Posisi
Polri dan Pilpres 2014
Sidratahta
Mukhtar ; Dosen Tetap Ilmu Politik
FISIPOL UKI ,
Dosen Administrasi
Pemerintahan PTIK
|
SINAR
HARAPAN, 30 Juni 2014
Beberapa
waktu lalu, Presiden SBY melontarkan dugaan munculnya praktek politik TNI dan
Polri dalam proses pemilu dan menjelang Pilpres 2014. SBY menegaskan, bila
ingin berpolitik, mereka harus mundur dari keanggotaan TNI-Polri (Kompas,
3/6/2014).
UU Nomor
34/2004 tentang TNI menegaskan pentingnya netralitas TNI dalam politik.
Demikian juga Polri sebagai unsur pemerintahan di bidang hukum dan keamanan,
untuk netral dan independen dari politik dan kekuasaan.
Pernyataan
SBY tersebut menunjukkan, instrumen pertahanan dan keamanan nasional kita
belum menunjukkan profesionalisme dan netralitas sesuai harapan. Hal itu
bukan saja karena betapa tingginya ambisi kekuasaan para perwira, melainkan
juga UU atau kebijakan pemerintah terkait dengan peran, fungsi, dan netralitas
TNI dan Polri yang belum komprehensif. Khususnya tentang Polri, kedudukan
Polri pasca-Reformasi justru mengalami super body.
Dalam
posisi Polri yang sentralistik dan kuat, peluang penyalahgunaan kekuasaan
dalam setiap momentum pergantian pemerintahan, seperti pilpres, tidak
terelakkan. Berdasarkan UU Nomor 2/2002, Polri merupakan institusi yang
langsung di bawah presiden dan karenanya Kapolri merupakan anggota kabinet.
Konsekuensinya,
Kapolri harus mengikuti dan bersidang di DPR untuk membahas legislasi,
anggaran, dan pengawasan dari politikus di DPR. Selain itu, Kapolri mengikuti
dinamika persidangan kabinet yang syarat dengan konstelasi kekuasaan.
Ketika
penulis memaparkan perkembangan reformasi Polri dalam Security Seminar di
East West Center-Washington awal 2009 lalu, seorang peserta seminar, Profesor
Lex, yang ahli militer Indonesia menanggapinya dengan, “Indonesia has success
to reform the TNI, but failed to reform the police”.
Isu
utama yang masih menjadi problematik di Polri adalah kedudukannya di bawah
presiden yang dianggap tidak sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Sistem
demokrasi menghendaki adanya pembagian yang jelas antara institusi pembuat
kebijakan, pelaksana, dan pengawasan.
Proses
demokratisasi di TNI misalnya, kementerian pertahanan bertindak sebagai
perumus kebijakan dan anggaran TNI, sedangkan Mabes TNI dan TNI AU, TNI AD,
dan TNI AL merupakan lembaga pelaksana fungsi pemerintah bidang pertahanan
negara di bawah komando presiden.
Selama
Polri di bawah presiden dewasa ini, kita masih menyaksikan kewenangan Polri
sering dipandang sebagai sosok yang rnenakutkan. Penyalahgunaan kekuasaan
baik secara individual maupun secara organisatorik kerap terjadi dalam
sejarah perkembangan kepolisian dunia. Bahkan, secara organisatorik Kepolisian
digunakan untuk kepentingan politik penguasa (Kompolnas, 2013).
Kompolnas
menilai, Polri sering bersifat autoriratian, kaku menterjemahkan hukum,
hingga melecehkan kepentingan masyarakat yang tengah belajar demokrasi.
Akibatnya, kedekatan Polri dengan masyarakat semakin jauh, yang kemudian
lahir adalah krisis kepercayaan terhadap Polri.
Meskipun
di sisi lain telah banyak kemajuan dan prestasi yang ditorehkan Polri,
seperti penanggulangan konflik sosial, terorisme, pengamanan pemilu, dan
konstribusi lainnya, sebagai penegak hukum, Polri harus dapat menempatkan
keadilan pada yang golongan elite maupun kalangan bawah.
Hukum
tidak hanya tajam pada kalangan masyarakat miskin dan kaum papa, tetapi juga
harus tajam pada kelompok yang berkuasa. Bila kelompok elite tidak dapat
diperlakukan adil di mata hukum (equally before the law) oleh Polri, rakyat
Indonesia akan makin sulit mempercayai institusi Polri.
Perilaku
Polri tidak begitu banyak berubah dalam hal karakteristik kepemimpinan,
ketika budaya militer masih mewarnai tindakan-tindakan kepolisian. Hal ini
diakui Polri bahwa reformasi budaya memerlukan waktu yang lama untuk
menjadikan Polri bagian dari sipil berseragam (civilian police).
Secara
umum, Polri berpandangan Reformasi institusional dan reformasi instrumental
telah sukses dilaksanakan, sehingga Posisi kelembagaan di bawah langsung
Presiden dipandang sudah final dan ideal.
Polri
dapat hadir dalam sidang-sidang Kabinet untuk mengikuti perkembangan dan
situasi nasional secara langsung, serta Polri dengan mudah mengambil tindakan
pencegahan dan pengendalian situasi nasional yang diperlukan.
Posisi Polri ke Depan
Agenda
penting yang perlu menjadi pemikiran dan kebijakan pemerintahan yang terpilih
pasca-Pilpres 2014 ke depan, adalah menuntaskan posisi kelembagaan Polri
dalam sistem pemerintahan. Idealnya, Polri ditempatkan sebagai badan
pelaksana atau instrumen penyelenggara keamanan dan hukum. Kebijakan
kepolisian dan pengawasan sebaiknya dilakukan badan atau lembaga lain.
Hal itu
penting agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan di tubuh Polri. Pemusatan
kekuasaan akan memicu adanya politisasi pada institusi Polri dan lemahnya
kontrol pada pelaksanaan diskresi dan peran kepolisian umumnya.
Mekanisme
kontrol terhadap Polri diarahkan untuk membuat code of conduct dan
maksimalisasi peran-peran lembaga negara seperti DPR, Komisi Kepolisian
Nasional, media-media massa, serta lembaga masyarakat sipil khususnya
masyarakat terdidik dan praktisi hukum.
Saat
ini, Polri dihadapkan dengan tugas dan wewenang yang besar tanpa disertai
penguatan peran kontrol sosial terhadap Polri. Akibatnya, perilaku aparat
Polri di semua tingkatan penuh dengan permasalahan, seperti pelanggaran HAM,
penegakkan hukum yang tidak obyektif, dan korupsi.
Di
samping itu, upaya untuk memperkuat struktur dan peran Polri perlu dilakukan
dengan pembentukan badan atau lembaga yang dapat menjadi instrument of policy (institusi yang membuat kebijakan nasional
dan anggaran Polri). Lembaga seperti itu dapat menyesuaikan dengan format
kabinet presidensialisme ala Indonesia saat ini, dengan membentuk kementerian
kepolisian nasional atau kementerian keamanan umum.
Adanya
kementerian khusus kepolisian seperti ini akan memudahkan beban tugas Polri
yang selama ini dirasa sangat berat. Berdasarkan prinsip dan hakikat
demokrasi, kehadiran kementerian kepolisian akan memudahkan koordinasi
antarlembaga dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di bidang keamanan
nasional dan hukum.
Absennya
institusi pembuat kebijakan dan control pada Polri menjadi faktor yang
melahirkan ambisi politik para perwira Polri seperti yang disinyalir Presiden
SBY. Kita berharap siapa pun presiden terpilih pada 9 Juli 2014 dapat
menuntaskan problematik posisi Polri dalam sistem pemerintahan presidensial
yang berlaku di negara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar