Senin, 14 Juli 2014

Menentukan Arah Republik

                                      Menentukan Arah Republik

Wiwin Suwandi  ;   Pengamat Hukum Tata Negara,
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, Makassar
MEDIA INDONESIA, 08 Juli 2014
                                                


TIDAK ada negara yang mampu berdiri tanpa ditopang demokrasi. Apa pun bentuk dan sistem pemerintahan yang dianut, tidak akan kuat tanpa ditopang demokrasi. Seburuk-buruknya demokrasi, dia masih lebih baik daripada tirani. Itu yang dikatakan Plato, Aristoteles, dan Polybius sejak ribuan tahun lalu.

Demokrasi menopang bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial yang disepakati sebagai pilihan sejak negara ini diproklamasikan oleh founding parents, enam dasawarsa silam. Sejak negara yang bernama ‘Indonesia’ ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kita ingin menegakkan demokrasi konstitusional yang berpihak pada asas daulat rakyat, bukan daulat partai.

Pilpres; memperkuat demokrasi

Kita memilih demokrasi sebagai nilai, maka kita siap untuk melaksanakan dan mengawal demokrasi itu. Kita pernah hidup dalam alam Orde Baru di kala demokrasi dipasung dan dikerangkeng dalam otoriterisme. Jelas kita tidak ingin sejarah kelam itu terulang kembali. Karena sekali lagi, seburuk-buruknya demokrasi, dia masih lebih baik daripada tirani.

Pada 9 Juli besok, kita akan melaksanakan pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden (pilpres). Tidak lama lagi, kita akan memiliki pemimpin (presiden) yang akan menakhodai Republik ini lima tahun ke depan. Pemilu adalah perwujudan asas kedaulatan rakyat. Di sini-kita sebagai rakyat--berdaulat penuh untuk memilih figur yang dianggap layak menjadi presiden tanpa paksaan, intimidasi, dan intervensi dari pihak mana pun, termasuk negara. Semuanya bergantung pada kecakapan dan kecerdasan kita dalam memilih.

KPU sudah mengadakan enam kali debat calon presiden terkait visi-misi mereka. Ditambah informasi lain di jagat maya yang berseliweran di antara batas fakta dan opini. Melalui debat visi-misi tersebut, kita sebagai demos (rakyat) telah memiliki persepsi tentang rekam jejak dari calon presiden yang akan menuntun kita ke bilik suara.

Demokrasi menjadi kata kunci di sini. Mengelola negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi seperti Indonesia membutuhkan komunikasi dialogis, bukan dengan kekuatan senjata. Kita hidup sebagai negara-bangsa yang dihuni warga negara, bukan kekaisaran yang bertumpu pada kekuatan militer.

Sebagai contoh, salah satu calon presiden dari dua kubu yang bertarung, Jokowi, berkunjung (kampanye) ke Papua untuk mendinginkan ‘bara dalam sekam’ itu. Kita tahu, selama ini persoalan Papua semata dilihat dari pendekatan militer, bukan komunikasi dialogis. Hal ini patut kita sambut baik karena sangat berarti bagi masyarakat Papua. Setidaknya mereka dirangkul dan diyakinkan bahwa ‘Papua adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Papua’. Papua dan Indonesia dalam ‘satu napas’ yang sama.

Konflik horizontal bernuansa SARA juga masih menjadi pekerjaan rumah yang gagal diselesaikan pemimpin sebelumnya. Sejumlah kasus kekerasan bermotif SARA secara perlahan-lahan mengikis kepercayaan dunia internasional yang selama ini menganggap Indonesia sebagai contoh negara demokrasi yang toleran. Hal itu diperparah dengan berlarut-larutnya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tanpa penyelesaian. Kita butuh pemimpin yang menghargai kemajemukan dan tidak memandang perbedaan sebagai ancaman.

Dalam isu ekonomi, visimisi dua pasangan caprescawapres menunjukkan pertarungan dua kutub ideologi ekonomi dunia yang saling bertentangan. Prabowo-Hatta dipandang lekat dengan kebijakan ekonomi proliberal. Meski Prabowo mengusung jargon tolak intervensi asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia, sulit baginya untuk meyakinkan publik dengan posisi Hatta Rajasa (sebagai cawapres dan menteri yang membidangi urusan perekonomian selama di kabinet SBY) yang selama ini dikenal sebagai penganut paham ekonomi liberal.

Sementara itu lawannya, Jokowi, lebih dikenal dan lekat dengan konsep ekonomi kerakyatan. Jejak rekam selama di Solo dan Jakarta setidaknya sudah membuktikan itu. Kebijakan revitalisasi pasar tradisional dan membatasi izin pendirian supermarket selama menjadi Wali Kota Solo dipuji oleh banyak pengamat. Revitalisasi Pasar Tanah Abang, keputusan untuk tidak membuka izin lagi bagi pendirian mal selama menjabat Gubernur DKI Jakarta sangat lekat dengan konsep ekonomi kerakyatan itu. Kita butuh pemimpin yang melayani rakyat, bukan melayani asing.

Menegakkan konstitusi

Sekali lagi demokrasi. Jangan melihat kontestasi pilpres dalam ruang sempit; semata-mata perebutan kursi. Pilpres harus dilihat sebagai satu desain besar filosofi bernegara. Bagaimana pilpres mampu menghasilkan seorang pemimpin (presiden) yang mampu menegakkan konstitusi. Pemimpin yang mengenal, dikenal, dan tidak berjarak dengan rakyatnya. Kita tidak memilih raja dalam rezim monarki, melainkan seorang presiden dalam rezim republik. Kita memilih presiden yang melayani rakyat, bukan seorang jenderal yang memerintah pasukan.

Tidak sulit bagi pasangan capres-cawapres untuk mengerti dan paham dengan apa yang publik butuhkan. Mereka tidak perlu bertanya pada rakyat secara langsung, meski tidak dilarang, karena konstitusi sudah menjawab apa yang rakyat butuhkan. Jawaban itu sudah termuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945; salah satunya adalah ‘memajukan kesejahteraan umum’. Kemudian, dalam upaya penguatan sistem presidensial, presiden terpilih jangan berkaca, apalagi berguru pada rezim sebelumnya yang keliru mengelola negara. Dalam desain kabinet untuk menguatkan sistem presidensial, misalnya, presiden lalu gagap menafsirkan kewenangan konstitusionalnya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Konstitusi memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, termasuk dalam menentukan desain kabinet. Akan tetapi, kewenangan itu ‘dibonsai’ sendiri oleh presiden dengan lebih mengedepankan lobi politik ketimbang menggunakan hak prerogatifnya.

Presiden menempatkan konstitusi sebagai ‘dadu’ dalam arena perjudian politik yang penuh intrik dan konspirasi melalui pembentukan sekretariat gabungan (setgab) yang dalam perjalanannya ‘menyandera’ presiden. Presiden menempatkan dirinya sebagai ‘pelayan parpol’, bukan kepala negara.

Desain kabinet bukan kabinet ahli (zaken kabinet), melainkan kabinet yang diisi politisi. Penempatan banyak kader parpol untuk mengisi jabatan sejumlah pos kementerian tidak berdasar prinsip right man in the right place, tetapi lebih terkesan sebagai politik ‘bagi-bagi kursi’ antara presiden dengan parpol mitra koalisinya. Hasilnya fatal, sejumlah kementerian yang dijabat kader parpol mendapat rapor merah. Selain kinerjanya jeblok, beberapa di antaranya juga terlibat kasus hukum.

Seyogianya presiden mafhum dan paham, menteri yang berasal dari parpol tetap memiliki kepentingan ganda; antara jabatan sebagai menteri negara dan pengurus parpol. Kondisi ini menyebabkan kegamangan dan bisa menyebabkan pemerintahan berjalan tidak efektif. Sebagai organisasi politik, parpol tetap memiliki kepentingan pragmatis. Menteri yang berasal dari parpol akan terbawa dengan kepentingan pragmatis itu. Kita menginginkan kabinet ramping-efektif yang diisi kalangan ahli, bukan kabinet gemuk yang hanya mementingkan kursi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar