Senin, 14 Juli 2014

Selamatkan Indonesia!

                                             Selamatkan Indonesia!

Ikrar Nusa Bhakti  ;   Profesor Riset di LIPI
MEDIA INDONESIA, 08 Juli 2014
                                                


BESOK, 9 Juli 2014, adalah hari yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sekitar 190 juta warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih akan memberikan suara untuk memilih pasangan presiden/wakil presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019. Ada dua pasangan capres/cawapres yang berkontestasi pada Pilpres 2014 ini. Pasangan pertama, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, didukung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PBB. Pasangan kedua, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla, didukung PDIP, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI. Jika dilihat dari parpol yang bergabung, partai pendukung pasangan pertama jauh lebih banyak daripada pasangan kedua. Namun, pilpres memilih orang, bukan partai. Bukan mustahil pasangan yang dukungan partainya lebih kecil mendapatkan dukungan rakyat yang lebih besar karena medan magnet capres/cawapresnya lebih kuat.

Pemilu presiden di Indonesia yang dilaksanakan secara reguler lima tahun sekali ialah cara yang amat demokratis bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk memilih presiden dan wakil presiden beserta program kerjanya. Meski rakyat Indonesia terbagi dalam pilihan ideologi politik ataupun pasangan capres/cawapresnya, kita semua adalah pemilik negeri yang kita cintai ini dan kita semua sebangsa dan setanah air. Indonesia milik kita, kita semua milik Indonesia. Satu Indonesia untuk semua, semua rakyat untuk satu Indonesia.

Mereka yang belajar ilmu politik pasti tahu prinsip utama yang diajarkan para filsuf Yunani kuno bahwa dalam politik, ‘kata’ dan bukan ‘senjata’ yang lebih diutamakan. Pilpres adalah perhelatan politik atau proses pengambilan keputusan oleh rakyat yang harus berjalan secara demokratis. Karena itu, jika ada elite politik yang mengibaratkan pilpres sebagai ‘perang’, merupakan sesuatu yang amat naif kalau tidak bisa dikatakan ‘absurd’.

Guru Besar Emeritus bidang Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Amien Rais, dalam sebuah kampanye tertutup beberapa waktu lalu mengibaratkan Pilpres 2014 ini sebagai ‘Perang Badar’, seakan pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa sedang memiliki misi suci untuk mengalahkan ‘kaum kafir’. Pandangan itu dapat membelah negeri ini antara dua kelompok masyarakat yang seakan sedang bertempur.

Kita semua tahu bahwa Prabowo bukanlah panglima perang yang harus menghabisi ‘kaum kafir’, apalagi keluarga besar Prabowo terdiri atas berbagai etnik, ras, dan juga agama. Pendukung pasangan ini juga multikultural, ras, etnik, dan agama. Adalah kenyataan pula Jokowi-JK benar-benar seorang haji yang mendukung multikulturalisme dan ada kalangan Nahdiyin dan Muhammadiyah di kubu JokowiJK. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin dan bukan yang ingin menghabisi agama agama lainnya.

Dalam sebuah kampanye terbuka di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, Prabowo juga mengibaratkan diri dan pasangan cawapresnya, Hatta Rajasa, sebagai Pandawa dan pesaingnya sebagai Kurawa karena pendiriannya berubah-ubah atau mencla-mencle. Pernyataan semacam itu sekali lagi berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Biarlah rakyat yang menentukan siapa yang mereka anggap Kurawa dan siapa yang Pandawa.

Pergolakan batin

Saya merasa orang yang dulu saya kagumi, Amien Rais, kini sedang mengalami pergolakan batin yang amat kuat. Pada 1997-1998, Amien Rais adalah ilmuwan politik dan akademisi pertama yang berani menyerukan penggulingan Presiden Soeharto. Masih terpatri dalam ingatan saya bagaimana Amien Rais dan Dawam Rahardjo datang ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI mengajak kami untuk ikut gerakan reformasi menggulingkan Soeharto. 

Tercatat dalam sejarah ada 19 peneliti LIPI, termasuk saya, yang membuat Pernyataan Keprihatinan agar Presiden Soeharto tak dipilih kembali oleh MPR RI pada 11 Maret 1998. Amien juga ingin menggerakkan massa ke Monumen Nasional, tapi diancam oleh pasukan Kopassus anak buah Prabowo. Amien Rais pula yang mengatakan, “Prabowo harus diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) karena kasus penculikan dan penghilangan beberapa aktivis prodemokrasi.“ Bagian buku bunga rampai The Fall of Suharto yang saya tulis juga masih mencatat pernyataan Amien Rais bahwa reformasi yang kita jalankan sudah sampai pada titik yang tidak mungkin berbalik lagi, yang dalam bahasa kerennya di kenal dengan istilah the point of no return!

Amien Rais-lah yang membangun kekuatan poros tengah di DPR/MPR agar Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI menggantikan BJ Habibie pascapemilu 1999, tetapi Amien Rais pula yang menggalang kekuatan untuk menjatuhkan Gus Dur pada Juli 2001. Amien Rais juga marah besar saat Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir mendekat ke Prabowo menjelang Pilpres 2009. Kalimat yang diucapkannya saat itu ialah, “Saya dulu ikut menggulingkan mertuanya yang penguasa Orde Baru, HM Soeharto, masak sekarang kamu mendukung anak mantunya, Prabowo Subianto, untuk menjadi presiden?“ Kini, Amien Rais-lah yang mendukung Prabowo, sedangkan Sutrisno Bachir justru mendukung Jokowi-JK.

Jangan pilih yang asal

Kita sudah menyaksikan lima ronde debat capres/cawapres melalui layar televisi. Pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, debat politik itu ditonton oleh rakyat Indonesia dari golongan apa pun, baik yang tinggal di Indonesia maupun di mancanegara, bahkan ada yang nonton bareng. Ini berarti rakyat begitu ingin mengetahui kualitas pasangan calon masing-masing yang akan memimpin Indonesia 20142019. Inilah ‘peperangan yang sesungguhnya’, bukan Perang Badar atau Bharatayudha seperti yang digambarkan Amien Rais atau Prabowo Subianto.

Rakyat sudah melihat secara langsung dan dapat menilai apakah ucapan, pikiran, dan tindakan para calon pemimpin bangsa ini sinkron satu sama lain atau menclamencle. Debat juga sudah memberikan gambaran pasangan mana yang benar-benar mampu membawa Indonesia menjadi negara yang aman, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, mampu menegakkan hukum secara adil dan fair, menghargai dan menegakkan HAM, tidak diskriminatif dan meningkatkan harkat bangsa serta kesejahteraan rakyat, dan menjaga pluralisme. Kita butuh pemimpin yang mampu membangkitkan negeri ini agar menjadi negara yang hebat dalam percaturan politik dan ekonomi internasional kini dan masa datang.

Kita harus menyelamatkan Indonesia! Pilihan kita akan menentukan nasib kita ke depan. Karena itu, jangan asal pilih, apalagi pilih yang asal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar