Stop
Sebar Kebencian
Hendardi ;
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
KOMPAS,
05 Juli 2014
KOMPETISI elektoral yang mengisi perjalanan kampanye Pilpres 2014 telah
dihiasi dengan tersebarnya gosip yang berisi kebencian atas dasar ras, agama,
dan antargolongan. Tak hanya yang berkembang dalam banyak kicauan dan tulisan
di media sosial dan media online atau dunia maya, tetapi juga menyelundup dan
menghunjam dunia daratan. Salah satu
yang menghebohkan dan telah mendaratkan sebarannya ke berbagai daerah adalah
ribuan eksemplar terbitan Obor Rakyat dan Sang Pendusta menjangkau pesantren
dan masjid yang diasuh kaum nahdliyin, yang dapat disebut basis pendukung
PKB.
Apakah mereka termakan oleh gosip itu? Banyak komentar kiai menyatakan
bahwa mereka tak terhasut. GP Ansor, sayap pemuda Nahdlatul Ulama, bahkan
mengerahkan 1.200 anggotanya memburu penyebar selebaran tersebut.
Tanpa bersikap memihak, tulisan ini hendak menjelaskannya sebagai isu
hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan (humanity).
Sebab, diskriminasi rasial dan intolerasi atas dasar agama telah jadi
keprihatinan global untuk diperangi. Pada era Habibie, Konvensi Anti
Diskriminasi Rasial telah diratifikasi melalui UU No 29/1999. MPR juga telah
melakukan perubahan UUD 1945 dan diberlakukan pula UU No 39/1999 tentang HAM.
Pengalaman
mengerikan
Banyak negeri telah dipecah-belah oleh serangkaian kampanye rasial dan
intoleransi atas dasar agama. Beberapa contoh adalah bekas Yugoslavia,
Rwanda, dan belakangan Nigeria. Letupan-letupan berdarah juga banyak
berlangsung di Pakistan dan India. Negeri kita pun pernah menderita dengan
Tragedi Mei 1998, ”perang saudara” di Maluku dan Poso, Timor Timur, serta
Sambas dan Sampit.
Seluruh rangkaian kampanye
rasial dan intoleransi atas dasar agama itu bersifat destruktif. Situasi yang
mereka alami sangat mengerikan. Sebab, suatu golongan telah menghasut
penduduk agar tertanam pikiran untuk memusnahkan golongan lain dari muka
bumi. Dari pikiran dan pandangan ini turun ke tingkat sikap dan tindakan.
Apa yang terjadi dari pengalaman kasus-kasus itu memang mencekam.
Golongan penyebar kebencian secara berkelompok melakukan penyerangan atas
golongan yang mereka benci. Bisa diduga apa dan bagaimana bentuk tindakan
yang dilakukan. Golongan pemusnah itu menyiksa, menganiaya, menyandera,
mengusir dari tempat tinggal mereka dan rumah-rumah juga dihancurkan atau
dibakar, sebagian perempuan diperkosa, dan banyak pula yang dibunuh atau
dieksekusi tembak mati.
Dalam kasus yang mendera bekas
Yugoslavia dan Rwanda, Dewan Keamanan PBB terpaksa turun tangan dan membentuk
pengadilan kriminal internasional ad hoc terhadap orang-orang yang
bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan
pemusnahan etnis (genosida).
Seorang pelaku yang didakwa
paling bertanggung jawab adalah Slobodan Milosevic, bekas penguasa Serbia, di
Pengadilan Kriminal Internasional bekas Yugoslavia (ICTY) yang bersifat ad hoc. Ia diseret ke Mahkamah
Internasional di Den Haag, Belanda. Begitu juga dengan kasus di Rwanda dengan
dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional tentang Rwanda (ICTR).
Untuk mencegah pengalaman yang mengerikan atas kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) itu,
PBB—melalui konferensi diplomatik pada Mei 1998 di Roma—telah mengadopsi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) untuk
ditandatangani dan diratifikasi oleh negara-negara anggota. Indonesia belum
meratifikasinya!
Harus
diperangi bersama
Prinsip non-diskriminasi dan toleransi adalah prinsip dasar dalam HAM,
sebagaimana tecermin dalam ICERD (UU No 29/1999) dan Deklarasi Penghapusan
Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama atau Keyakinan
(1981). Tanpa menegakkan prinsip ini tidak mungkin negara dan aparaturnya
dapat menunaikan kewajiban mereka untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
HAM.
Secara konstitusional, prinsip non-diskriminasi dan toleransi berkaitan
erat dengan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Tidak mungkin
persatuan dapat dipererat jika pandangan dan perilaku diskriminatif dan
intoleran terus disebarluaskan tanpa tindakan cukup baik dari penegak hukum
maupun pemerintah.
Perlu diperhatikan, penyebarluasan kebencian atas dasar ras dan agama
tak hanya melanggar hukum, tetapi juga bersifat politis. Karena itu, sudah
seharusnya Presiden Yudhoyono—selaku kepala negara—tidak berpangku tangan
untuk menangkal atau meredam pandangan dan perilaku yang dapat menimbulkan
perpecahan nasional, apalagi jika dapat menjurus pada tindakan yang sangat
mengerikan.
Begitu juga DPR dan partai- partai politik harus memerangi rasisme dan
intoleransi. DPR harus mengeluarkan pernyataan politik demi ikut menjaga
persatuan bangsa dengan menyatakan perang terhadap rasisme dan intoleransi.
Partai-partai politik pun tidak perlu menunggu para pejabat politik
menegaskan komitmen mereka atas persatuan serta menentang rasisme dan
intoleransi. Tidak pula kalah penting para capres/cawapres yang tengah
berkampanye untuk menegaskan komitmennya memerangi sikap dan tindakan rasisme
dan intoleransi dalam segala bentuknya.
Merawat
persatuan
Jika ingin merawat persatuan Indonesia, prinsip non-diskriminasi dan
toleransi harus dipegang dan ditanamkan dalam tubuh bangsa. Kita harus
melawan segala bentuk kebencian atas dasar ras dan agama, tak memberikan
celah bagi tumbuh dan berkembangnya pandangan dan perilaku diskriminatif dan
intoleran yang dapat mengadu domba sesama bangsa dan golongan agama.
Sementara itu, aparat penegak hukum—kepolisian dan kejaksaan—wajib
berpatokan pada UUD dan UU yang relevan atas penyebaran kebencian atas dasar
ras dan agama agar tidak ada orang yang menjadi sasaran kebencian. Setiap
orang yang berbuat harus bertanggung jawab sesuai hukum tanpa diskriminasi.
Dengan begitu, persatuan Indonesia dapat dirawat berdasarkan hukum.
Dengan keprihatinan itu, pengalaman masa lalu yang kelam terkait
diskriminasi dan intoleransi, berbagai golongan haruslah berpartisipasi
mencegahnya sehingga tidak lagi terulang Tragedi Mei, Maluku, Poso, Sambas,
dan Sampit. Di sinilah masa depan kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar