Pilpres
di Washington DC
Pipit Andriani ; Staf Pengajar Surabaya International School, Sedang berada
di AS
|
JAWA
POS, 09 Juli 2014
PEMILU
presiden (pilpres) kali ini, saya berada di Amerika Serikat (AS) karena
diminta sekolah tempat saya bekerja, Surabaya
International School, untuk mengantar murid-murid summer camp di beberapa universitas di AS. Coblosan di AS
dilaksanakan di Washington DC pada 5 Juli 2014. Cukup jauh dari tempat saya
tinggal, di Atlanta, Georgia.
Tapi,
saya membulatkan tekad untuk menyewa mobil dan berkendara selama sembilan jam
ke Washington agar bisa menyalurkan aspirasi saya dalam pilpres. Saya kaget
sendiri dengan keputusan saya karena sebelumnya saya tidak begitu peduli
dengan pemilu.
Ketika
sampai di rumah duta besar (Dubes) Indonesia untuk AS di Tilden Street,
Washington DC, saya bertemu banyak sekali WNI yang juga hendak memilih.
Tercatat 2.022 pemilih tetap dari Washington dan wilayah sekitarnya. Awalnya
saya dan sekitar 50-an orang lainnya tidak diberi kesempatan untuk memilih
karena kami dianggap tidak masuk dalam daftar pemilih.
Tapi,
kami bersikeras untuk bisa memilih karena di website PPLN Washington DC tertulis,
setiap WNI yang belum terdaftar sebagai pemilih tetap bisa memilih asalkan
datang paling lambat dua jam sebelum TPS ditutup dengan membawa paspor. Bukan
cuma saya, pemilih lain juga jauh-jauh datang dari tempat tinggal
masing-masing di negara bagian lain seperti North Carolina dan Virginia.
Dengan dua argumen tersebut akhirnya kami diperbolehkan memilih meski harus
menunggu hingga enam jam lebih. Waktu pemungutan suara dimulai pukul 09.00
hingga 20.00 waktu setempat.
Waktu
yang lama untuk menunggu saya manfaatkan untuk berkenalan dengan banyak WNI
di sana. Sungguh luar biasa, saya terharu dengan para TKI yang sudah lama
tinggal di AS, tapi baru kali ini tergerak untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Seperti yang diungkapkan Agus Subiyanto dari Pasuruan dan Wati Sugiarto dari
Kudus yang sudah sepuluh tahun tinggal di AS. Keduanya rela minta izin dari
tempat kerja dan dipotong gaji untuk bisa menyumbangkan suaranya pada hari
itu. Ada pula yang harus naik bus dari satu negara bagian ke negara bagian
lain selama berjam-jam dengan biaya yang tidak murah agar bisa
berpartisipasi!
Sesampai di KBRI, mereka mengalami hal yang sama dengan saya,
yaitu menunggu sejak pukul 12.00 hingga 18.00 karena belum terdaftar.
Selain
mereka, saya secara pribadi juga kagum dengan seorang ibu bernama Kasiyem
dari Madiun. Ibu ini menikah dengan warga negara AS selama 25 tahun dan tetap
setia mempertahankan kewarganegaraannya sebagai WNI. Selama 25 tahun di AS,
ini kali pertama dia tergerak untuk ikut memilih pimpinan negara di tanah
kelahirannya.
Pertanyaan
saya, ada apa dengan pemilu kali ini? Kenapa masyarakat yang sebelumnya tidak
tergerak untuk berpartisipasi jadi ingin berpartisipasi? Ketika diminta
berkorban, tidak hanya menunggu berjam-jam, jarak tempuh lama dan korban
materi pun dijalani.
Sebagian
besar orang yang saya temui mengatakan baru kali ini merasa ada calon
presiden yang dianggap mampu mewakili suara mereka. Saya hanya bisa
membayangkan betapa sibuknya panitia pemilihan luar negeri/PPLN dengan
membanjirnya jumlah pemilih tambahan. Di mana mereka mungkin belajar dari
pengalaman sebelumnya, tidak membeludak seperti saat ini.
Sempat
saya membaca artikel-artikel di media online dan tampaknya membeludaknya
pemilih tambahan ini juga terjadi hampir di semua negara di dunia. Menurut
Victoria Imron, pemilih tetap di Den Haag, Belanda, antrean di TPS Den Haag
mencapai 300 meter sampai tumpah ke trotoar diselingi kehujanan.
Saya
salut dengan KBRI di Washington walau harus berdebat dahulu agar bisa
memilih, tapi mereka kooperatif mendengarkan suara pemilih. Sikap panitia
sangat membantu kami menyumbangkan suara. Bahkan, rumah Dubes rela dijadikan
lokasi tempat pemungutan suara (TPS).
Di sisi
lain, saya menyayangkan insiden yang mengakibatkan ratusan, bahkan ribuan,
WNI di Hongkong tidak bisa memilih karena terbatasnya waktu. Jika
dibandingkan secara paralel, di Washington dengan jumlah pemilih lebih dari
2.000, TPS dibuka sampai pukul 20.00 waktu setempat.
Namun,
ketika menyadari bahwa jumlah pemilih di Hongkong sekitar 25.000, kenapa TPS
hanya dibuka sampai pukul 17.00? Ketika memang tidak diizinkan pemerintah
Hongkong menggunakan fasilitas umum di atas pukul 17.00, kenapa tidak dipilih
lokasi lain atau pemungutan suara dilaksanakan selama dua hari?
Administrasi Tetap Ruwet
Orang
bijak berkata, no one plans to fail,
but a lot of people fail to plan. Tidak ada yang berencana untuk gagal,
tapi banyak yang gagal membuat rencana. Menurut saya, letak masalahnya ada
pada perencanaan teknis pelaksanaan pemilu dan bagaimanapun pemerintah harus
bisa mengakomodasi hak suara masyarakat tersebut. Ketika plan A gagal, plan B
harus segera dibuat, tidak bisa hanya membiarkan saja kesalahan itu dengan
berharap masyarakat lama-lama akan maklum dan lupa dengan ketidaksiapan
panitia tersebut.
Selain
kurang perencanaan matang, masih banyak hal teknis lain yang menghambat
anggota masyarakat untuk memilih. Misalnya yang dialami Nadia Yosefina
Nugroho, mahasiswi North Seattle University yang sudah mendaftar secara
online agar bisa mengikuti pemilihan lewat pos. Nadia mendapat e-mail
konfirmasi dan sudah terdaftar sebagai pemilih dengan nomor urut 3.176 di
konsulat Indonesia di San Francisco, tapi sampai hari ini dia belum menerima
surat suara.
Nadia
merupakan salah seorang mahasiswi yang gigih memperjuangkan hak suaranya.
Karena itu, saya tidak ingin melihat Nadia lain dan orang-orang seperti dia
kecewa. Saya sempat membantu Nadia lewat KBRI Washington DC dan mereka
meminta saya menghubungi konsulat di San Francisco. Ketika saya menelepon ke
konsulat San Francisco, malah dialihkan dari satu extension ke extension
lainnya. Yang terpikir dalam benak saya, administrasi pemerintah di Indonesia
maupun konsulat Indonesia di San Francisco tidak jauh berbeda.
Saya
juga menyayangkan kurang sinkronnya database WNI di luar negeri yang
terdaftar di KBRI dengan data pemilih tetap. Sudah semestinya ada strategi
untuk men-generate data siapa saja
yang menjadi pemilih lewat data WNI yang sudah ada di KBRI. Jadi, pemilih pun
tidak perlu daftar ulang agar bisa memilih.
Dua calon
presiden dan wakil presiden sama-sama membawa amanah untuk masa depan bangsa.
Kami pemilih di luar negeri yang memiliki hak suara tidak saja ingin
mendukung salah satu di antara mereka, tapi juga ingin negeri tercinta
menjadi lebih baik. Definisi baik yang sangat luas, mulai pendidikan yang
baik, kesehatan yang baik, pembangunan yang baik, juga mental masyarakatnya
yang juga harus diperbaiki.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar