Kampanye
Hitam di Media Sosial
Ridwan
Sanjaya ; Praktisi Media Sosial,
Dosen Sistem
Informasi Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 01 Juli 2014
"Ketika gerakan sensor diri diikuti banyak
orang maka penyebaran kampanye hitam akan kehilangan makna"
DALAM
masa kampanye Pilpres 2014, kedua tim sukses capres-cawapres, termasuk
pendukung kandidat, terlihat banyak memanfaatkan media sosial. Kedua pihak
tampaknya memahami benar kelebihan media sosial dalam meyakinkan masyarakat,
melalui dukungan gambar pelengkap, potongan video rekaman, dan tautan situs
berita.
Makin
mendekati tanggal 9 Juli, tayangan kampanye hitam makin banyak bermunculan di
media sosial. Umumnya informasi yang bernuansa sesat (hoax), menghasut, dan
menimbulkan kebencian kepada sosok capres yang lain tersebut ditayangkan dan
dibagikan oleh pendukung capres yang merupakan teman bahkan sahabat di media
sosial.
Pencantuman
testimoni orang-orang yang mengaku kenal pasangan capres-cawapres di dalam
blog, atau bahkan keberadaan akun media sosial palsu dari tokoh masyarakat
yang menyuarakan sisi negatif salah satu sosok, makin melengkapi kekuatan
kampanye hitam di internet. Masyarakat hampir tidak bisa membedakan berita
antara yang benar-benar terjadi dan imajinatif.
Pembaca
kemungkinan besar terpengaruh karena serbuan kampanye hitam yang dilengkapi
situs-situs pendukung yang ditautkan secara lengkap, terasa meyakinkan.
Dampak kecil dirasakan andai sebelumnya mereka memetakan berbagai situs
beserta afiliasinya ke masing-masing pasangan. Padahal tak semua punya waktu
dan kesempatan menganalisis, memperbandingkan, apalagi memetakan.
Pemuka
lintas agama (SM, 21/6/14) sudah mengingatkan bahwa kampanye hitam merusak
kualitas demokrasi dan memperbodoh bangsa. Karni Ilyas, wartawan senior
televisi yang memutuskan cuti panjang sampai pilpres usai, tampaknya
merasakan kegelisahan itu. Dalam akun Twitter @karniilyas pada 17 Juni lalu,
ia menyampaikan perlumya perenungan berkait banyaknya hubungan batin,
pertemanan, dan persahabatan yang terluka selama masa kampanye kali ini.
Masyarakat
perlu mendapat informasi cara-cara ketika tidak lagi memerlukan berita-berita
yang dirasakan menjelek-jelekkan pasangan capres-cawapres, maka mereka dapat
menghindarinya melalui cara-cara mudah dan dapat dilakukan sendiri. Namun
cara-cara tersebut jangan sampai memutus tali silaturahmi dengan teman di
media sosial. Pasalnya, sangat mungkin penyebaran kampanye hitam hanya karena
terpengaruh oleh situasi pilpres dan setelah itu hubungan pertemanan kembali
normal.
Bila
masing-masing pribadi sudah tak lagi merasakan kesejukan dari perbaruan
status seseorang dan tidak lagi bisa menolerasi penyebaran kampanye hitam di
media sosial maka perlu gerakan individu menolak serbuan berita tersebut.
Langkah awal ini bertujuan melindungi diri sendiri dari kekacauan informasi
akibat kesulitan menemukan berita-berita yang disebar: riil atau imajinatif.
Sensor
diri, menurut Lutz Finger dalam buku Ask, Measure, Learn: Using Social Media
Analytics to Understand and Influence Customer Behavior sangat diperlukan.
Pasalnya, akibat keterbukaan media sosial yang telah menyebabkan aktivitas
public relations bisa dilakukan oleh semua orang meskipun tanpa kontrol sosok
atau organisasi yang dibelanya.
Tombol ’’Following’’
Ketika
gerakan sensor diri tersebut diikuti oleh banyak orang yang senasib maka
penyebaran kampanye hitam akan menjadi kehilangan makna. Penyebaran
berita-berita tersebut tak lagi diikuti oleh pengguna sosial media dalam
jumlah banyak. Berita dan hasutan yang diunggah hanya akan diikuti dan
dinikmati oleh penyebarnya.
Pada
Facebook, pengguna diuntungkan oleh keberadaan tombol ’’following’’ yang dulu
tidak ada. Sebelumnya, bila seseorang berteman maka secara otomatis akan
mengikuti perbaruan statusnya namun kini bisa dibatasi melalui tombol itu.
Ketika tombol yang ada di tiap profil orang tersebut ditekan maka sejak saat
itu pula semua perbaruan status orang tersebut akan hilang dari dinding
Facebook. Pertemanan tetap terjalin tapi kita bisa menangkal serbuan berita
yang menghasut.
Pengguna
Facebook dapat kembali mengikuti perbaruan status, setelah pilpres selesai,
hanya dengan menekan kembali tombol ’’following’’. Hal ini juga hampir sama
dengan mekanisme di Twitter dan beberapa media sosial lain. Umumnya situs
tersebut menyediakan tombol ’’follow/following’’ atau sejenis, yang berfungsi
jika pengguna ingin mengikuti perbaruan status dari teman.
Ketika
sedang tidak ingin mengikuti status teman maka pengguna hanya perlu
membatalkan melalui cara yang sama dengan Facebook, yaitu menekan tombol ’’unfollow’’ di profil teman. Adapun
pengguna BlackBerry Messenger, Whats
Up, Line, dan sejenisnya cukup dengan menahan diri untuk tidak ikut
menyebarkan kabar yang menjelek-jelekkan yang diterima dari broadcast teman.
Dengan
cara ini, pengguna sosial media tidak lagi harus menegur teman yang sering
menyebarkan kampanye hitam. Cukup dengan membagikan informasi mengenai cara
menghindari kampanye hitam ke teman-teman pengguna media sosial lain. Ketika
cara-cara tersebut diikuti oleh banyak teman maka masing-masing akan menjadi
titik awal pencegahan kampanye hitam yang membodohkan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar