Senin, 14 Juli 2014

Euforia

                                                                    Euforia

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 13 Juli 2014
                                                


Yang saya cintai, segenap anak bangsa. Pekan lalu, di kolom Cari Angin ini, saya mendapat kiriman sepucuk surat yang baru pada alinea terakhir saya ngeh bahwa surat itu ditujukan kepada saya. Perkenankan saya membalasnya saat ini.

Inisial nama saya memang PS. Tentu saja bukan Prabowo Subianto, calon presiden yang kini menunggu pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum. Tak ada hubungan saya dengan beliau sekecil apa pun, bahkan serambut dibelah tujuh pun tak ada. Prabowo seorang jenderal dan kebetulan pula kaya raya. Modal yang cukup untuk menjadi seorang calon presiden.

Saya pernah berpikir untuk mencoblos pada pemilu presiden, semata menghormati orang yang mau repot jadi calon presiden. Tapi saya diingatkan oleh istri, niat mencoblos itu-siapa pun yang dicoblos-harus diurungkan. Sejak pemilu 1971, saya mencoblos dengan berdarah-darah-ini bukan kiasan-kenapa Pemilu 2014 ini saya harus golput? Saya diingatkan, pemilu di Indonesia-negeri saya tercinta-masih primitif dengan syarat mencelupkan jari ke tinta. Tujuannya, agar pemilih tidak curang, mencoblos berkali-kali.

Sekarang saya jadi makhluk ajaib, di mana setiap benda yang mau melekat atau masuk ke tubuh saya harus dalam wujud suci sesuai dengan keyakinan agama saya. Ini merepotkan kalau saya mencoblos. Tentu saya ditertawai jika datang ke TPS membawa sesajen untuk "menyucikan tinta" itu. Lagi pula, dengan aturan bahwa saya harus mencelupkan jari ke tinta, berarti kejujuran saya diragukan-jangan-jangan saya berniat curang nyoblos di tempat lain lagi.

Saya membatin: "Siapa pun presidennya, pemilu nanti harus lebih modern, misalnya dengan sistem e-voting. Minimal administrasi kependudukan diperketat sehingga orang bisa memilih tanpa harus mencelupkan jari ke tinta." Belum sempat pikiran ini dirumuskan sebagai usul, tiba-tiba anak saya sudah memamerkan kedua jarinya yang bertoreh tinta ungu. Cucu saya usia empat tahun juga ikut-ikutan jarinya berisi tinta sambil teriak: "Salam dua jari, Kakek." 

Astaga, ada euforia baru pada pemilu presiden sekarang. Orang yang dulu cuek ramai-ramai mencoblos dan memamerkan jari bertinta termasuk meng-upload di media sosial. Tinta itu tiba-tiba jadi lambang dukungan.

Teman yang saya cintai. Inisial nama saya memang PS, tapi bukan Prabowo Subianto. Saya orang sederhana dan bahkan pada dasarnya pelit. Saking pelitnya saya bertanya kepada anak saya, untuk apa pulang kampung hanya mencoblos dua kertas-bersama istrinya-padahal harus membeli bensin Rp 150 ribu, belum lagi makanan? "Untuk Jokowi, presiden yang bukan siapa-siapa. Kalau dia menjadi presiden maka anak-anak desa terbuka peluangnya menjadi presiden, meski ayahnya bukan jenderal, bukan pengusaha minyak, bukan berdarah keraton." Jawaban anak saya ini terganggu oleh teriakan cucu saya: "Salam dua jari, Kakek."

Entah anak saya bergurau atau serius. Tapi kata-kata yang mirip seperti itu menjadi magnet berbondong-bondongnya orang mendukung Jokowi, padahal mereka tak pernah disapa partai banteng moncong putih. Megawati boleh saja menangis menyambut kemenangan (versi hitung cepat) Jokowi, tetapi saya kira ia harus secepatnya membenahi partainya. Surya Paloh, Wiranto, Muhaimin Iskandar, juga harus memperbaiki pengkaderan di partainya. Lima tahun lagi, belum tentu ada "wabah relawan" seperti euforia orang yang mendukung Jokowi saat ini. Apalagi sistem pemilu diserentakkan antara legislatif dan presiden. Kalau saat itu mesin partai mandek, jangan diharapkan calon presidennya terpilih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar