Mewaspadai
Quick Count Pesanan
Ainna Amalia FN ; Dosen psikologi STAIM Kertosono,
Pengurus LKK NU Wilayah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 10 Juli 2014
BILA dulu pada masa kampanye publik dijejali banyak lalu lalang fitnah
yang saling menjatuhkan kandidat serta saling sindir dan ejek antar pendukung
capres, pasca pencoblosan, persatuan dan kesatuan masyarakat rentan terusik
oleh praktik-praktik penghitungan cepat abal-abal.
Hal itu sesuai dengan pandangan Prof Koentjoro Soeparno dalam akun
Facebook-nya: Bahaya baru bagi kesatuan NKRI setelah kampanye hitam adalah quick count abal-abal. Tujuan quick count itu tidak benar-benar
memberikan informasi valid kepada publik tentang hasil pemilihan umum
presiden dan wakil presiden. Sebab, hasil quick
count itu palsu. Bisa jadi hanya pesanan salah satu kandidat untuk
membangun persepsi kemenangan dalam masyarakat atau kerjaan pihak-pihak yang
ingin mencederai proses demokrasi Indonesia.
Pihak itu melansir hasil penghitungan cepat untuk mengeruhkan suasana
hati para pendukung yang telah terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu
pendukung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Hal itu terbukti dengan adanya
perbedaan hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survei dalam menentukan
presiden terpilih.
Secara psikologis, hasil quick
count dapat memengaruhi persepsi publik dan memunculkan audience expectation pada kandidat
yang diunggulkan serta para pendukungnya. Problemnya kemudian, jika hasilnya
kemudian berbeda dengan penghitungan manual dari KPU, hal itu akan menjadi
amunisi terjadinya konflik dalam masyarakat.
Biasanya, kandidat dan pendukung yang telah diunggulkan quick count palsu
dan dinyatakan kalah oleh KPU akan menabur kekecewaan dan kecurigaan kepada
pihak lain. Mereka cenderung akan menempuh berbagai cara untuk menguatkan
ekspektasi kemenangannya, termasuk dengan cara anarkistis.
Di samping itu, pilpres satu putaran dan tidak ada kesempatan kedua
bagi kandidat membuat aroma persaingan ketat dan keras sangat terasa.
Ketegangan menghinggapi tidak saja pada kandidat, namun juga tim sukses serta
para pendukung masing-masing kandidat. Atmosfer sosial yang kurang sehat itu
akan sangat mudah meledak bila dipicu pihak yang kurang bertanggung jawab.
Ditambah, adanya perbedaan penghitungan beberapa quick count. Ada yang
memenangkan Prabowo-Hatta dan ada yang memenangkan Jokowi-JK. Masing-masing
kandidat dan pendukungnya merasa optimistis memenangi kontestasi pemilihan
presiden dan wakil presiden. Masing-masing kubu mempunyai ekspektasi yang
tinggi atas kemenangan jagonya.
Namun, sekali lagi, rasa optimistis bisa melahirkan kekecewaan yang
luar biasa jika tidak terwujud. Rasa kecewa itu akan menjadi energi negatif
yang sangat merusak jika tidak dibarengi sikap mental yang positif.
Energi negatif karena rasa kecewa yang mendalam akan mendorong
seseorang atau kelompok tertentu gagap beradaptasi dengan kondisi yang tidak
diharapkan. Ekspektasi kemenangan yang membabi buta akan cenderung membuat
kandidat dan para pendukungnya cemas, tertekan, dan tegang psikisnya.
Di samping itu, ’’penilaian’’ terhadap suatu keadaan juga mengakibatkan
seseorang atau sekelompok orang mengalami stres. Penilaian yang bisa
mengakibatkan stres bergantung pada dua faktor. Yaitu, faktor yang
berhubungan dengan orang (personal
factors) dan faktor yang berhubungan dengan situasi.
Personal
factors, antara lain, intelektual, motivasi, dan personality characteristics. Faktor situasi, antara lain,
pertama, tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan. Kedua, ambiguity,
yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Ketiga, desirability, beberapa kejadian di luar dugaan. Keempat, controllability, yaitu apakah
seseorang mempunyai kemampuan untuk mengubah atau menghilangkan stressor (pemicu stres).
Pilpres kali ini berbeda dengan pileg beberapa waktu lalu. Pilpres
cenderung melibatkan emosi publik sebagai pendukung fanatik masing-masing
calon. Jika dalam pileg ada calon gagal yang kecewa sampai timbul stres dan
depresi, efeknya hanya pada individu yang bersangkutan. Namun, jika dalam
pilpres, efek kekecewaan masing-masing kandidat bisa berimbas bagi masyarakat
luas yang menjadi pendukungnya.
Terbukti, pada masa kampanye lalu, dunia maya begitu riuh dengan
hujatan dan caci maki antar pendukung calon. Konflik verbal meluas tidak
terbatas. Suasana itu tentu tidak sehat jika berlanjut pasca pencoblosan.
Terlebih diperkeruh oleh hasil quick count yang berbeda dari beberapa lembaga
survei.
Karena itu, sikap mental yang positif menjadi keniscayaan, baik dari
masing-masing kandidat, timses, maupun para pendukung fanatik. Dengan
demikian, potensi-potensi yang mencederai proses demokrasi di Indonesia dapat
diredam. Ekspektasi yang tinggi akan kemenangan tidak boleh berdiri tunggal.
Harus dibarengi sikap penerimaan terhadap apa pun hasil pemilihan.
Hermes Fortune dalam bukunya I Am
The Best, I Am The Winner menggambarkan, seorang pemenang itu tidak
pernah kalah. Sebab, dia mampu memaknai positif apa pun kenyataan yang
dihadapi. Tidak ada calon presiden yang kalah jika bisa menjadi pemenang bagi
dirinya. Memenangkan ambisi kemenangannya dengan menerima kehendak dan takdir
Tuhan
Kandidat yang akhirnya ditetapkan kalah oleh KPU nanti, walaupun
berbeda dengan hasil quick count,
mestinya rela dengan kekecewaan dan kegetiran yang dirasakan dengan tidak
menebarkan kekecewaan kepada publik yang menjadi pendukungnya. Sebaliknya,
penerimaan dan kerelaan itu akan menjadi energi positif bagi masyarakat
Indonesia ke depan. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar