Rabu, 02 Juli 2014

Posisi Polri dan Pilpres 2014

Posisi Polri dan Pilpres 2014

Sidratahta Mukhtar  ;  Dosen Tetap Ilmu Politik FISIPOL UKI ,
Dosen Administrasi Pemerintahan PTIK
SINAR HARAPAN, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY melontarkan dugaan munculnya praktek politik TNI dan Polri dalam proses pemilu dan menjelang Pilpres 2014. SBY menegaskan, bila ingin berpolitik, mereka harus mundur dari keanggotaan TNI-Polri (Kompas, 3/6/2014).

UU Nomor 34/2004 tentang TNI menegaskan pentingnya netralitas TNI dalam politik. Demikian juga Polri sebagai unsur pemerintahan di bidang hukum dan keamanan, untuk netral dan independen dari politik dan kekuasaan.

Pernyataan SBY tersebut menunjukkan, instrumen pertahanan dan keamanan nasional kita belum menunjukkan profesionalisme dan netralitas sesuai harapan. Hal itu bukan saja karena betapa tingginya ambisi kekuasaan para perwira, melainkan juga UU atau kebijakan pemerintah terkait dengan peran, fungsi, dan netralitas TNI dan Polri yang belum komprehensif. Khususnya tentang Polri, kedudukan Polri pasca-Reformasi justru mengalami super body.

Dalam posisi Polri yang sentralistik dan kuat, peluang penyalahgunaan kekuasaan dalam setiap momentum pergantian pemerintahan, seperti pilpres, tidak terelakkan. Berdasarkan UU Nomor 2/2002, Polri merupakan institusi yang langsung di bawah presiden dan karenanya Kapolri merupakan anggota kabinet.

Konsekuensinya, Kapolri harus mengikuti dan bersidang di DPR untuk membahas legislasi, anggaran, dan pengawasan dari politikus di DPR. Selain itu, Kapolri mengikuti dinamika persidangan kabinet yang syarat dengan konstelasi kekuasaan.

Ketika penulis memaparkan perkembangan reformasi Polri dalam Security Seminar di East West Center-Washington awal 2009 lalu, seorang peserta seminar, Profesor Lex, yang ahli militer Indonesia menanggapinya dengan, “Indonesia has success to reform the TNI, but failed to reform the police”.

Isu utama yang masih menjadi problematik di Polri adalah kedudukannya di bawah presiden yang dianggap tidak sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Sistem demokrasi menghendaki adanya pembagian yang jelas antara institusi pembuat kebijakan, pelaksana, dan pengawasan.

Proses demokratisasi di TNI misalnya, kementerian pertahanan bertindak sebagai perumus kebijakan dan anggaran TNI, sedangkan Mabes TNI dan TNI AU, TNI AD, dan TNI AL merupakan lembaga pelaksana fungsi pemerintah bidang pertahanan negara di bawah komando presiden.

Selama Polri di bawah presiden dewasa ini, kita masih menyaksikan kewenangan Polri sering dipandang sebagai sosok yang rnenakutkan. Penyalahgunaan kekuasaan baik secara individual maupun secara organisatorik kerap terjadi dalam sejarah perkembangan kepolisian dunia. Bahkan, secara organisatorik Kepolisian digunakan untuk kepentingan politik penguasa (Kompolnas, 2013).

Kompolnas menilai, Polri sering bersifat autoriratian, kaku menterjemahkan hukum, hingga melecehkan kepentingan masyarakat yang tengah belajar demokrasi. Akibatnya, kedekatan Polri dengan masyarakat semakin jauh, yang kemudian lahir adalah krisis kepercayaan terhadap Polri.

Meskipun di sisi lain telah banyak kemajuan dan prestasi yang ditorehkan Polri, seperti penanggulangan konflik sosial, terorisme, pengamanan pemilu, dan konstribusi lainnya, sebagai penegak hukum, Polri harus dapat menempatkan keadilan pada yang golongan elite maupun kalangan bawah.

Hukum tidak hanya tajam pada kalangan masyarakat miskin dan kaum papa, tetapi juga harus tajam pada kelompok yang berkuasa. Bila kelompok elite tidak dapat diperlakukan adil di mata hukum (equally before the law) oleh Polri, rakyat Indonesia akan makin sulit mempercayai institusi Polri.

Perilaku Polri tidak begitu banyak berubah dalam hal karakteristik kepemimpinan, ketika budaya militer masih mewarnai tindakan-tindakan kepolisian. Hal ini diakui Polri bahwa reformasi budaya memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan Polri bagian dari sipil berseragam (civilian police).

Secara umum, Polri berpandangan Reformasi institusional dan reformasi instrumental telah sukses dilaksanakan, sehingga Posisi kelembagaan di bawah langsung Presiden dipandang sudah final dan ideal.

Polri dapat hadir dalam sidang-sidang Kabinet untuk mengikuti perkembangan dan situasi nasional secara langsung, serta Polri dengan mudah mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian situasi nasional yang diperlukan.

Posisi Polri ke Depan

Agenda penting yang perlu menjadi pemikiran dan kebijakan pemerintahan yang terpilih pasca-Pilpres 2014 ke depan, adalah menuntaskan posisi kelembagaan Polri dalam sistem pemerintahan. Idealnya, Polri ditempatkan sebagai badan pelaksana atau instrumen penyelenggara keamanan dan hukum. Kebijakan kepolisian dan pengawasan sebaiknya dilakukan badan atau lembaga lain.

Hal itu penting agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan di tubuh Polri. Pemusatan kekuasaan akan memicu adanya politisasi pada institusi Polri dan lemahnya kontrol pada pelaksanaan diskresi dan peran kepolisian umumnya.

Mekanisme kontrol terhadap Polri diarahkan untuk membuat code of conduct dan maksimalisasi peran-peran lembaga negara seperti DPR, Komisi Kepolisian Nasional, media-media massa, serta lembaga masyarakat sipil khususnya masyarakat terdidik dan praktisi hukum.

Saat ini, Polri dihadapkan dengan tugas dan wewenang yang besar tanpa disertai penguatan peran kontrol sosial terhadap Polri. Akibatnya, perilaku aparat Polri di semua tingkatan penuh dengan permasalahan, seperti pelanggaran HAM, penegakkan hukum yang tidak obyektif, dan korupsi.

Di samping itu, upaya untuk memperkuat struktur dan peran Polri perlu dilakukan dengan pembentukan badan atau lembaga yang dapat menjadi instrument of policy (institusi yang membuat kebijakan nasional dan anggaran Polri). Lembaga seperti itu dapat menyesuaikan dengan format kabinet presidensialisme ala Indonesia saat ini, dengan membentuk kementerian kepolisian nasional atau kementerian keamanan umum.

Adanya kementerian khusus kepolisian seperti ini akan memudahkan beban tugas Polri yang selama ini dirasa sangat berat. Berdasarkan prinsip dan hakikat demokrasi, kehadiran kementerian kepolisian akan memudahkan koordinasi antarlembaga dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di bidang keamanan nasional dan hukum.

Absennya institusi pembuat kebijakan dan control pada Polri menjadi faktor yang melahirkan ambisi politik para perwira Polri seperti yang disinyalir Presiden SBY. Kita berharap siapa pun presiden terpilih pada 9 Juli 2014 dapat menuntaskan problematik posisi Polri dalam sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di negara ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar