Minggu, 06 Juli 2014

Stop Sebar Kebencian

                                               Stop Sebar Kebencian

Hendardi  ;   Ketua Badan Pengurus Setara Institute
KOMPAS,  05 Juli 2014

  

KOMPETISI elektoral yang mengisi perjalanan kampanye Pilpres 2014 telah dihiasi dengan tersebarnya gosip yang berisi kebencian atas dasar ras, agama, dan antargolongan. Tak hanya yang berkembang dalam banyak kicauan dan tulisan di media sosial dan media online atau dunia maya, tetapi juga menyelundup dan menghunjam dunia daratan.  Salah satu yang menghebohkan dan telah mendaratkan sebarannya ke berbagai daerah adalah ribuan eksemplar terbitan Obor Rakyat dan Sang Pendusta menjangkau pesantren dan masjid yang diasuh kaum nahdliyin, yang dapat disebut basis pendukung PKB.

Apakah mereka termakan oleh gosip itu? Banyak komentar kiai menyatakan bahwa mereka tak terhasut. GP Ansor, sayap pemuda Nahdlatul Ulama, bahkan mengerahkan 1.200 anggotanya memburu penyebar selebaran tersebut.

Tanpa bersikap memihak, tulisan ini hendak menjelaskannya sebagai isu hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan (humanity). Sebab, diskriminasi rasial dan intolerasi atas dasar agama telah jadi keprihatinan global untuk diperangi. Pada era Habibie, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial telah diratifikasi melalui UU No 29/1999. MPR juga telah melakukan perubahan UUD 1945 dan diberlakukan pula UU No 39/1999 tentang HAM.

Pengalaman mengerikan

Banyak negeri telah dipecah-belah oleh serangkaian kampanye rasial dan intoleransi atas dasar agama. Beberapa contoh adalah bekas Yugoslavia, Rwanda, dan belakangan Nigeria. Letupan-letupan berdarah juga banyak berlangsung di Pakistan dan India. Negeri kita pun pernah menderita dengan Tragedi Mei 1998, ”perang saudara” di Maluku dan Poso, Timor Timur, serta Sambas dan Sampit.

 Seluruh rangkaian kampanye rasial dan intoleransi atas dasar agama itu bersifat destruktif. Situasi yang mereka alami sangat mengerikan. Sebab, suatu golongan telah menghasut penduduk agar tertanam pikiran untuk memusnahkan golongan lain dari muka bumi. Dari pikiran dan pandangan ini turun ke tingkat sikap dan tindakan.

Apa yang terjadi dari pengalaman kasus-kasus itu memang mencekam. Golongan penyebar kebencian secara berkelompok melakukan penyerangan atas golongan yang mereka benci. Bisa diduga apa dan bagaimana bentuk tindakan yang dilakukan. Golongan pemusnah itu menyiksa, menganiaya, menyandera, mengusir dari tempat tinggal mereka dan rumah-rumah juga dihancurkan atau dibakar, sebagian perempuan diperkosa, dan banyak pula yang dibunuh atau dieksekusi tembak mati.

 Dalam kasus yang mendera bekas Yugoslavia dan Rwanda, Dewan Keamanan PBB terpaksa turun tangan dan membentuk pengadilan kriminal internasional ad hoc terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pemusnahan etnis (genosida).

 Seorang pelaku yang didakwa paling bertanggung jawab adalah Slobodan Milosevic, bekas penguasa Serbia, di Pengadilan Kriminal Internasional bekas Yugoslavia (ICTY) yang bersifat ad hoc. Ia diseret ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Begitu juga dengan kasus di Rwanda dengan dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional tentang Rwanda (ICTR).

Untuk mencegah pengalaman yang mengerikan atas kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) itu, PBB—melalui konferensi diplomatik pada Mei 1998 di Roma—telah mengadopsi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara-negara anggota. Indonesia belum meratifikasinya!

Harus diperangi bersama

Prinsip non-diskriminasi dan toleransi adalah prinsip dasar dalam HAM, sebagaimana tecermin dalam ICERD (UU No 29/1999) dan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama atau Keyakinan (1981). Tanpa menegakkan prinsip ini tidak mungkin negara dan aparaturnya dapat menunaikan kewajiban mereka untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.

Secara konstitusional, prinsip non-diskriminasi dan toleransi berkaitan erat dengan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Tidak mungkin persatuan dapat dipererat jika pandangan dan perilaku diskriminatif dan intoleran terus disebarluaskan tanpa tindakan cukup baik dari penegak hukum maupun pemerintah.

Perlu diperhatikan, penyebarluasan kebencian atas dasar ras dan agama tak hanya melanggar hukum, tetapi juga bersifat politis. Karena itu, sudah seharusnya Presiden Yudhoyono—selaku kepala negara—tidak berpangku tangan untuk menangkal atau meredam pandangan dan perilaku yang dapat menimbulkan perpecahan nasional, apalagi jika dapat menjurus pada tindakan yang sangat mengerikan.

Begitu juga DPR dan partai- partai politik harus memerangi rasisme dan intoleransi. DPR harus mengeluarkan pernyataan politik demi ikut menjaga persatuan bangsa dengan menyatakan perang terhadap rasisme dan intoleransi. Partai-partai politik pun tidak perlu menunggu para pejabat politik menegaskan komitmen mereka atas persatuan serta menentang rasisme dan intoleransi. Tidak pula kalah penting para capres/cawapres yang tengah berkampanye untuk menegaskan komitmennya memerangi sikap dan tindakan rasisme dan intoleransi dalam segala bentuknya.

Merawat persatuan

Jika ingin merawat persatuan Indonesia, prinsip non-diskriminasi dan toleransi harus dipegang dan ditanamkan dalam tubuh bangsa. Kita harus melawan segala bentuk kebencian atas dasar ras dan agama, tak memberikan celah bagi tumbuh dan berkembangnya pandangan dan perilaku diskriminatif dan intoleran yang dapat mengadu domba sesama bangsa dan golongan agama.

Sementara itu, aparat penegak hukum—kepolisian dan kejaksaan—wajib berpatokan pada UUD dan UU yang relevan atas penyebaran kebencian atas dasar ras dan agama agar tidak ada orang yang menjadi sasaran kebencian. Setiap orang yang berbuat harus bertanggung jawab sesuai hukum tanpa diskriminasi. Dengan begitu, persatuan Indonesia dapat dirawat berdasarkan hukum.

Dengan keprihatinan itu, pengalaman masa lalu yang kelam terkait diskriminasi dan intoleransi, berbagai golongan haruslah berpartisipasi mencegahnya sehingga tidak lagi terulang Tragedi Mei, Maluku, Poso, Sambas, dan Sampit. Di sinilah masa depan kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar