Jumat, 04 Juli 2014

Rupiah

                                                                    Rupiah

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO,  03 Juli 2014
                                                


Saya terkenang dengan pidato Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pada 29 Oktober 1946. Pidato itu ia sampaikan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta . Bunyinya begini, ”Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi Tanah Air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.”  ”Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh republik kita.”

Ketika itu kata uang masih ditulis dengan oeang . Itu sebabnya singkatan yang muncul adalah ORI, singkatan dari Oeang Republik Indonesia. Sejak itu uang Jepang dan uang Belanda, yang kala itu digunakan untuk bertransaksi oleh masyarakat Indonesia, menjadi tidak berlaku lagi. Saya membaca catatan yang menyebutkan, pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi Indonesia memang sangat buruk.

Jumlah uang yang beredar tidak terkendali sehingga inflasi pun merajalela. Kala itu ada tiga mata uang, yakni uang Jepang, uang Hindia Belanda, dan uang De Javashe Bank. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Montagu Stopford yang memberlakukan penggunaan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang diduduki AFNEI. Peredaran uang NICA itu betul-betul di luar kendali Pemerintah RI. Maka penerbitan ORI bukan sekadar sebagai alat transaksi yang menggantikan peran uang-uang tersebut. Ada visi yang lebih besar di baliknya, yakni mematahkan dominasi uang terbitan Netherlands Indische Civil Administration atau NICA tadi, yang penggunaannya kian luas di negara kita.

Visi lainnya adalah untuk menunjukkan kedaulatan dan membesarkan hati bangsa Indonesia, yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Penerbitan ORI juga mempunyai visi ekonomi. Masa perang membuat masyarakat tak sempat berproduksi. Pasokan barang-barang pun terbatas, sementara permintaannya meningkat sehingga inflasi pun menggila. Maka ketika pemerintah menerbitkan ORI, nilai ORI terhadap mata uang Jepang pun dibuat menguat menjadi 1 : 50 untuk Jawa dan 1 : 100 untuk luar Jawa.

Uang Asing

Kalau membaca kisah seputar ORI tadi, saya merasakan betul adanya suasana yang heroik kala itu. Uang bukan sekadar alat untuk bertransaksi, tapi juga alat perjuangan. Lalu saya juga membaca kisah-kisah tentang betapa kerasnya perjuangan pemerintah ketika itu untuk mencetak ORI, sebelum akhirnya Wapres Mohammad Hatta mengumumkan berlakunya ORI. Kisah-kisah heroik tadi tentu membuat kita merasa bangga. Namun kebanggaan itu kini butuh ujian baru ketika globalisasi mengempaskan kita. Jangankan Indonesia, Belanda saja harus melepas mata uangnya (gulden), sama seperti Jerman, Italia, dan Prancis yang melebur dalam mata uang baru: euro.

Jadi bagaimana kalau kita membaca berita tentang masih digunakannya mata uang dolar AS dalam transaksi yang justru terjadi di lingkungan pelabuhan? Di sana mata uang dolar AS itu ternyata digunakan untuk membayar biaya container handling charge (CHC) dan terminal handling charge (THC) yang nilainya masing-masing USD83 dan USD93. Namun, uniknya, pembayaran itu kabarnya harus menggunakan uang dolar AS dengan nomor seri terbaru. Pembayaran dengan dolar AS seri lama, yang lusuh dan ada bekas lipatannya, tidak akan diterima. Ini mungkin tradisi dunia perbankan dan money changer kita saja.

Di luar negeri, sepengetahuan saya tak ada ketentuan seperti ini. Memang, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jelas-jelas melarang transaksi di wilayah Indonesia dengan menggunakan mata uang asing kecuali untuk transaksi ekspor-impor. Tapi globalisasi telah mengubah banyak hal. Ada airline yang minta dibayar dengan mata uang asing, demikian juga dengan jasa-jasa lainnya. Namun terkadang begitulah nasib UU kita. Meski di dalamnya ada aturan tentang sanksi, mulai dari sanksi denda hingga kurungan, pelanggaran atas aturan itu bisa dengan mudah kita temukan di sana-sini.

Contohnya, selain di lingkungan pelabuhan, kalau Anda membeli berbagai produk elektronik entah laptop atau iPad di kawasan Glodok dan mau membayar dengan dolar AS, para penjual akan melayani dengan senang hati. Lalu tak jauh dari Jakarta, persisnya di Bandung, kita bisa menemukan transaksi dengan mata uang asing di kawasan Pasar Baru. Di sana para penjual produk-produk garmen dengan senang hati melayani pembelian yang menggunakan ringgit Malaysia. Itu karena kebanyakan pembeli adalah wisatawan Malaysia. Jika Anda pernah berkunjung ke kawasan resor Lagoi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, di sana pun transaksi menggunakan mata uang dolar Singapura. Kemudian di beberapa wilayah perbatasan yang dekat negara tetangga, banyak masyarakat kita bertransaksi dengan menggunakan mata uang asing. Maksudnya, mata uang dari negara tetangga.

Go International

Bukan hanya itu cerita-cerita yang memicu kesan negatif tentang rupiah. Sebelumnya kita juga sudah dibombardir dengan berbagai ungkapan yang saya nilai kurang positif untuk rupiah. Contohnya, pada masa pemilu kali ini Anda pasti familier dengan ungkapan ”serangan fajar”. Buat Anda yang repot mengurus perizinan pasti juga akrab dengan istilah ”uang pelicin”, ”uang rokok”, ”uang semir” atau ”uang amplop”. Atau, kalau mau memakai bahasa asing, kita bisa pilih istilah undertable money . Kalangan legislatif kita lebih kreatif. Mereka mengganti kata uang dengan nama buah-buahan. Misalnya, ada istilah ”apel malang” dan ”apel washington”.

Kalau Anda sudah pusing dengan banyaknya urusan, baik urusan yang terkait dengan instansi pemerintah atau aparat hukum, Anda tentu kenal dengan jurus pemungkas ini: ”kasih uang, habis perkara”. Semua ungkapan tadi tentu berkonotasi negatif. Tapi, jangan khawatir, ada juga cerita tentang rupiah yang membuat kita bangga. Di Korea Selatan, kalau Anda dalam perjalanan ke arah Bandara Incheon, di sana ada gerai suvenir yang melayani transaksi dengan mata uang rupiah. Sayang, maaf, saya lupa nama gerainya. Lalu, di Thailand, ada wisata candi yang bernama Wat Arun. Di seputar lokasi itu ada beberapa gerai suvenir yang Anda bisa membelinya dengan mata uang rupiah.

Tapi, di Singapura, kalau membayar sesuatu, Anda bisa pakai mata uang Malaysia atau Brunei Darussalam. Anehnya, tak ada yang merasa terhina. Mungkin itulah keluwesan negeri pedagang. Yang penting untung. Jadi, siapa bilang rupiah tidak bisa go international. Ayo, sekarang kita pilih pemimpin yang bisa membuat rupiah lebih go international lagi sehingga kita bangga memegangnya. Lantas, kalau mau bepergian ke luar negeri, kita tak perlu repot-repot menukar mata uang kita dengan mata uang asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar