Kamis, 10 Juli 2014

Rubah Gurun dan Revolusi Aljazair

                          Rubah Gurun dan Revolusi Aljazair

Anton Kurnia  ;   Cerpenis dan Esais, Tinggal di Bandung
JAWA POS,  09 Juli 2014

                                                                                                                       

HANYA ada dua wakil Afrika, sekaligus kontestan di luar benua Amerika dan Eropa, yang tampil hingga babak 16 besar Piala Dunia 2014 di Brasil: Nigeria dan Aljazair. Sayangnya, keduanya kandas. Nigeria takluk dua gol tanpa balas dari Prancis, juara dunia 1998. Sementara itu Aljazair yang tampil luar biasa dan terus bermain penuh semangat hingga akhir perpanjangan waktu terpaksa mengakui keunggulan juara dunia tiga kali Jerman dengan skor tipis 1-2.

Namun, dunia menyaksikan betapa Aljazair nyaris mempermalukan Jerman, tim yang sarat pengalaman dan bertabur bintang, Selasa lalu. Tim berjuluk Rubah Gurun (’’Les Fennecs’’) itu pun bisa pulang dengan kepala tegak.

Piala Dunia kali ini adalah penampilan keempat timnas Aljazair setelah 1982, 1986, dan 2010. Pada penampilan perdana mereka di Spanyol 32 tahun silam, negara di jazirah utara Afrika yang baru merdeka dari penjajahan Prancis pada 1962 itu berhasil membuat kejutan dengan menaklukkan Jerman, juara Eropa saat itu, 2-1. Mereka lalu menyikat wakil Amerika Latin, Cile, 3-2 setelah menyerah 0-2 dari Austria.

Sayangnya, mereka gagal lolos ke putaran kedua karena Jerman dan Austria bermain mata di partai terakhir. Austria mengalah 0-1 kepada Jerman sehingga mereka berdua lolos ke babak berikut karena unggul selisih gol, walau memiliki poin yang sama dengan Rabah Madjer dan kawan-kawan.

Malam itu di Porto Alegre, nyaris saja Islam Slimani dan kawan-kawan berhasil melampiaskan dendam atas Der Panser. Sebelumnya, pada babak penyisihan grup, mereka sukses menyingkirkan tim kuat Rusia dan Korea Selatan, meraih posisi kedua di bawah Belgia. Kemenangan 4-2 atas Korea Selatan bahkan tercatat sebagai rekor kali pertama sebuah tim Afrika mencetak 4 gol dalam pertandingan Piala Dunia. Itu sekaligus menjadi kemenangan pertama Aljazair di Piala Dunia setelah kemenangan atas Cile di Spanyol, 24 Juni 1982. Sebab, pada 1986 dan 2010, mereka gagal meraih kemenangan sekali pun. Empat tahun silam mereka bahkan tidak berhasil mencetak satu gol pun setelah kalah 0-1 dari Amerika Serikat dan Slovenia serta bermain imbang tanpa gol dengan Inggris.
Walau terpaksa takluk melalui babak perpanjangan waktu dan harus bermain lebih dari 128 menit dalam keadaan banyak pemain mereka berpuasa, Aljazair berhasil mencuri simpati dunia. Mereka menunjukkan semangat yang gigih laksana pejuang FLN (Front Pembebasan Nasional) saat perang kemerdekaan Aljazair pada akhir 1950-an semisal Djamila Bouhired.

Djamila adalah gerilyawan legendaris Aljazair yang ditakuti penguasa kolonial Prancis dan amat tenar di dunia. Kisah hidupnya pernah difilmkan dalam Djamila the Algerian (1958) oleh sutradara Mesir, Youssef Chahine, dan menjadi inspirasi banyak orang. Dalam kecamuk revolusi Aljazair, Djamila ditangkap tentara Prancis dalam satu sergapan. Dia dipenjarakan dan disiksa sebelum diseret ke pengadilan Prancis dan dijatuhi hukuman mati pada 1957. Namun, lewat perjuangan diplomatis pengacaranya, seorang pria Prancis bernama Jacques Verges –yang kelak dinikahinya–, Djamila terhindar dari eksekusi. Setelah proklamasi kemerdekaan Aljazair pada 1962, Djamila berhasil dibebaskan dan pulang ke Aljazair sebagai pahlawan.

Djamila, perempuan kelahiran 1935 yang kini menetap di Algiers, dan saudara-saudara sebangsanya tentu bangga menyaksikan perjuangan pasukan Rubah Gurun menahan gempuran Jerman yang dikenal memiliki staying power mengagumkan. Aljazair bahkan berkali-kali membahayakan gawang lawan yang dikawal salah satu kiper terbaik dunia, Manuel Neuer. Neuer harus lintang pukang maju hingga ke depan kotak penalti untuk menghadang para penyerang Laskar Hijau yang memiliki kecepatan lari mengagumkan. Jika gol sundulan Slimani pada menit ke-17 tidak dianulir wasit Sandro Ricci karena pemain bernomor 13 itu dianggap telah off-side, Aljazair bisa jadi bakal unggul.

Revolusi dan Sepak Bola

Aljazair memang bangsa pejuang. Mereka merebut kemerdekaan dari Prancis dengan penuh perjuangan melalui Perang Aljazair yang berlangsung sengit antara para aktivis FLN dan rakyat Aljazair melawan tentara Prancis yang dibantu sebagian orang Aljazair sendiri –yang dikenal dengan sebutan harkis (tentara). Revolusi Aljazair yang berlangsung 1954–1965 adalah perjuangan antikolonial terdahsyat pada masa setelah Perang Dunia II yang bergejolak di berbagai negeri di Asia dan Afrika.

Berkecamuknya perang diawali serangan gerilyawan FLN terhadap tentara Prancis di pegunungan Aures, bagian timur Aljazair, 1 November 1954. Itu terjadi hanya enam bulan setelah kekalahan Prancis di Dien Bien Phu, Vietnam, yang menandai lunturnya dominasi mereka di Indochina dan mulai runtuhnya imperium kolonial Prancis –dan kolonialis Eropa lainnya seperti Inggris– di berbagai belahan dunia.
Indonesia juga ambil bagian dalam revolusi itu dengan mengirimkan bantuan senjata secara rahasia kepada para pejuang Aljazair. Hal itu diungkap dalam buku karya Guntur Soekarnoputra, Bung Karno: Ayahku, Kawanku, Guruku. Tak heran jika nama Bung Karno yang gigih menyokong kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika amat harum di negeri itu. Atas dasar solidaritas Asia-Afrika pula tim nasional Aljazair pernah hadir mengikuti kejuaraan Piala Kemerdekaan di Jakarta pada 1980-an.

Bagi bangsa Aljazair, seperti kita di Indonesia, sepak bola pada mulanya adalah alat perjuangan. Sebelum meraih kemerdekaan, FLN membentuk tim sepak bola sebagai alat diplomasi antarbangsa. Untuk membentuk solidaritas dan menarik perhatian internasional, mereka melangsungkan pertandingan persahabatan dengan sesama negara Afrika seperti Tunisia.

Ironisnya, kelak para pemain keturunan Aljazair justru menjadi tulang punggung tim nasional Prancis, bekas penjajah mereka. Di antaranya, Zinedine Zidane yang membawa Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 serta Karim Benzema, striker tajam yang telah mencetak tiga gol dalam Piala Dunia kali ini.

Seandainya Aljazair berhasil menaklukkan Jerman, tentulah mereka akan berhadapan dengan Prancis pada babak perempat final. Itu akan menjadi pertemuan pertama dua negara yang punya pertalian historis tersebut di Piala Dunia. Sayangnya, laga bersejarah itu tidak terwujud.

Namun, bagaimanapun, tim Rubah Gurun Aljazair telah menunjukkan ketangguhan mereka kepada dunia. Pelatih Jerman Joachim Loew pun menyatakan rasa salutnya tanpa sungkan. ’’Tim Aljazair bermain dengan luar biasa. Kami sering kehilangan bola dan mengundang lawan untuk menyerang balik,’’ katanya dalam konferensi pers setelah pertandingan.

Pujian khusus layak diberikan kepada kiper Rais Mbolhi yang menggagalkan 14 peluang Jerman lewat penampilan cemerlangnya, walau terpaksa kebobolan dua gol. Dia pun dinobatkan FIFA sebagai man of the match.
’’Aku berutang pada sepak bola atas segala hal yang kuketahui tentang moralitas dan kewajiban manusia,’’ ujar Albert Camus, sastrawan Prancis kelahiran Aljazair pemenang Nobel Sastra 1957 yang pernah aktif bermain sepak bola sebagai penjaga gawang di sebuah klub di Aljazair itu.

Selaras dengan Camus, para pemain Aljazair telah menunjukkan perjuangan pantang menyerah dan menunaikan kewajiban mereka kepada tanah air dengan gagah berani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar