Sabtu, 05 Juli 2014

Pemilihan Presiden dan Ramadan

                             Pemilihan Presiden dan Ramadan

Zaim Uchrowi  ;   Kolumnis Senior
KORAN TEMPO,  02 Juli 2014
                                                


Bagaimana suasana Ramadan berbalut pemilihan presiden? Tepat di puasa hari ke-12, Indonesia akan memilih presiden untuk masa lima tahun mendatang. Bukan hanya salat tarawih saban malam dan tadarus Al-Quran yang susul-menyusul menyemarakkan Ramadan, kampanye serta debat calon presiden ikut pula mewarnai suasananya.

Bagi umat Islam, peristiwa ini sungguh penting. Pemilihan presiden atau pilpres bukan semata akan menentukan sosok pemimpin Indonesia ke depan. Pilpres kali ini juga menguji bagaimana umat Islam akan berperan dalam kehidupan bernegara pada masa mendatang. Apakah akan lebih mengedepankan "politik" atau "dakwah nyata". Atau malah terbelah antar-keduanya.

Sosok yang harus dipilih sebagai presiden pun--kebetulan atau tidak--begitu bertolak belakang. Dari latar keluarga, karier dan pengalaman hidup, orientasi, hingga postur tubuh. Prabowo Subianto, "anak kota" dari keluarga Nasrani-muslim kaya, berbadan gempal. Joko Widodo, "anak daerah" dari keluarga muslim sederhana, bertubuh kerempeng. Dalam berkeluarga, Prabowo gagal dan Jokowi harmonis. Dalam karier, Prabowo jenderal dan Jokowi eksportir mebel yang lalu menjadi pejabat publik. Prabowo gemar berkuda, Jokowi suka blusukan.

Kecenderungan keagamaannya pun berbeda. Prabowo lebih dekat dengan para "pemimpin Islam' dibanding menjalankan ritual. Sedangkan Jokowi lebih taat dalam ritual--seperti salat dan puasa--ketimbang dekat dengan "pemimpin Islam". Maka. Prabowo lebih didukung oleh kalangan "Islam politik" dan Jokowi disokong oleh kelompok "Islam kultural". Prabowo dipandang akan lebih membela "syariah", sedangkan Jokowi diyakini lebih mengedepankan "akhlak' lewat Revolusi Mental-nya. Kecenderungan itu selaras dengan pendekatan masing-masing yang juga berbeda. Prabowo dengan pendekatan maskulin, sedangkan Jokowi cenderung pada pendekatan feminin.

Keterbelahan dukungan umat Islam itu tak terlepas dari perbedaan sosiologis pendukung keduanya. Kalangan tradisionalis merasa lebih terwakili oleh figur Jokowi. Itu yang menjelaskan mengapa PKB di belakang Jokowi. Kalangan modernis yang lebih politis merasa lebih srek dengan sosok Prabowo, seperti tecermin lewat dukungan PKS, PAN, dan PPP.  Berbagai argumen dipakai untuk menguatkan dukungan itu.

Di luar mereka, masih ada kalangan lain yakni "kalangan posmo atau madani". Mereka cenderung memilih Jokowi yang "pekerja" dibanding Prabowo yang "retoris nasionalis". Indonesia dinilai lebih memerlukan "presiden pekerja" dibanding "presiden retoris". Selain itu, bila Jokowi jadi presiden, akan mematahkan paradigma lama, bahwa hanya keluarga "terhormat" yang bisa jadi presiden. Anak "orang biasa" seperti Jokowi--atau siapa pun--bisa juga menjadi presiden hebat sepanjang mampu dan dipilih rakyat seperti Obama di Amerika.

Di Indonesia, kalangan posmo atau madani itu sangat sedikit. Mereka praktis tak berperan signifikan dalam penentuan presiden. Maka, pertarungan yang terjadi adalah pertarungan antara kalangan tradisionalis dan modernis yang hampir pasti seru dan berpotensi memecah umat. Maraknya kampanye hitam adalah cermin sengit pertarungan tersebut. Termasuk fitnah--yang ironisnya mengatasnamakan Islam--yang juga terus-menerus menghajar Jokowi.

Syukurlah, Pilpres 2014 ini berlangsung pada saat Ramadan, sehingga ketegangan yang ada dapat teredam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar