untuk menjadikan masalah tersebut sebagai `gorengan politik', baik oleh lawan maupun kawan politik Prabowo sendiri. Pada gilirannya, kondisi ini akan menyandera yang bersangkutan kelak jika terpilih.

Dua situasi di atas sungguh tidak enak untuk dipilih, tapi itulah realitas yang hari ini terjadi. Mungkin, hanya waktu yang bisa menyelesaikannnya. Lain dari pada itu, jika pemilu presiden tetap dapat dilaksanakan pada 9 Juli mendatang, pilihan rakyat tentu akan turut membantu menemukan jalan keluarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar