Jumat, 18 Juli 2014

Kontroversi UU MD3

                                               Kontroversi UU MD3

M Mas’ud Said  ;   Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah; Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
JAWA POS,  18 Juli 2014



HANYA sehari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden 9 Juli 2014, DPR hasil Pemilu 2009 mengesahkan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dikenal dengan UU MD3 (JP, 16 Juli 2014). Masalahnya, di samping waktu penetapan yang terkesan sembunyi-sembunyi, isi revisi itu dikritik masyarakat karena dianggap misterius, tidak mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Selain itu, isi revisi UU Nomor 27/2009 tersebut dianggap tendensius untuk melindungi diri sendiri dari jerat hukum tindak pidana korupsi, tidak fair, dan bertentangan dengan arus besar keinginan rakyat untuk memberantas korupsi, khususnya prinsip equality before the law, kesamaan derajat di depan hukum.

Di samping itu, karena merasa dirugikan lantaran ada pasal yang akan mengubah kebiasaan partai pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR, tiga fraksi di DPR, terutama Fraksi PDIP yang didukung PKB dan Hanura, memprotes keras dengan jalan walk out dalam sidang. Mereka tidak setuju dengan perubahan akal-akalan itu yang tentu bisa merugikan posisi mereka di Senayan nanti.

Sehari atau tepatnya selama 30 jam setelah keputusan kontroversial tersebut ditetapkan, kabar relatif masih tertutup oleh fokus perhatian masyarakat akan libur pada hari pencoblosan, proses pemilihan di TPS, serta gemuruhnya berita media cetak dan elektronik mengenai capres bakal pemenang Pilpres 2014. Baru pada hari berikutnya, reaksi mencuat dan membesar di kalangan publik bersamaan dengan menurunnya tensi saling klaim kemenangan dalam pilpres.

Namun, walaupun perhatian sebagian masyarakat tertumpu pada gegap gempitanya quick count dan pernyataan saling klaim kemenangan dua pasangan yang berkontestasi dalam pilpres, tak pelak revisi itu mengundang cemooh dan reaksi keras masyarakat, terutama media dan pendukung penegakan hukum serta pemberantasan korupsi. Pada hari berikutnya sampai seminggu setelah penetapan revisi tersebut, reaksi elemen masyarakat kian besar.

Saat penulis bertemu pelaksana tugas Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, terlihat raut wajah beliau yang pusing. Sebab, belum sampai pasal-pasal itu dilaksanakan dan dinikmati anggota DPR, UU tersebut bakal digugat melalui Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan konstitusi negara.

Sebagaimana diketahui, DPR berusaha membuat ’’pertahanan diri’’ dan berkelit untuk tidak gampang disidik kepolisian, kejaksaan, serta KPK. Mereka memagari diri dengan pasal yang intinya memuat ketentuan bahwa penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan, harus mendapat izin lebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang akan mereka bentuk sendiri sebagaimana bunyi pasal 245 UU MD3.

Sesungguhnya, menurut kacamata tata negara yang baik, peran DPR sekarang cukup kuat. Bahkan ada peran yang terlalu besar. Misalnya, ikut serta menentukan besaran anggaran pembangunan di berbagai sektor pemerintahan yang memungkinkan mereka memainkan peran ganda sebagai regulator yang juga mirip operator penganggaran. Karena itu, para analis menganggap, DPR kita menyumbang situasi sangat kuatnya peran DPR atau legislatif heavy. Gejala itu sama bahayanya dengan situasi military heavy atau executive heavy dalam masa Orde Baru.

Aristoteles dalam bukunya Politics menyarankan agar demokrasi diawali dengan pembagian kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul pemikiran harus adanya DPR yang hebat. Dasar pikiran itulah yang kemudian dikembangkan pula oleh Montesquieu dalam trias politikanya. Montesquieu membicarakan betapa pentingnya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dan betapa pentingnya masing-masing pihak itu bekerja untuk yang diwakilinya secara baik.

Menurut pengamatan penulis, penampilan dan karakter anggota DPR kita bermacam-macam, bergantung kemampuan, pengetahuan, dan kepribadian politiknya. Bermacam gaya itu, antara lain, bergaya sebagai a company owner yang biasanya sangat keras kepada eksekutif. Pemerintah sering repot atas banyaknya usul yang keras disertai ancaman. Kedua, anggota dewan dengan gaya cenderung follower atau companion. Anggota jenis itu biasanya menyerahkan urusan kedewanan kepada orang lain dan atau mengikuti arus saja tanpa banyak komentar dan pendapat. Yang penting tetap gajian dan pendapatan terus aman. Ketiga, anggota atau kelompok yang bertipe pencari kemenangan atau winning seeker yang tidak mau pernah mengalah.

Tanpa mempermasalahkan gaya-gaya itu, terbukti jumlah anggota DPR yang tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang dan tertangkap tangan karena korupsi sudah cukup banyak. Menyadari hal tersebut dan agar tidak dituduh menghindar dari jerat hukum, UU itu mengecualikan izin dari MKD jika mereka tertangkap tangan bertindak pidana, disangka bertindak kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, serta tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara. Ditambahkan, tidak diatur pengecualian jika anggota DPR dipanggil menjadi saksi dalam kasus tindak pidana korupsi.

Gagasan dan peraturan yang mendorong dan memungkinkan DPR berbuat terbaik untuk masyarakat dan bangsa semakin hari semakin ditunggu masyarakat. Buku klasik yang ditulis Plato yang berjudul Republik menyebutkan, DPR adalah para guardian atau bhayangkara yang bersih dan selalu berada di garda depan tanpa memperhitungkan diri mereka untung atau rugi.

Penambahan kekuasaan oleh DPR memungkinkan peran yang berlebihan tanpa kontrol atau evaluasi yang memadai sehingga bisa tumbuh situasi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Dalam posisi lembaga aspirasi, lembaga kontrol, dan lembaga penilai, DPR tentu dituntut selalu berada dalam kadar kualitas kerja sesuai dengan kaidah pemerintahan yang baik, bersih, serta berwibawa tanpa menggunakan kekuasaan untuk keuntungan kelompok dan kepentingan diri mereka sendiri.

Masalahnya, jangankan mendukung pemikiran para pendiri negara agar bersikap adil, dewasa, serta mau berkorban, revisi UU MD3 kali ini, tampaknya, cenderung mendorong ke arah sebaliknya dan masih gagal memasang jaring pengawasan kepada anggota nakal yang bersembunyi di balik legislasi yang mereka ciptakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar