Menghadirkan
Pemimpin Kemanusiaan
David Krisna Alka ;
Pemikir Politik Kebudayaan Populis Institute,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2014
KESADARAN
autentik dalam diri ma nusia adalah hati kemanusiaannya. Jika lubuk hati
kemanusiaan manusia sudah tumpul, keberingasan dan aum kegarangan menyeruak
bak macan yang girang setelah menerkam mangsanya.
Kesadaran
autentik rakyat dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 ini bakal diuji. Kesadaran
untuk memilih pemimpin kemanusiaan 200 juta lebih rakyat Indonesia sudah di
depan mata.
Setelah
hati kemanusiaan kita terombang-ambing oleh berbagai fitnah dan sumpah
serapah kebinatangan bersilweran di depan mata, saatnya mengembalikan
kesadaran autentik kemanusiaan kita untuk memilih pemimpin yang mampu menjaga
kemanusiaan dan keberadaban bangsa Indonesia.
Pemimpin yang bekerja
Saat
kita melihat dan merasakan musim bunga tiba, musim pergerakan alam, mengalirnya
air sungai, keluarnya mata air, datang dan perginya burung-burung, usapan
lembut angin di pagi hari, gelombang pergerakan angin dari satu kawasan ke
kawasan yang lain, semua itu adalah bagian dari alam yang menjadi guru bagi
umat manusia.
Yang
membangunkan kita untuk bangkit dari rasa tidak bersemangat. Mengajak kita
untuk bergerak, bergembira, bekerja, dan berusaha.
Kita
banyak belajar dari pergerakan alam. Segala yang ada di alam semesta
senantiasa bergerak, berkembang, dan bekerja untuk membangun sistemnya.
Dengan demikian, kepemimpinan yang menginspirasikan rakyatnya untuk bekerja,
memiliki etos kerja, dan telah membuktikan kerjanya, adalah kepemimpinan
kemanusiaan yang bakal mendorong bangsanya menjadi maju dan hebat.
Kerja
lebih utama daripada sekadar suara dan perintah. Kepemimpinan yang bekerja
menandakan adanya pergerakan dan kemajuan untuk kemanusiaan.
Bangsa ini
menjadi besar dan bermartabat tatkala pemimpinnya menjadi teladan terhadap
capaian kerja yang dilakukannya. Bagaimana mungkin kita bisa bangkit dan
hebat jika tak bekerja. Bagaimana mungkin bangsa bermartabat jika pemimpinnya
tak pernah menunjukkan bukti kerja kerasnya dalam membangun bangsa.
Frans
Magnis Suseno (1978:23) pernah menjelaskan tentang kenyataan bahwa selama
berabad-abad para filsuf sama sekali tidak memerhatikan pekerjaan. Padahal
tak ada seorang filsuf yang akan bisa hidup dan berfilsafat kalau tak ada orang
lain yang mengolah tanah untuknya, menghasilkan makanan dan menjahitkan
pakaiannya. Begitu pula dalam cerita wayang, percuma kita mencari tahu dari
mana para Pandawa mendapat nasinya setiap hari agar kuat menjalankan Perang
Baratayuda.
Karena
itu, masyarakat Indonesia memerlukan keteladanan dari seorang pemimpin yang
memiliki etos kerja yang tinggi demi kemajuan negeri. Pertanyaannya,
sikap-sikap seperti apa saja etos pekerjaan itu?
Frans
Magnis Suseno mengutip Gunnar Myrdal dalam Asian Drama menyebutkan 13 sikap,
yaitu: efisiensi, kerajinan, kerapian, sikap tepat pada waktunya,
kesederhanaan, kejujuran 100%, sikap mengikuti rasio dalam mempergunakan
kesempatan-kesempatan yang muncul, sikap bekerja secara energetis, sikap
bersandar pada kekuatan sendiri, sikap mau bekerja sama, dan kesediaan untuk
memandang jauh ke depan. Hal ini merupakan contoh baik yang dimiliki seorang
pemimpin.
Selain
itu, teladan pemimpin yang lain adalah sikap adil terhadap sesama;
keseimbangan antara hak dan kewajiban; menghormati hak-hak manusia; suka
memberi pertolongan dengan tujuan agar yang ditolong bisa berdiri sendiri;
memakai miliknya tidak untuk memeras, tidak menyebar ancaman, tidak boros,
tidak untuk hidup bergaya mewah; bekerja keras dan menghargai hasil karya
orang lain.
Pemimpin kemanusiaan
Di
tengah ramainya kampanye keji dan fitnah yang direkayasa--sudah fitnah
direkayasa pula--tampak dan terasakan bahwa kita belum mencapai tingkat
keadaban (civility) yang patut
dibanggakan.
Di sisi
lain, kepura-puraan kadang terbungkus dalam jubah kejujuran. Kepemimpinan
yang bermanis kata-kata, tapi tak ada bukti nyata adalah penyakit mental yang
harus dienyahkan dari bumi Pancasila. Ya, kita tak ingin terpesona oleh tebar
pesona pengobral kata tanpa diiringi langkah nyata untuk perbaikan bangsa.
Pilpres
ini adalah momentum penentuan arah kepemimpinan kemanusiaan Indonesia lima
tahun ke depan. Bila berkaca pada gejolak kemanusiaan dalam menentukan
pemimpin di beberapa negara di dunia, tampaklah pentingnya kesadaran
kemanusiaan kita agar republik ini tak terpecah belah.
Dalam
hati kemanusiaan, di dalamnya muasal tumbuh kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketidakadilan dan ketakberadaban bukan milik hati manusia. Tetapi, milik yang
disebut bukan manusia, milik macan, misalnya.
Karena
itu, keutuhan bangsa Indonesia harus dijaga. Karena pilihan kemanusiaan kita
ketika mencoblos antara dua calon pilpres mestilah didasari kesadaran
autentik dari hati kemanusiaan kita, bukan dari kejahatan hati kemanusiaan
kita. Mari kita menangkan hati kemanusiaan kita untuk kemanusiaan yang adil
dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar