Kamis, 10 Juli 2014

Pilpres di Washington DC

                                        Pilpres di Washington DC

Pipit Andriani  ;   Staf Pengajar Surabaya International School, Sedang berada di AS
JAWA POS,  09 Juli 2014

                                                                                                                       

PEMILU presiden (pilpres) kali ini, saya berada di Amerika Serikat (AS) karena diminta sekolah tempat saya bekerja, Surabaya International School, untuk mengantar murid-murid summer camp di beberapa universitas di AS. Coblosan di AS dilaksanakan di Washington DC pada 5 Juli 2014. Cukup jauh dari tempat saya tinggal, di Atlanta, Georgia.

Tapi, saya membulatkan tekad untuk menyewa mobil dan berkendara selama sembilan jam ke Washington agar bisa menyalurkan aspirasi saya dalam pilpres. Saya kaget sendiri dengan keputusan saya karena sebelumnya saya tidak begitu peduli dengan pemilu.

Ketika sampai di rumah duta besar (Dubes) Indonesia untuk AS di Tilden Street, Washington DC, saya bertemu banyak sekali WNI yang juga hendak memilih. Tercatat 2.022 pemilih tetap dari Washington dan wilayah sekitarnya. Awalnya saya dan sekitar 50-an orang lainnya tidak diberi kesempatan untuk memilih karena kami dianggap tidak masuk dalam daftar pemilih.

Tapi, kami bersikeras untuk bisa memilih karena di website PPLN Washington DC tertulis, setiap WNI yang belum terdaftar sebagai pemilih tetap bisa memilih asalkan datang paling lambat dua jam sebelum TPS ditutup dengan membawa paspor. Bukan cuma saya, pemilih lain juga jauh-jauh datang dari tempat tinggal masing-masing di negara bagian lain seperti North Carolina dan Virginia. Dengan dua argumen tersebut akhirnya kami diperbolehkan memilih meski harus menunggu hingga enam jam lebih. Waktu pemungutan suara dimulai pukul 09.00 hingga 20.00 waktu setempat.

Waktu yang lama untuk menunggu saya manfaatkan untuk berkenalan dengan banyak WNI di sana. Sungguh luar biasa, saya terharu dengan para TKI yang sudah lama tinggal di AS, tapi baru kali ini tergerak untuk berpartisipasi dalam pemilu. Seperti yang diungkapkan Agus Subiyanto dari Pasuruan dan Wati Sugiarto dari Kudus yang sudah sepuluh tahun tinggal di AS. Keduanya rela minta izin dari tempat kerja dan dipotong gaji untuk bisa menyumbangkan suaranya pada hari itu. Ada pula yang harus naik bus dari satu negara bagian ke negara bagian lain selama berjam-jam dengan biaya yang tidak murah agar bisa berpartisipasi! 

Sesampai di KBRI, mereka mengalami hal yang sama dengan saya, yaitu menunggu sejak pukul 12.00 hingga 18.00 karena belum terdaftar.
Selain mereka, saya secara pribadi juga kagum dengan seorang ibu bernama Kasiyem dari Madiun. Ibu ini menikah dengan warga negara AS selama 25 tahun dan tetap setia mempertahankan kewarganegaraannya sebagai WNI. Selama 25 tahun di AS, ini kali pertama dia tergerak untuk ikut memilih pimpinan negara di tanah kelahirannya.

Pertanyaan saya, ada apa dengan pemilu kali ini? Kenapa masyarakat yang sebelumnya tidak tergerak untuk berpartisipasi jadi ingin berpartisipasi? Ketika diminta berkorban, tidak hanya menunggu berjam-jam, jarak tempuh lama dan korban materi pun dijalani.

Sebagian besar orang yang saya temui mengatakan baru kali ini merasa ada calon presiden yang dianggap mampu mewakili suara mereka. Saya hanya bisa membayangkan betapa sibuknya panitia pemilihan luar negeri/PPLN dengan membanjirnya jumlah pemilih tambahan. Di mana mereka mungkin belajar dari pengalaman sebelumnya, tidak membeludak seperti saat ini.

Sempat saya membaca artikel-artikel di media online dan tampaknya membeludaknya pemilih tambahan ini juga terjadi hampir di semua negara di dunia. Menurut Victoria Imron, pemilih tetap di Den Haag, Belanda, antrean di TPS Den Haag mencapai 300 meter sampai tumpah ke trotoar diselingi kehujanan.

Saya salut dengan KBRI di Washington walau harus berdebat dahulu agar bisa memilih, tapi mereka kooperatif mendengarkan suara pemilih. Sikap panitia sangat membantu kami menyumbangkan suara. Bahkan, rumah Dubes rela dijadikan lokasi tempat pemungutan suara (TPS).

Di sisi lain, saya menyayangkan insiden yang mengakibatkan ratusan, bahkan ribuan, WNI di Hongkong tidak bisa memilih karena terbatasnya waktu. Jika dibandingkan secara paralel, di Washington dengan jumlah pemilih lebih dari 2.000, TPS dibuka sampai pukul 20.00 waktu setempat.

Namun, ketika menyadari bahwa jumlah pemilih di Hongkong sekitar 25.000, kenapa TPS hanya dibuka sampai pukul 17.00? Ketika memang tidak diizinkan pemerintah Hongkong menggunakan fasilitas umum di atas pukul 17.00, kenapa tidak dipilih lokasi lain atau pemungutan suara dilaksanakan selama dua hari?

Administrasi Tetap Ruwet

Orang bijak berkata, no one plans to fail, but a lot of people fail to plan. Tidak ada yang berencana untuk gagal, tapi banyak yang gagal membuat rencana. Menurut saya, letak masalahnya ada pada perencanaan teknis pelaksanaan pemilu dan bagaimanapun pemerintah harus bisa mengakomodasi hak suara masyarakat tersebut. Ketika plan A gagal, plan B harus segera dibuat, tidak bisa hanya membiarkan saja kesalahan itu dengan berharap masyarakat lama-lama akan maklum dan lupa dengan ketidaksiapan panitia tersebut.

Selain kurang perencanaan matang, masih banyak hal teknis lain yang menghambat anggota masyarakat untuk memilih. Misalnya yang dialami Nadia Yosefina Nugroho, mahasiswi North Seattle University yang sudah mendaftar secara online agar bisa mengikuti pemilihan lewat pos. Nadia mendapat e-mail konfirmasi dan sudah terdaftar sebagai pemilih dengan nomor urut 3.176 di konsulat Indonesia di San Francisco, tapi sampai hari ini dia belum menerima surat suara.

Nadia merupakan salah seorang mahasiswi yang gigih memperjuangkan hak suaranya. Karena itu, saya tidak ingin melihat Nadia lain dan orang-orang seperti dia kecewa. Saya sempat membantu Nadia lewat KBRI Washington DC dan mereka meminta saya menghubungi konsulat di San Francisco. Ketika saya menelepon ke konsulat San Francisco, malah dialihkan dari satu extension ke extension lainnya. Yang terpikir dalam benak saya, administrasi pemerintah di Indonesia maupun konsulat Indonesia di San Francisco tidak jauh berbeda.

Saya juga menyayangkan kurang sinkronnya database WNI di luar negeri yang terdaftar di KBRI dengan data pemilih tetap. Sudah semestinya ada strategi untuk men-generate data siapa saja yang menjadi pemilih lewat data WNI yang sudah ada di KBRI. Jadi, pemilih pun tidak perlu daftar ulang agar bisa memilih.

Dua calon presiden dan wakil presiden sama-sama membawa amanah untuk masa depan bangsa. Kami pemilih di luar negeri yang memiliki hak suara tidak saja ingin mendukung salah satu di antara mereka, tapi juga ingin negeri tercinta menjadi lebih baik. Definisi baik yang sangat luas, mulai pendidikan yang baik, kesehatan yang baik, pembangunan yang baik, juga mental masyarakatnya yang juga harus diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar