Hari
Keluarga dan Kehebatan Perempuan
Siti
Nuryati ; Alumnus Pascasarjana Fakultas
Ekologi Manusia IPB
|
SINAR
HARAPAN, 30 Juni 2014
Memperingati
Hari Keluarga Nasional (Harganas) 29 Juni, ada sebuah perenungan yang perlu
kita lakukan menyangkut kondisi keluarga-keluarga Indonesia saat ini,
terutama ketika dikaitkan dengan peran perempuan sebagai seorang ibu. Ibu
memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan generasi suatu bangsa.
Ibu
adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, sosok yang sangat dekat,
yang pertama kali berinteraksi dengan anak. Ibu mengandung selama sembilan
bulan, melahirkannya, menyusuinya, mengasuhnya. Kerelaan ibu menjalani
masa-masa ini menjamin kelestarian manusia di muka Bumi.
Kedudukan
seorang perempuan dalam keluarga sangatlah strategis, khususnya dalam
membangun pribadi-pribadi dalam sebuah keluarga. Jika kita renungkan,
pekerjaan dan tanggung jawab yang biasa dilakukan seorang ibu yang notabene
adalah perempuan, lalu kita membuatnya menjadi suatu daftar pekerjaan,
barulah kita sadar betapa banyak tugas yang dikerjakan sang perempuan bernama
ibu dan betapa besarnya pengorbanan yang dilakukannya.
Sepanjang
sejarah peradaban manusia, peran seorang perempuan sangat besar dalam
mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi bangsa yang
unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi
kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari
sentuhan peran seorang perempuan (ibu).
Ibu
adalah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan,
dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan,
dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.
Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, pusat pembentukan
nilai.
Ibu
adalah perempuan. Para perempuan memiliki kekuatan yang membuat kagum para
pria. Mereka menggendong anak-anak, mereka menanggung banyak beban, tetapi
mereka memiliki kebahagiaan, kasih dan sukacita. Mereka tersenyum ketika
mereka ingin berteriak. Mereka bernyanyi ketika mereka ingin menangis.
Mereka
menangis ketika mereka bahagia dan tertawa ketika mereka gugup. Para
perempuan melakukan lebih dari sekadar melahirkan. Mereka membawa sukacita
dan harapan, menawarkan kasih dan cita-cita, memberikan dukungan moral kepada
keluarga dan kerabat.
Kita
semua akan sepakat kalau peran ibu, di samping tentunya peran bapak, akan
sangat besar artinya dalam memelihara tumbuh kembang anak. Atas dasar itu
pula, mungkin kita juga akan sepakat peran penting dan mulia itu tidak begitu
saja bisa digantikan dengan kehadiran orang lain. Ini isu klise namun tetap
akan memiliki relevansi untuk dijadikan bahan kajian sekaligus renungan.
Namun,
banyak orang menyepelekan peran ibu dalam membangun keluarga, terutama dalam
mengurus anak-anak dan rumah tangga. Dengan dalih mengejar kesetaraan gender
yang sudah menjadi kata sakral itu, tidak sedikit kaum perempuan yang
kemudian mengabaikan perannya yang penting dan mulia itu.
Bahkan,
celakanya selama ini ada kecenderungan gerakan kesetaraan gender itu pun
dikotomis, mempertentangkan peran, bahkan tak jarang disalahtafsirkan menjadi
upaya untuk menyaingi, kalau bukan untuk menyamakan, peran laki-laki dan
perempuan.
Dengan
dalih untuk bisa berkiprah dalam ruang publik, misalnya, kewajiban seorang
ibu untuk menyusui anaknya tak jarang begitu saja diabaikan hanya karena
pasar telah menyediakan susu sapi, padahal kualitasnya tak sebanding dengan
air susu ibu (ASI).
Dikarenakan
alasan kesibukan melakukan kegiatan bisnis di luar, kini tanggung jawab
pengasuhan anak pun tak jarang begitu saja diserahkan sepenuhnya kepada baby
sitter kalau bukan kepada pembantu. Padahal, dalam proses pengasuhan anak,
kehadiran emosi orang tua, apalagi ibu, akan memiliki makna tersendiri dalam
proses pembentukan karakter dan perilaku anak ke depan.
Sebagai
sebuah bangsa yang percaya akan arti pentingnya pembangunan keluarga, kita
mesti hati-hati jika arah gerakan untuk mewujudkan kesetaraan gender itu pada
akhirnya harus mengorbankan peran sejati kaum perempuan sebagai pengasuh dan
pendidik utama anak. Sebutlah sebagai ibu tempat anak-anaknya memperoleh
bimbingan serta curahan kasih sayang.
Apalah
artinya kesuksesan kaum perempuan menjadi seorang pengusaha besar, menjadi
pejabat tinggi, menjadi politisi ulung, menjadi aktivis LSM, jika anaknya di
rumah dibiarkan terbengkalai karena absen dari kasih sayang dan perhatian
ibunya.
Lebih
jauh lagi, apalah untungnya kaum perempuan banyak berkiprah di luar jika pada
akhirnya harus berakhir dengan retaknya bangunan keluarga. Hal yang tidak
kalah pentingnya, seperti pernah ditegaskan Mansour Fakih (1992), apalah
artinya mempermasalahkan perbedaan gender jika itu tidak melahirkan
ketidakadilan gender.
Bahkan,
adanya keniscayaan bagi kaum perempuan untuk bisa memperoleh tingkat
pendidikan yang memadai bukanlah ditujukan dalam rangka menyamakan peran kaum
perempuan dengan peran mitranya kaum laki-laki, apalagi dimaksudkan untuk
menyaingi. Peningkatan pendidikan itu dibutuhkan lebih sebagai modal utama
untuk meningkatkan kualitas “keibuan” kaum perempuan dalam memelihara tumbuh
kembang anak-anaknya, juga untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam rangka
memelihara dan melindungi hak-haknya sebagai kaum perempuan.
Mengingat
betapa pentingnya peran ibu, jangan pernah ada niat untuk mengabaikannya.
Apalagi dengan berbagai fakta ironi seputar persoalan sosial anak yang
cenderung kian kompleks dan mengkhawatirkan seperti banyak ditunjukkan
belakangan ini.
Misalnya,
masalah anak jalanan, anak yang keliru memilih pergaulan, anak-anak yang
terperangkap dalam dunia hitam, anak yang menjadi korban penggunaan obat
haram, anak-anak yang terpaksa dilacurkan, anak-anak yang sehari-hari
hidupnya melulu uring-uringan sampai kepada persoalan kenakalan anak remaja.
Bisa
jadi kaum ibu saat ini cenderung lebih suka menghabiskan waktunya di luar
ketimbang mengurus anak di rumahnya. Munculnya fenomena baru yang ditandai
dengan kian meningkatnya jumlah anak yang nekat mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri akhir-akhir ini, jangan-jangan juga berkaitan dengan gejala
semakin menipisnya nilai dan keyakinan masyarakat akan arti pentingnya peran
ibu ini.
Di
tengah gencarnya upaya penyetaraan gender belakangan ini harus secara jujur
diakui, tidak sedikit masalah sosial yang ada belakangan ini, muncul justru
karena sudah banyak kaum perempuan yang lupa akan fitrah dirinya sebagai
seorang ibu. Untuk itu, upaya penyadaran akan pentingnya peran ibu menjadi
sangat penting dilakukan oleh segenap komponen bangsa, agar para ibu
Indonesia dapat menjadi “penentu” peradaban ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar