Debat
Pertahanan Capres Minim Gereget
Nanda Avalist ;
Pengamat Militer, Tinggal di Jenewa
|
KORAN
SINDO, 03 Juli 2014
Debat calon presiden (capres) pada 22 Juni lalu semestinya dapat
menjadi sesi debat capres yang paling menarik. Sayangnya, para kandidat belum
berhasil menghadirkan debat cerdas dan dialektis. Mereka berdua sering
terjebak dalam retorika, serta membiarkan loose
ends dan unanswered questions.
Sesekali bahkan, terdapat false
arguments yang tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab. Dalam subtema
mengenai pengamanan kepentingan nasional di bidang telekomunikasi misalnya,
capres Joko Widodo menjelaskan bahwa privatisasi atas Indosat yang notabene
menyebabkan lepasnya slot orbit satelit yang dioperasikan oleh BUMN tersebut,
sebagai suatu tindakan yang dapat dimaklumi. Alasannya, karena dilakukan di
saat negara tengah mengalami krisis pada 1998. Sungguh argumentasi ini sangat
mengejutkan bagi kami.
Pertama, slot orbit satelit adalah sumber strategis yang konstitusi
kita memerintahkan agar dikuasai negara. Kedua, penjualannya terjadi pada
tahun 2001, bukan 1998. Syukurnya, para pendiri (founding fathers) negara ini tak menganut garis pemikiran serupa
dengan Capres Joko Widodo. Padahal, krisis yang dihadapi beliau-beliau antara
tahun 1945-1949 tentu lebih gawat dari krisis yang dialami Indonesia pasca
1998. Terlebih lagi, menggunakan krisis sebagai justifikasi bagi pelanggaran
konstitusi tentu tidak dapat dibenarkan. Jika hal itu diucapkan secara
publik, apalagi oleh seorang calon presiden, maka anasir-anasir yang
beriktikad tidak baik terhadap negeri ini tentu akan bergembira ria.
Mereka memperoleh suatu ultimate recipe gratisan untuk merongrong
Indonesia. Artinya, cukup ciptakan krisis, selebihnya, Indonesia sendiri yang
akan merusak dirinya sendiri, at the
cost of its own national interests, for and at the service of other!
Tidak adanya kontra-argumentasi dari pihak capres Prabowo Subianto dalam hal
ini, juga membuat kami equally shocked.
Dalam segmen pertahanan dan keamanan, capres Joko Widodo juga secara tidak
tepat menyalahkan pembelian tank MBT Leopard II. Jokowi menilai tank jenis
itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan tekstur topografis Indonesia.
Infrastruktur jalan, jembatan, dan sebagainya dapat rusak karenanya.
Untungnya, capres Prabowo Subianto menyampaikan tanggapan tepat. Pertama,
beliau merujuk pada berbagai hasil studi yang dilakukan atas penggunaan dan
penggelaran unit-unit MBT dalam formasi militer reguler di medan Asia
Tenggara. Vietnam Utara, misalnya, menggelar MBT buatan Rusia dalam Perang
Vietnam (1959-1975). Kedua, seiring dengan semakin aktifnya Indonesia dalam
berbagai operasi perdamaian dunia yang digelar PBB, kehadiran MBT Leopard II
memungkinkan Indonesia mulai berperan dalam operasi-operasi PBB yang bersifat
peace enforcement.
Cukup disayangkan, dalam debat itu Prabowo Subianto tidak melengkapi
referensi historis tersebut dengan beberapa hal. Pertama, technical rebuttal dengan dua kata
kunci, yakni rubber shoes (pada
roda rantai tank), dan tank transporter
(untuk pergeseran administratif satuan-satuan lapis baja di dalam kota
melalui jalan raya). Singkat kata, jika hanya untuk urusan rusak-merusaki
jalan raya, tank-tank yang ada dalam inventaris TNI saat ini semisal AMX-13,
PT-76 atau ranpur AMX-VCI dan BTR-50 (yang rata-rata berbobot ”hanya” 14- 15
ton) sudah lebih dari cukup merusak jalan-jalan kelas satu dan bahkan jalan
protokol Ibu Kota, khususnya yang asphalt
based, jika tidak dilengkapi dengan rubber
shoes pada tracknya.
Kedua, argumentasi beliau tidak ditunjang pula dengan komparasi
kontemporer vis a vis negara-negara
tetangga Indonesia semisal Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki
tekstur dan kontur topografis serupa dengan Indonesia. Di antara negara-negara
tersebut, Indonesia jelas merupakan negara terakhir yang mengakuisisi dan
menggunakan tank jenis MBT. Bahkan ditinjau dari rasio antara jumlah MBT yang
dimiliki dengan luas teritori (khususnya wilayah daratan) yang harus
dipertahankan, Indonesia menempati posisi terbawah.
Argumen ini, apabila dikemukakan, tentu akan lebih meyakinkan dan
menjadi rebuttal menarik secara politis dan teknis kemiliteran. Terakhir,
debat capres ditutup dengan menyisakan satu konsep yaitu ”Indonesia sebagai Poros Maritim” yang diutarakan oleh capres
Joko Widodo, tanpa pernah sempat terbahas dengan mendalam. Padahal, ini isu
yang sangat penting, khususnya dikaitkan dengan fakta bahwa posisi ”poros
maritim” dimaksud saat ini kurang lebih berada di tangan Singapura, khususnya
untuk dimensi maritime trade.
Secara umum dapat dikatakan bahwa debat capres pada 22 Juni 2014 tidak
memenuhi harapan. Perdebatan terasa kering, khususnya bagi kalangan yang
memiliki pemahaman substantif terhadap tema yang diangkat. Para kandidat
tidak menampilkan kapasitas maksimalnya dalam memanfaatkan alokasi waktu yang
diberikan, dan secara prosedural, format debat juga kurang memberikan
keleluasaan bagi para capres untuk tampil dengan suatu argumentasi dan
kontra-argumentasi yang cukup dalam. Terlepas dari semua itu, para capres juga
masih menyisakan ample room for improvements,
baik dari penguasaan substantif (capres Joko Widodo) maupun artikulasi
retorik (capres Prabowo Subianto).
Sangat kuat kesan bahwa sementara salah satu capres tak lebih dari
mengucapkan apa yang terdapat dalam catatan kecilnya (dengan improvisasi ala
kadarnya), sementara capres lainnya justru kurang memiliki kefasihan verbal
untuk menerjemahkan kompetensi profesional yang dimilikinya ke dalam suatu
argumentasi persuasif yang telak dan meyakinkan. Capres yang satu terjun ke
dalam detail tanpa pemahaman yang memadai dan tersesat di dalamnya, sementara
capres yang satu lagi terlalu hati-hati untuk masuk ke dalam ranah detail,
dan justru membuka dirinya untuk dituduh abstrak, tidak konkret, dan retorik.
Ini tentu tidak menggembirakan, karena kita bicara mengenai calon
pemimpin nomor satu di negeri ini. Akurasi kata-kata seorang kepala negara
bernilai sama dengan akurasi senjata yang dimiliki bala tentaranya. Seorang kepala
negara mutlak harus memiliki keduanya, untuk dapat tetap memimpin secara
efektif baik di masa perang maupun damai, atau dalam zona abu-abu di antara
keduanya. Berbagai tokoh penting dalam sejarah, mulai Marcus Tullius Cicero
hingga Khalifah Umar bin Khattab, sangat menekankan pentingnya hal ini.
Setiap kepala negara, atau siapa pun yang berkeinginan untuk menduduki
jabatan tersebut, perlu memahami bahwa kalimat dan goresan penanya, adalah
ujung dari suatu polaritas, di mana moncong laras meriamnya adalah ujung lain
dari polaritas yang sama. Hal inilah membuat Napoleon I menyebut meriam
sebagai ”Ultima Ratio Regnum”, atau
”Kings Kings Final Argument”. Tapi
semua bermula, dari sebuah kata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar