Rabu, 02 Juli 2014

Hari Keluarga dan Kehebatan Perempuan

Hari Keluarga dan Kehebatan Perempuan

Siti Nuryati  ;  Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SINAR HARAPAN, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) 29 Juni, ada sebuah perenungan yang perlu kita lakukan menyangkut kondisi keluarga-keluarga Indonesia saat ini, terutama ketika dikaitkan dengan peran perempuan sebagai seorang ibu. Ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan generasi suatu bangsa.

Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, sosok yang sangat dekat, yang pertama kali berinteraksi dengan anak. Ibu mengandung selama sembilan bulan, melahirkannya, menyusuinya, mengasuhnya. Kerelaan ibu menjalani masa-masa ini menjamin kelestarian manusia di muka Bumi.

Kedudukan seorang perempuan dalam keluarga sangatlah strategis, khususnya dalam membangun pribadi-pribadi dalam sebuah keluarga. Jika kita renungkan, pekerjaan dan tanggung jawab yang biasa dilakukan seorang ibu yang notabene adalah perempuan, lalu kita membuatnya menjadi suatu daftar pekerjaan, barulah kita sadar betapa banyak tugas yang dikerjakan sang perempuan bernama ibu dan betapa besarnya pengorbanan yang dilakukannya.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang perempuan sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang perempuan (ibu).

Ibu adalah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, pusat pembentukan nilai.

Ibu adalah perempuan. Para perempuan memiliki kekuatan yang membuat kagum para pria. Mereka menggendong anak-anak, mereka menanggung banyak beban, tetapi mereka memiliki kebahagiaan, kasih dan sukacita. Mereka tersenyum ketika mereka ingin berteriak. Mereka bernyanyi ketika mereka ingin menangis.

Mereka menangis ketika mereka bahagia dan tertawa ketika mereka gugup. Para perempuan melakukan lebih dari sekadar melahirkan. Mereka membawa sukacita dan harapan, menawarkan kasih dan cita-cita, memberikan dukungan moral kepada keluarga dan kerabat.

Kita semua akan sepakat kalau peran ibu, di samping tentunya peran bapak, akan sangat besar artinya dalam memelihara tumbuh kembang anak. Atas dasar itu pula, mungkin kita juga akan sepakat peran penting dan mulia itu tidak begitu saja bisa digantikan dengan kehadiran orang lain. Ini isu klise namun tetap akan memiliki relevansi untuk dijadikan bahan kajian sekaligus renungan.

Namun, banyak orang menyepelekan peran ibu dalam membangun keluarga, terutama dalam mengurus anak-anak dan rumah tangga. Dengan dalih mengejar kesetaraan gender yang sudah menjadi kata sakral itu, tidak sedikit kaum perempuan yang kemudian mengabaikan perannya yang penting dan mulia itu.

Bahkan, celakanya selama ini ada kecenderungan gerakan kesetaraan gender itu pun dikotomis, mempertentangkan peran, bahkan tak jarang disalahtafsirkan menjadi upaya untuk menyaingi, kalau bukan untuk menyamakan, peran laki-laki dan perempuan.

Dengan dalih untuk bisa berkiprah dalam ruang publik, misalnya, kewajiban seorang ibu untuk menyusui anaknya tak jarang begitu saja diabaikan hanya karena pasar telah menyediakan susu sapi, padahal kualitasnya tak sebanding dengan air susu ibu (ASI).

Dikarenakan alasan kesibukan melakukan kegiatan bisnis di luar, kini tanggung jawab pengasuhan anak pun tak jarang begitu saja diserahkan sepenuhnya kepada baby sitter kalau bukan kepada pembantu. Padahal, dalam proses pengasuhan anak, kehadiran emosi orang tua, apalagi ibu, akan memiliki makna tersendiri dalam proses pembentukan karakter dan perilaku anak ke depan.

Sebagai sebuah bangsa yang percaya akan arti pentingnya pembangunan keluarga, kita mesti hati-hati jika arah gerakan untuk mewujudkan kesetaraan gender itu pada akhirnya harus mengorbankan peran sejati kaum perempuan sebagai pengasuh dan pendidik utama anak. Sebutlah sebagai ibu tempat anak-anaknya memperoleh bimbingan serta curahan kasih sayang.

Apalah artinya kesuksesan kaum perempuan menjadi seorang pengusaha besar, menjadi pejabat tinggi, menjadi politisi ulung, menjadi aktivis LSM, jika anaknya di rumah dibiarkan terbengkalai karena absen dari kasih sayang dan perhatian ibunya.

Lebih jauh lagi, apalah untungnya kaum perempuan banyak berkiprah di luar jika pada akhirnya harus berakhir dengan retaknya bangunan keluarga. Hal yang tidak kalah pentingnya, seperti pernah ditegaskan Mansour Fakih (1992), apalah artinya mempermasalahkan perbedaan gender jika itu tidak melahirkan ketidakadilan gender.

Bahkan, adanya keniscayaan bagi kaum perempuan untuk bisa memperoleh tingkat pendidikan yang memadai bukanlah ditujukan dalam rangka menyamakan peran kaum perempuan dengan peran mitranya kaum laki-laki, apalagi dimaksudkan untuk menyaingi. Peningkatan pendidikan itu dibutuhkan lebih sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas “keibuan” kaum perempuan dalam memelihara tumbuh kembang anak-anaknya, juga untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam rangka memelihara dan melindungi hak-haknya sebagai kaum perempuan.

Mengingat betapa pentingnya peran ibu, jangan pernah ada niat untuk mengabaikannya. Apalagi dengan berbagai fakta ironi seputar persoalan sosial anak yang cenderung kian kompleks dan mengkhawatirkan seperti banyak ditunjukkan belakangan ini.

Misalnya, masalah anak jalanan, anak yang keliru memilih pergaulan, anak-anak yang terperangkap dalam dunia hitam, anak yang menjadi korban penggunaan obat haram, anak-anak yang terpaksa dilacurkan, anak-anak yang sehari-hari hidupnya melulu uring-uringan sampai kepada persoalan kenakalan anak remaja.

Bisa jadi kaum ibu saat ini cenderung lebih suka menghabiskan waktunya di luar ketimbang mengurus anak di rumahnya. Munculnya fenomena baru yang ditandai dengan kian meningkatnya jumlah anak yang nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri akhir-akhir ini, jangan-jangan juga berkaitan dengan gejala semakin menipisnya nilai dan keyakinan masyarakat akan arti pentingnya peran ibu ini.

Di tengah gencarnya upaya penyetaraan gender belakangan ini harus secara jujur diakui, tidak sedikit masalah sosial yang ada belakangan ini, muncul justru karena sudah banyak kaum perempuan yang lupa akan fitrah dirinya sebagai seorang ibu. Untuk itu, upaya penyadaran akan pentingnya peran ibu menjadi sangat penting dilakukan oleh segenap komponen bangsa, agar para ibu Indonesia dapat menjadi “penentu” peradaban  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar