Jumat, 18 Juli 2014

Setelah Dul Dipulangkan, Lalu Apa?

                         Setelah Dul Dipulangkan, Lalu Apa?

Reza Indragiri Amriel  ;   Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota World Society of Victimology
JAWA POS,  18 Juli 2014
                                                


’’Kenapa Dul nakal, ya karena bapaknya nakal’’ (Ahmad Dhani, 16-7-2014).

PUTUSAN majelis hakim yang menyidang ’’D’’, putra selebriti yang telah menewaskan sekian korban jiwa dan beberapa lainnya terluka dalam kecelakaan lalu lintas sudah tepat. ’’D’’ divonis bersalah dan diberi ganjaran berupa dikembalikan ke orang tuanya.

Kendati melegakan bagi ’’D’’ dan orang tuanya, sanksi yang berwarna restorative justice itu sesungguhnya patut disimak dengan kepala tertunduk. Pasalnya, dengan mengembalikan anak ke keluarga atau orang tuanya, hukum telah memosisikan bahwa bukan hanya anak yang bermasalah. Orang tua, dengan hukuman sedemikian rupa, dianggap sebagai bagian dari masalah sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatan si anak.

Di situlah kekhususan yang memang sudah sepatutnya diadakan dalam persidangan-persidangan yang menempatkan anak sebagai pihak yang berhadapan dengan hukum. Begitu pula dalam kasus ’’D’’, dia sewajarnya dijatuhi ganjaran sedemikian rupa karena –setidaknya– tiga alasan. Pertama, penghukuman yang menyakitkan (punitive) niscaya tidak akan berefek positif bagi modifikasi tabiat dan tindak tanduk anak. Kedua, keluarga diasumsikan tempat belajar paling ideal bagi anak, termasuk belajar ulang tentang kepatuhan pada aturan. Ketiga, relasi antara pelaku (anak) dan keluarga korban telah terbangun sedemikian positif. Bagi anak, situasi tersebut perlu terus dipelihara demi berlanjutnya pemulihan kondisi korban dan keluarganya serta pembenahan perilaku si pelaku (’’D’’) sendiri.

Pertanyaan yang belum terjawab sebagai implikasi putusan hakim adalah bagaimana proses belajar ulang di lingkungan keluarga akan berlangsung?

Karena putusan hakim menempatkan ’’D’’ dan orang tuanya sebagai pihak yang sama-sama bermasalah, intervensi psikoedukatif semestinya tidak difokuskan sebatas pada diri ’’D’’. Secara komprehensif dan simultan, patut pula diselenggarakan program edukasi ulang bagi orang tua ’’D’’. Penanganan yang dilakukan secara parsial tidak akan memadai bagi proses perubahan pada diri ’’D’’. Apalagi sekian banyak teori menekankan peran orang tua sebagai acuan bagi anak dalam berperilaku patuh terhadap norma sehingga begitu krusialnya harapan akan membaiknya budi pekerti ’’D’’ juga bertitik tolak pada fungsi orang tua sebagai sosok panutan. Jadi, alih-alih pendekatan yang tertuju pada individu semata, lebih tepat jika diadakan intervensi berbasis keluarga.

Guna memastikan bahwa program penanganan menyeluruh itu terlaksana dengan baik, dibutuhkan supervisi teratur oleh pihak yang kompeten. Atas dasar itulah, ke depan, putusan-putusan hakim yang mengembalikan anak ke orang tua perlu dilengkapi dengan perintah kepada otoritas terkait agar menjalankan peran penyeliaan terhadap anak dan keluarganya.

Otoritas yang paling patut menerima perintah hakim itu, hemat saya, adalah Komisi Penanggulangan Anak Indonesia (KPAI). KPAI selanjutnya berkoordinasi dengan institusi-institusi kemasyarakatan selaku pelaksana peran supervisi sekaligus edukasi tersebut. Manakala dibutuhkan, cakupan pihak yang dibina juga dapat diperluas. Misalnya, ke sekolah dan lingkungan sekitar kediaman anak karena toh anak juga menghabiskan banyak waktunya di dua area tersebut. Tidak hanya bermanfaat edukatif bagi masyarakat serta memperkuat efek penangkalan agar anak tidak mengulangi perbuatannya, pelibatan berkala luas juga pada dasarnya selaras dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang mewajibkan semua kalangan berperan aktif dalam menjamin terpenuhinya kepentingan terbaik anak.

KPAI kemudian membuat laporan berkala tentang kondisi anak dan keluarganya selama pembinaan dilangsungkan. Sebagai wujud pemantauan, KPAI mencantumkan pula rekomendasi yang diajukan kepada majelis hakim yang telah menyidangkan si anak.

Apabila KPAI menilai bahwa anak dan orang tua tidak menunjukkan komitmen nyata menjalani perintah hakim untuk ’’dikembalikan ke orang tua (guna menjalani edukasi ulang)’’, pengadilan bisa menjatuhkan sanksi tambahan. Termasuk, yang paling ekstrem, adalah mencabut kuasa asuh orang tua atas anak tersebut. Kendati terkesan sadis, pemisahan atau pencabutan kuasa asuh dilakukan sebagai opsi terakhir yang disertai dengan penilaian dari pihak berkompeten serta diambil sebagai jalan guna memenuhi kepentingan terbaik anak secara lebih terjamin.

Berbagai riset menemukan bahwa mekanisme keadilan restoratif menurunkan peluang berulangnya aksi anak, di samping lebih memuaskan korban dan keluarganya. Sebab, dua pihak bisa berkomunikasi secara pribadi dan intens sehingga tuntutan-tuntutan korban pun bisa lebih diakomodasi oleh pelaku dan keluarganya. Tercegahnya anak mengulangi perbuatan jahat sama artinya dengan kian terlindunginya masyarakat dari potensi bahaya yang dulunya dapat sewaktu-waktu ditampilkan si anak tersebut. Konstruktifnya efek yang ditimbulkan keadilan restoratif pada gilirannya meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Demikian gambaran idealnya.

Agar penerapan keadilan restoratif dalam kasus ’’D’’ juga berefek sepositif itu, perhatian tidak cukup berhenti setelah jatuhnya putusan hakim. Penerapan alur penerapan ganjaran seperti diuraikan di atas, dengan demikian, tidak menjadikan ’’anak dikembalikan ke orang tua’’ sebagai sesuatu yang bersifat final. Bunyi putusan sedemikian rupa lebih tepat dijadikan sebagai semacam ’’hukuman’’ percobaan atau pengenaan wajib lapor. Format semacam itu sekaligus mengikat hakim untuk tetap hirau (tidak berlepas tangan) pada kondisi anak yang telah dijatuhi vonis dan sanksi.

Penjatuhan saksi berupa pengembalian ’’D’’ ke orang tuanya patut diapresiasi. Inisiatif keluarga ’’D’’ untuk berinteraksi dan memenuhi tuntutan keluarga korban juga merupakan bentuk group conferencing (salah satu perwujudan keadilan restoratif) yang bernilai positif.

Tinggal bagaimana putusan hakim tersebut dapat berimbas konstruktif bagi ’’D’’, keluarganya, dan masyarakat, membutuhkan peran serta lembaga-lembaga terkait. Di situlah terlihat bahwa ketika otoritas yudisial sudah memperlihatkan progresivitasnya dalam menangani perkara hukum dengan anak selaku terdakwa, kesiapan yang sederajat dari institusi-institusi lain justru belum tampak guna menindaklanjuti putusan hakim seperti itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar