Kontroversi
UU MD3
M Mas’ud Said ;
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan
Otonomi Daerah; Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
|
JAWA
POS, 18 Juli 2014
HANYA
sehari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden 9 Juli 2014, DPR hasil Pemilu
2009 mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal
dengan UU MD3 (JP, 16 Juli 2014). Masalahnya, di samping waktu penetapan yang
terkesan sembunyi-sembunyi, isi revisi itu dikritik masyarakat karena
dianggap misterius, tidak mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Selain
itu, isi revisi UU Nomor 27/2009 tersebut dianggap tendensius untuk
melindungi diri sendiri dari jerat hukum tindak pidana korupsi, tidak fair,
dan bertentangan dengan arus besar keinginan rakyat untuk memberantas
korupsi, khususnya prinsip equality before the law, kesamaan derajat di depan
hukum.
Di
samping itu, karena merasa dirugikan lantaran ada pasal yang akan mengubah
kebiasaan partai pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR, tiga fraksi di
DPR, terutama Fraksi PDIP yang didukung PKB dan Hanura, memprotes keras
dengan jalan walk out dalam sidang. Mereka tidak setuju dengan perubahan
akal-akalan itu yang tentu bisa merugikan posisi mereka di Senayan nanti.
Sehari
atau tepatnya selama 30 jam setelah keputusan kontroversial tersebut
ditetapkan, kabar relatif masih tertutup oleh fokus perhatian masyarakat akan
libur pada hari pencoblosan, proses pemilihan di TPS, serta gemuruhnya berita
media cetak dan elektronik mengenai capres bakal pemenang Pilpres 2014. Baru
pada hari berikutnya, reaksi mencuat dan membesar di kalangan publik
bersamaan dengan menurunnya tensi saling klaim kemenangan dalam pilpres.
Namun,
walaupun perhatian sebagian masyarakat tertumpu pada gegap gempitanya quick
count dan pernyataan saling klaim kemenangan dua pasangan yang berkontestasi
dalam pilpres, tak pelak revisi itu mengundang cemooh dan reaksi keras
masyarakat, terutama media dan pendukung penegakan hukum serta pemberantasan
korupsi. Pada hari berikutnya sampai seminggu setelah penetapan revisi
tersebut, reaksi elemen masyarakat kian besar.
Saat
penulis bertemu pelaksana tugas Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum
dan HAM di Jakarta, terlihat raut wajah beliau yang pusing. Sebab, belum
sampai pasal-pasal itu dilaksanakan dan dinikmati anggota DPR, UU tersebut
bakal digugat melalui Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan
konstitusi negara.
Sebagaimana
diketahui, DPR berusaha membuat ’’pertahanan diri’’ dan berkelit untuk tidak
gampang disidik kepolisian, kejaksaan, serta KPK. Mereka memagari diri dengan
pasal yang intinya memuat ketentuan bahwa penyidik, baik kepolisian maupun
kejaksaan, harus mendapat izin lebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) yang akan mereka bentuk sendiri sebagaimana bunyi pasal 245 UU MD3.
Sesungguhnya,
menurut kacamata tata negara yang baik, peran DPR sekarang cukup kuat. Bahkan
ada peran yang terlalu besar. Misalnya, ikut serta menentukan besaran
anggaran pembangunan di berbagai sektor pemerintahan yang memungkinkan mereka
memainkan peran ganda sebagai regulator yang juga mirip operator
penganggaran. Karena itu, para analis menganggap, DPR kita menyumbang situasi
sangat kuatnya peran DPR atau legislatif heavy. Gejala itu sama bahayanya
dengan situasi military heavy atau executive heavy dalam masa Orde Baru.
Aristoteles
dalam bukunya Politics menyarankan agar demokrasi diawali dengan pembagian
kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul pemikiran harus adanya DPR yang
hebat. Dasar pikiran itulah yang kemudian dikembangkan pula oleh Montesquieu
dalam trias politikanya. Montesquieu membicarakan betapa pentingnya pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan dan betapa pentingnya masing-masing pihak itu
bekerja untuk yang diwakilinya secara baik.
Menurut
pengamatan penulis, penampilan dan karakter anggota DPR kita bermacam-macam,
bergantung kemampuan, pengetahuan, dan kepribadian politiknya. Bermacam gaya
itu, antara lain, bergaya sebagai a company owner yang biasanya sangat keras
kepada eksekutif. Pemerintah sering repot atas banyaknya usul yang keras
disertai ancaman. Kedua, anggota dewan dengan gaya cenderung follower atau
companion. Anggota jenis itu biasanya menyerahkan urusan kedewanan kepada
orang lain dan atau mengikuti arus saja tanpa banyak komentar dan pendapat.
Yang penting tetap gajian dan pendapatan terus aman. Ketiga, anggota atau
kelompok yang bertipe pencari kemenangan atau winning seeker yang tidak mau
pernah mengalah.
Tanpa
mempermasalahkan gaya-gaya itu, terbukti jumlah anggota DPR yang tersangkut
kasus penyalahgunaan wewenang dan tertangkap tangan karena korupsi sudah
cukup banyak. Menyadari hal tersebut dan agar tidak dituduh menghindar dari
jerat hukum, UU itu mengecualikan izin dari MKD jika mereka tertangkap tangan
bertindak pidana, disangka bertindak kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, serta tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara. Ditambahkan, tidak diatur pengecualian jika
anggota DPR dipanggil menjadi saksi dalam kasus tindak pidana korupsi.
Gagasan
dan peraturan yang mendorong dan memungkinkan DPR berbuat terbaik untuk
masyarakat dan bangsa semakin hari semakin ditunggu masyarakat. Buku klasik
yang ditulis Plato yang berjudul Republik menyebutkan, DPR adalah para
guardian atau bhayangkara yang bersih dan selalu berada di garda depan tanpa
memperhitungkan diri mereka untung atau rugi.
Penambahan
kekuasaan oleh DPR memungkinkan peran yang berlebihan tanpa kontrol atau
evaluasi yang memadai sehingga bisa tumbuh situasi penyalahgunaan kekuasaan
atau abuse of power. Dalam posisi
lembaga aspirasi, lembaga kontrol, dan lembaga penilai, DPR tentu dituntut
selalu berada dalam kadar kualitas kerja sesuai dengan kaidah pemerintahan
yang baik, bersih, serta berwibawa tanpa menggunakan kekuasaan untuk
keuntungan kelompok dan kepentingan diri mereka sendiri.
Masalahnya,
jangankan mendukung pemikiran para pendiri negara agar bersikap adil, dewasa,
serta mau berkorban, revisi UU MD3 kali ini, tampaknya, cenderung mendorong
ke arah sebaliknya dan masih gagal memasang jaring pengawasan kepada anggota
nakal yang bersembunyi di balik legislasi yang mereka ciptakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar