Rupiah
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 03 Juli 2014
Saya terkenang dengan pidato Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pada 29
Oktober 1946. Pidato itu ia sampaikan melalui Radio Republik Indonesia (RRI)
Yogyakarta . Bunyinya begini, ”Besok
tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi Tanah
Air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.” ”Besok
mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran
yang sah. Mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang
yang dikeluarkan oleh republik kita.”
Ketika itu kata uang masih ditulis dengan oeang . Itu sebabnya
singkatan yang muncul adalah ORI, singkatan dari Oeang Republik Indonesia.
Sejak itu uang Jepang dan uang Belanda, yang kala itu digunakan untuk
bertransaksi oleh masyarakat Indonesia, menjadi tidak berlaku lagi. Saya
membaca catatan yang menyebutkan, pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, keadaan ekonomi Indonesia memang sangat buruk.
Jumlah uang yang beredar tidak terkendali sehingga inflasi pun
merajalela. Kala itu ada tiga mata uang, yakni uang Jepang, uang Hindia
Belanda, dan uang De Javashe Bank. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan
Panglima AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) Letjen Montagu Stopford yang memberlakukan penggunaan
mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang diduduki AFNEI. Peredaran
uang NICA itu betul-betul di luar kendali Pemerintah RI. Maka penerbitan ORI
bukan sekadar sebagai alat transaksi yang menggantikan peran uang-uang
tersebut. Ada visi yang lebih besar di baliknya, yakni mematahkan dominasi
uang terbitan Netherlands Indische
Civil Administration atau NICA tadi, yang penggunaannya kian luas di
negara kita.
Visi lainnya adalah untuk menunjukkan kedaulatan dan membesarkan hati
bangsa Indonesia, yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Penerbitan ORI juga mempunyai visi ekonomi. Masa perang membuat masyarakat
tak sempat berproduksi. Pasokan barang-barang pun terbatas, sementara
permintaannya meningkat sehingga inflasi pun menggila. Maka ketika pemerintah
menerbitkan ORI, nilai ORI terhadap mata uang Jepang pun dibuat menguat
menjadi 1 : 50 untuk Jawa dan 1 : 100 untuk luar Jawa.
Uang
Asing
Kalau membaca kisah seputar ORI tadi, saya merasakan betul adanya
suasana yang heroik kala itu. Uang bukan sekadar alat untuk bertransaksi,
tapi juga alat perjuangan. Lalu saya juga membaca kisah-kisah tentang betapa
kerasnya perjuangan pemerintah ketika itu untuk mencetak ORI, sebelum
akhirnya Wapres Mohammad Hatta mengumumkan berlakunya ORI. Kisah-kisah heroik
tadi tentu membuat kita merasa bangga. Namun kebanggaan itu kini butuh ujian
baru ketika globalisasi mengempaskan kita. Jangankan Indonesia, Belanda saja
harus melepas mata uangnya (gulden), sama seperti Jerman, Italia, dan Prancis
yang melebur dalam mata uang baru: euro.
Jadi bagaimana kalau kita membaca berita tentang masih digunakannya
mata uang dolar AS dalam transaksi yang justru terjadi di lingkungan
pelabuhan? Di sana mata uang dolar AS itu ternyata digunakan untuk membayar biaya
container handling charge (CHC) dan
terminal handling charge (THC) yang
nilainya masing-masing USD83 dan USD93. Namun, uniknya, pembayaran itu
kabarnya harus menggunakan uang dolar AS dengan nomor seri terbaru.
Pembayaran dengan dolar AS seri lama, yang lusuh dan ada bekas lipatannya,
tidak akan diterima. Ini mungkin tradisi dunia perbankan dan money changer kita saja.
Di luar negeri, sepengetahuan saya tak ada ketentuan seperti ini.
Memang, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jelas-jelas melarang
transaksi di wilayah Indonesia dengan menggunakan mata uang asing kecuali
untuk transaksi ekspor-impor. Tapi globalisasi telah mengubah banyak hal. Ada
airline yang minta dibayar dengan mata uang asing, demikian juga dengan
jasa-jasa lainnya. Namun terkadang begitulah nasib UU kita. Meski di dalamnya
ada aturan tentang sanksi, mulai dari sanksi denda hingga kurungan,
pelanggaran atas aturan itu bisa dengan mudah kita temukan di sana-sini.
Contohnya, selain di lingkungan pelabuhan, kalau Anda membeli berbagai
produk elektronik entah laptop atau iPad di kawasan Glodok dan mau membayar
dengan dolar AS, para penjual akan melayani dengan senang hati. Lalu tak jauh
dari Jakarta, persisnya di Bandung, kita bisa menemukan transaksi dengan mata
uang asing di kawasan Pasar Baru. Di sana para penjual produk-produk garmen
dengan senang hati melayani pembelian yang menggunakan ringgit Malaysia. Itu
karena kebanyakan pembeli adalah wisatawan Malaysia. Jika Anda pernah
berkunjung ke kawasan resor Lagoi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, di sana
pun transaksi menggunakan mata uang dolar Singapura. Kemudian di beberapa
wilayah perbatasan yang dekat negara tetangga, banyak masyarakat kita
bertransaksi dengan menggunakan mata uang asing. Maksudnya, mata uang dari
negara tetangga.
Go
International
Bukan hanya itu cerita-cerita yang memicu kesan negatif tentang rupiah.
Sebelumnya kita juga sudah dibombardir dengan berbagai ungkapan yang saya
nilai kurang positif untuk rupiah. Contohnya, pada masa pemilu kali ini Anda
pasti familier dengan ungkapan ”serangan
fajar”. Buat Anda yang repot mengurus perizinan pasti juga akrab dengan
istilah ”uang pelicin”, ”uang rokok”, ”uang semir” atau ”uang amplop”. Atau,
kalau mau memakai bahasa asing, kita bisa pilih istilah undertable money . Kalangan legislatif kita lebih kreatif. Mereka
mengganti kata uang dengan nama buah-buahan. Misalnya, ada istilah ”apel malang” dan ”apel washington”.
Kalau Anda sudah pusing dengan banyaknya urusan, baik urusan yang
terkait dengan instansi pemerintah atau aparat hukum, Anda tentu kenal dengan
jurus pemungkas ini: ”kasih uang, habis
perkara”. Semua ungkapan tadi tentu berkonotasi negatif. Tapi, jangan
khawatir, ada juga cerita tentang rupiah yang membuat kita bangga. Di Korea
Selatan, kalau Anda dalam perjalanan ke arah Bandara Incheon, di sana ada gerai suvenir yang melayani
transaksi dengan mata uang rupiah. Sayang, maaf, saya lupa nama gerainya.
Lalu, di Thailand, ada wisata candi yang bernama Wat Arun. Di seputar lokasi itu ada beberapa gerai suvenir yang
Anda bisa membelinya dengan mata uang rupiah.
Tapi, di Singapura, kalau membayar sesuatu, Anda bisa pakai mata uang
Malaysia atau Brunei Darussalam. Anehnya, tak ada yang merasa terhina.
Mungkin itulah keluwesan negeri pedagang. Yang penting untung. Jadi, siapa
bilang rupiah tidak bisa go
international. Ayo, sekarang kita pilih pemimpin yang bisa membuat rupiah
lebih go international lagi
sehingga kita bangga memegangnya. Lantas, kalau mau bepergian ke luar negeri,
kita tak perlu repot-repot menukar mata uang kita dengan mata uang asing.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar