Rubah
Gurun dan Revolusi Aljazair
Anton Kurnia ; Cerpenis dan Esais, Tinggal di Bandung
|
JAWA
POS, 09 Juli 2014
HANYA
ada dua wakil Afrika, sekaligus kontestan di luar benua Amerika dan Eropa,
yang tampil hingga babak 16 besar Piala Dunia 2014 di Brasil: Nigeria dan
Aljazair. Sayangnya, keduanya kandas. Nigeria takluk dua gol tanpa balas dari
Prancis, juara dunia 1998. Sementara itu Aljazair yang tampil luar biasa dan
terus bermain penuh semangat hingga akhir perpanjangan waktu terpaksa
mengakui keunggulan juara dunia tiga kali Jerman dengan skor tipis 1-2.
Namun,
dunia menyaksikan betapa Aljazair nyaris mempermalukan Jerman, tim yang sarat
pengalaman dan bertabur bintang, Selasa lalu. Tim berjuluk Rubah Gurun (’’Les
Fennecs’’) itu pun bisa pulang dengan kepala tegak.
Piala
Dunia kali ini adalah penampilan keempat timnas Aljazair setelah 1982, 1986,
dan 2010. Pada penampilan perdana mereka di Spanyol 32 tahun silam, negara di
jazirah utara Afrika yang baru merdeka dari penjajahan Prancis pada 1962 itu
berhasil membuat kejutan dengan menaklukkan Jerman, juara Eropa saat itu,
2-1. Mereka lalu menyikat wakil Amerika Latin, Cile, 3-2 setelah menyerah 0-2
dari Austria.
Sayangnya,
mereka gagal lolos ke putaran kedua karena Jerman dan Austria bermain mata di
partai terakhir. Austria mengalah 0-1 kepada Jerman sehingga mereka berdua
lolos ke babak berikut karena unggul selisih gol, walau memiliki poin yang
sama dengan Rabah Madjer dan kawan-kawan.
Malam
itu di Porto Alegre, nyaris saja Islam Slimani dan kawan-kawan berhasil
melampiaskan dendam atas Der Panser. Sebelumnya, pada babak penyisihan grup,
mereka sukses menyingkirkan tim kuat Rusia dan Korea Selatan, meraih posisi
kedua di bawah Belgia. Kemenangan 4-2 atas Korea Selatan bahkan tercatat
sebagai rekor kali pertama sebuah tim Afrika mencetak 4 gol dalam
pertandingan Piala Dunia. Itu sekaligus menjadi kemenangan pertama Aljazair
di Piala Dunia setelah kemenangan atas Cile di Spanyol, 24 Juni 1982. Sebab,
pada 1986 dan 2010, mereka gagal meraih kemenangan sekali pun. Empat tahun
silam mereka bahkan tidak berhasil mencetak satu gol pun setelah kalah 0-1
dari Amerika Serikat dan Slovenia serta bermain imbang tanpa gol dengan
Inggris.
Walau
terpaksa takluk melalui babak perpanjangan waktu dan harus bermain lebih dari
128 menit dalam keadaan banyak pemain mereka berpuasa, Aljazair berhasil
mencuri simpati dunia. Mereka menunjukkan semangat yang gigih laksana pejuang
FLN (Front Pembebasan Nasional) saat perang kemerdekaan Aljazair pada akhir
1950-an semisal Djamila Bouhired.
Djamila
adalah gerilyawan legendaris Aljazair yang ditakuti penguasa kolonial Prancis
dan amat tenar di dunia. Kisah hidupnya pernah difilmkan dalam Djamila the
Algerian (1958) oleh sutradara Mesir, Youssef Chahine, dan menjadi inspirasi
banyak orang. Dalam kecamuk revolusi Aljazair, Djamila ditangkap tentara
Prancis dalam satu sergapan. Dia dipenjarakan dan disiksa sebelum diseret ke
pengadilan Prancis dan dijatuhi hukuman mati pada 1957. Namun, lewat
perjuangan diplomatis pengacaranya, seorang pria Prancis bernama Jacques
Verges –yang kelak dinikahinya–, Djamila terhindar dari eksekusi. Setelah
proklamasi kemerdekaan Aljazair pada 1962, Djamila berhasil dibebaskan dan pulang
ke Aljazair sebagai pahlawan.
Djamila,
perempuan kelahiran 1935 yang kini menetap di Algiers, dan saudara-saudara
sebangsanya tentu bangga menyaksikan perjuangan pasukan Rubah Gurun menahan
gempuran Jerman yang dikenal memiliki staying power mengagumkan. Aljazair
bahkan berkali-kali membahayakan gawang lawan yang dikawal salah satu kiper
terbaik dunia, Manuel Neuer. Neuer harus lintang pukang maju hingga ke depan
kotak penalti untuk menghadang para penyerang Laskar Hijau yang memiliki
kecepatan lari mengagumkan. Jika gol sundulan Slimani pada menit ke-17 tidak
dianulir wasit Sandro Ricci karena pemain bernomor 13 itu dianggap telah
off-side, Aljazair bisa jadi bakal unggul.
Revolusi dan Sepak Bola
Aljazair
memang bangsa pejuang. Mereka merebut kemerdekaan dari Prancis dengan penuh
perjuangan melalui Perang Aljazair yang berlangsung sengit antara para
aktivis FLN dan rakyat Aljazair melawan tentara Prancis yang dibantu sebagian
orang Aljazair sendiri –yang dikenal dengan sebutan harkis (tentara).
Revolusi Aljazair yang berlangsung 1954–1965 adalah perjuangan antikolonial
terdahsyat pada masa setelah Perang Dunia II yang bergejolak di berbagai
negeri di Asia dan Afrika.
Berkecamuknya
perang diawali serangan gerilyawan FLN terhadap tentara Prancis di pegunungan
Aures, bagian timur Aljazair, 1 November 1954. Itu terjadi hanya enam bulan
setelah kekalahan Prancis di Dien Bien Phu, Vietnam, yang menandai lunturnya
dominasi mereka di Indochina dan mulai runtuhnya imperium kolonial Prancis
–dan kolonialis Eropa lainnya seperti Inggris– di berbagai belahan dunia.
Indonesia
juga ambil bagian dalam revolusi itu dengan mengirimkan bantuan senjata
secara rahasia kepada para pejuang Aljazair. Hal itu diungkap dalam buku
karya Guntur Soekarnoputra, Bung Karno: Ayahku, Kawanku, Guruku. Tak heran
jika nama Bung Karno yang gigih menyokong kemerdekaan bangsa-bangsa
Asia-Afrika amat harum di negeri itu. Atas dasar solidaritas Asia-Afrika pula
tim nasional Aljazair pernah hadir mengikuti kejuaraan Piala Kemerdekaan di
Jakarta pada 1980-an.
Bagi
bangsa Aljazair, seperti kita di Indonesia, sepak bola pada mulanya adalah
alat perjuangan. Sebelum meraih kemerdekaan, FLN membentuk tim sepak bola
sebagai alat diplomasi antarbangsa. Untuk membentuk solidaritas dan menarik
perhatian internasional, mereka melangsungkan pertandingan persahabatan
dengan sesama negara Afrika seperti Tunisia.
Ironisnya,
kelak para pemain keturunan Aljazair justru menjadi tulang punggung tim
nasional Prancis, bekas penjajah mereka. Di antaranya, Zinedine Zidane yang
membawa Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 serta
Karim Benzema, striker tajam yang telah mencetak tiga gol dalam Piala Dunia
kali ini.
Seandainya
Aljazair berhasil menaklukkan Jerman, tentulah mereka akan berhadapan dengan
Prancis pada babak perempat final. Itu akan menjadi pertemuan pertama dua
negara yang punya pertalian historis tersebut di Piala Dunia. Sayangnya, laga
bersejarah itu tidak terwujud.
Namun,
bagaimanapun, tim Rubah Gurun Aljazair telah menunjukkan ketangguhan mereka
kepada dunia. Pelatih Jerman Joachim Loew pun menyatakan rasa salutnya tanpa
sungkan. ’’Tim Aljazair bermain dengan luar biasa. Kami sering kehilangan
bola dan mengundang lawan untuk menyerang balik,’’ katanya dalam konferensi
pers setelah pertandingan.
Pujian
khusus layak diberikan kepada kiper Rais Mbolhi yang menggagalkan 14 peluang
Jerman lewat penampilan cemerlangnya, walau terpaksa kebobolan dua gol. Dia
pun dinobatkan FIFA sebagai man of the
match.
’’Aku
berutang pada sepak bola atas segala hal yang kuketahui tentang moralitas dan
kewajiban manusia,’’ ujar Albert Camus, sastrawan Prancis kelahiran Aljazair
pemenang Nobel Sastra 1957 yang pernah aktif bermain sepak bola sebagai
penjaga gawang di sebuah klub di Aljazair itu.
Selaras
dengan Camus, para pemain Aljazair telah menunjukkan perjuangan pantang
menyerah dan menunaikan kewajiban mereka kepada tanah air dengan gagah
berani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar