Pemilihan
Presiden dan Ramadan
Zaim Uchrowi ;
Kolumnis Senior
|
KORAN
TEMPO, 02 Juli 2014
Bagaimana suasana Ramadan berbalut pemilihan presiden? Tepat di puasa
hari ke-12, Indonesia akan memilih presiden untuk masa lima tahun mendatang.
Bukan hanya salat tarawih saban malam dan tadarus Al-Quran yang
susul-menyusul menyemarakkan Ramadan, kampanye serta debat calon presiden
ikut pula mewarnai suasananya.
Bagi umat Islam, peristiwa ini sungguh penting. Pemilihan presiden atau
pilpres bukan semata akan menentukan sosok pemimpin Indonesia ke depan.
Pilpres kali ini juga menguji bagaimana umat Islam akan berperan dalam
kehidupan bernegara pada masa mendatang. Apakah akan lebih mengedepankan
"politik" atau "dakwah nyata". Atau malah terbelah
antar-keduanya.
Sosok yang harus dipilih sebagai presiden pun--kebetulan atau
tidak--begitu bertolak belakang. Dari latar keluarga, karier dan pengalaman
hidup, orientasi, hingga postur tubuh. Prabowo Subianto, "anak
kota" dari keluarga Nasrani-muslim kaya, berbadan gempal. Joko Widodo,
"anak daerah" dari keluarga muslim sederhana, bertubuh kerempeng.
Dalam berkeluarga, Prabowo gagal dan Jokowi harmonis. Dalam karier, Prabowo
jenderal dan Jokowi eksportir mebel yang lalu menjadi pejabat publik. Prabowo
gemar berkuda, Jokowi suka blusukan.
Kecenderungan keagamaannya pun berbeda. Prabowo lebih dekat dengan para
"pemimpin Islam' dibanding menjalankan ritual. Sedangkan Jokowi lebih
taat dalam ritual--seperti salat dan puasa--ketimbang dekat dengan
"pemimpin Islam". Maka. Prabowo lebih didukung oleh kalangan
"Islam politik" dan Jokowi disokong oleh kelompok "Islam
kultural". Prabowo dipandang akan lebih membela "syariah",
sedangkan Jokowi diyakini lebih mengedepankan "akhlak' lewat Revolusi Mental-nya. Kecenderungan itu
selaras dengan pendekatan masing-masing yang juga berbeda. Prabowo dengan
pendekatan maskulin, sedangkan Jokowi cenderung pada pendekatan feminin.
Keterbelahan dukungan umat Islam itu tak terlepas dari perbedaan
sosiologis pendukung keduanya. Kalangan tradisionalis merasa lebih terwakili
oleh figur Jokowi. Itu yang menjelaskan mengapa PKB di belakang Jokowi.
Kalangan modernis yang lebih politis merasa lebih srek dengan sosok Prabowo,
seperti tecermin lewat dukungan PKS, PAN, dan PPP. Berbagai argumen dipakai untuk menguatkan
dukungan itu.
Di luar mereka, masih ada kalangan lain yakni "kalangan posmo atau
madani". Mereka cenderung memilih Jokowi yang "pekerja"
dibanding Prabowo yang "retoris nasionalis". Indonesia dinilai
lebih memerlukan "presiden pekerja" dibanding "presiden
retoris". Selain itu, bila Jokowi jadi presiden, akan mematahkan
paradigma lama, bahwa hanya keluarga "terhormat" yang bisa jadi
presiden. Anak "orang biasa" seperti Jokowi--atau siapa pun--bisa
juga menjadi presiden hebat sepanjang mampu dan dipilih rakyat seperti Obama
di Amerika.
Di Indonesia, kalangan posmo atau madani itu sangat sedikit. Mereka
praktis tak berperan signifikan dalam penentuan presiden. Maka, pertarungan
yang terjadi adalah pertarungan antara kalangan tradisionalis dan modernis
yang hampir pasti seru dan berpotensi memecah umat. Maraknya kampanye hitam
adalah cermin sengit pertarungan tersebut. Termasuk fitnah--yang ironisnya
mengatasnamakan Islam--yang juga terus-menerus menghajar Jokowi.
Syukurlah, Pilpres 2014 ini berlangsung pada saat Ramadan, sehingga
ketegangan yang ada dapat teredam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar