Kamis, 10 Juli 2014

Mewaspadai Quick Count Pesanan

                            Mewaspadai Quick Count Pesanan

Ainna Amalia FN  ;   Dosen psikologi STAIM Kertosono,
Pengurus LKK NU Wilayah Jawa Timur
JAWA POS,  10 Juli 2014

                                                                                                                       

BILA dulu pada masa kampanye publik dijejali banyak lalu lalang fitnah yang saling menjatuhkan kandidat serta saling sindir dan ejek antar pendukung capres, pasca pencoblosan, persatuan dan kesatuan masyarakat rentan terusik oleh praktik-praktik penghitungan cepat abal-abal.

Hal itu sesuai dengan pandangan Prof Koentjoro Soeparno dalam akun Facebook-nya: Bahaya baru bagi kesatuan NKRI setelah kampanye hitam adalah quick count abal-abal. Tujuan quick count itu tidak benar-benar memberikan informasi valid kepada publik tentang hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sebab, hasil quick count itu palsu. Bisa jadi hanya pesanan salah satu kandidat untuk membangun persepsi kemenangan dalam masyarakat atau kerjaan pihak-pihak yang ingin mencederai proses demokrasi Indonesia.

Pihak itu melansir hasil penghitungan cepat untuk mengeruhkan suasana hati para pendukung yang telah terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu pendukung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survei dalam menentukan presiden terpilih.

Secara psikologis, hasil quick count dapat memengaruhi persepsi publik dan memunculkan audience expectation pada kandidat yang diunggulkan serta para pendukungnya. Problemnya kemudian, jika hasilnya kemudian berbeda dengan penghitungan manual dari KPU, hal itu akan menjadi amunisi terjadinya konflik dalam masyarakat.

Biasanya, kandidat dan pendukung yang telah diunggulkan quick count palsu dan dinyatakan kalah oleh KPU akan menabur kekecewaan dan kecurigaan kepada pihak lain. Mereka cenderung akan menempuh berbagai cara untuk menguatkan ekspektasi kemenangannya, termasuk dengan cara anarkistis.

Di samping itu, pilpres satu putaran dan tidak ada kesempatan kedua bagi kandidat membuat aroma persaingan ketat dan keras sangat terasa. Ketegangan menghinggapi tidak saja pada kandidat, namun juga tim sukses serta para pendukung masing-masing kandidat. Atmosfer sosial yang kurang sehat itu akan sangat mudah meledak bila dipicu pihak yang kurang bertanggung jawab.

Ditambah, adanya perbedaan penghitungan beberapa quick count. Ada yang memenangkan Prabowo-Hatta dan ada yang memenangkan Jokowi-JK. Masing-masing kandidat dan pendukungnya merasa optimistis memenangi kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Masing-masing kubu mempunyai ekspektasi yang tinggi atas kemenangan jagonya.

Namun, sekali lagi, rasa optimistis bisa melahirkan kekecewaan yang luar biasa jika tidak terwujud. Rasa kecewa itu akan menjadi energi negatif yang sangat merusak jika tidak dibarengi sikap mental yang positif.

Energi negatif karena rasa kecewa yang mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok tertentu gagap beradaptasi dengan kondisi yang tidak diharapkan. Ekspektasi kemenangan yang membabi buta akan cenderung membuat kandidat dan para pendukungnya cemas, tertekan, dan tegang psikisnya.

Di samping itu, ’’penilaian’’ terhadap suatu keadaan juga mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang mengalami stres. Penilaian yang bisa mengakibatkan stres bergantung pada dua faktor. Yaitu, faktor yang berhubungan dengan orang (personal factors) dan faktor yang berhubungan dengan situasi.

Personal factors, antara lain, intelektual, motivasi, dan personality characteristics. Faktor situasi, antara lain, pertama, tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Kedua, ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Ketiga, desirability, beberapa kejadian di luar dugaan. Keempat, controllability, yaitu apakah seseorang mempunyai kemampuan untuk mengubah atau menghilangkan stressor (pemicu stres).

Pilpres kali ini berbeda dengan pileg beberapa waktu lalu. Pilpres cenderung melibatkan emosi publik sebagai pendukung fanatik masing-masing calon. Jika dalam pileg ada calon gagal yang kecewa sampai timbul stres dan depresi, efeknya hanya pada individu yang bersangkutan. Namun, jika dalam pilpres, efek kekecewaan masing-masing kandidat bisa berimbas bagi masyarakat luas yang menjadi pendukungnya.

Terbukti, pada masa kampanye lalu, dunia maya begitu riuh dengan hujatan dan caci maki antar pendukung calon. Konflik verbal meluas tidak terbatas. Suasana itu tentu tidak sehat jika berlanjut pasca pencoblosan. Terlebih diperkeruh oleh hasil quick count yang berbeda dari beberapa lembaga survei.

Karena itu, sikap mental yang positif menjadi keniscayaan, baik dari masing-masing kandidat, timses, maupun para pendukung fanatik. Dengan demikian, potensi-potensi yang mencederai proses demokrasi di Indonesia dapat diredam. Ekspektasi yang tinggi akan kemenangan tidak boleh berdiri tunggal. Harus dibarengi sikap penerimaan terhadap apa pun hasil pemilihan.

Hermes Fortune dalam bukunya I Am The Best, I Am The Winner menggambarkan, seorang pemenang itu tidak pernah kalah. Sebab, dia mampu memaknai positif apa pun kenyataan yang dihadapi. Tidak ada calon presiden yang kalah jika bisa menjadi pemenang bagi dirinya. Memenangkan ambisi kemenangannya dengan menerima kehendak dan takdir Tuhan

Kandidat yang akhirnya ditetapkan kalah oleh KPU nanti, walaupun berbeda dengan hasil quick count, mestinya rela dengan kekecewaan dan kegetiran yang dirasakan dengan tidak menebarkan kekecewaan kepada publik yang menjadi pendukungnya. Sebaliknya, penerimaan dan kerelaan itu akan menjadi energi positif bagi masyarakat Indonesia ke depan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar