Polarisasi
pada Pilpres
Chris Panggabean ; Asisten Peneliti di Universitas Indonesia;
Aktif di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
|
KOMPAS,
10 Juli 2014
Pemilihan
umum sudah berlangsung. Terima kasih kepada rakyat Indonesia yang sudah
memilih pemimpin baru. Kini saatnya untuk kembali bersatu setelah satu bulan
terakhir terjadi polarisasi dukungan yang ekstrem, ketika gambar diri terbagi
pada angka satu dan dua. Ketika konflik terjadi antarkolega, keluarga, dan
pertemanan. Ketika kisah unfriend
dan unfollow pada akun media sosial
atau delete contact mendadak jadi biasa.
Mengapa
individu cenderung merendahkan kelompok lain dan menganggap kelompoknya
terbaik?
Tajfel
dan kawan-kawan menyebutnya in-group-favoritism
yang merupakan bias perilaku individu dalam hubungan antarkelompok berkaitan
dengan identitas sosialnya.
Proses
pembentukan identitas sosial melibatkan peleburan diri (depersonalisasi)
dengan menanggalkan keunikan dirinya sambil menyerap norma dan perilaku
kelompok.
Adalah
kebutuhan individu memiliki pandangan diri positif dan berharga (self-esteem). Ketika identitas sosial
menjadi bagian dari diri (self),
kebutuhan ini tetap menyertai.
”Saya”
melebur ke dalam ”kami”. Maka, jika ”kami” positif, ”saya” juga ikut positif.
In-group-favoritism muncul sebagai
reaksi dari suatu kondisi sosial psikologis tertentu, yakni saat identitas
sosial diinternalisasi pada konsep diri dan adanya konteks kompetisi yang luas.
Pilpres
dengan hanya dua pilihan pasangan menghadirkan ruang kompetisi
antarmasing-masing pendukung. Setiap anggota kelompok pendukung
menginternalisasi bahwa ia adalah bagian dari slogan atau cita-cita kampanye
kelompoknya.
Sumber polarisasi
Saling berbagi
informasi sesama anggota kelompok ternyata membentuk polarisasi
antarkelompok. Beberapa eksperimen perilaku menunjukkan bahwa ketika yang
mengusung isu sama saling bertemu, opini mereka cenderung bergerak ke titik
ekstrem (Sunstein, 2009).
Awalnya,
individu dengan informasi terbatas suatu topik mengambil posisi moderat. Saat
bertemu pengusung isu yang sama, terjadi tukar informasi.
Kecenderungan
yang muncul kemudian adalah penguatan informasi, mengarah pada pembenaran
atas sebagian informasi yang sudah ada.
Sikap
anggota kelompok semakin terdorong ke titik yang semakin ekstrem. Muncul
keyakinan: kabar baik tentang kubu kita benar adanya dan kabar buruk tentang
kubu lawan pasti lebih lagi kebenarannya.
Bias
pengolahan informasi yang cenderung ”mendengar apa yang hendak didengar”
dapat terbentuk secara alamiah dalam proses interaksi antarkelompok.
Akibatnya,
kebohongan dan caci maki lebih cepat meluas ketimbang verifikasi. Misalnya,
masalah teknis pemilihan Victoria Park, Hongkong, yang tidak dapat mengantisipasi
lonjakan partisipasi warga, dimaknai sebagai kecurangan sistematis dari
penyelenggara pemilu.
Kondisi
polarisasi menajamkan sikap ”kami’ dan ”mereka”. Saat potensi kemenangan
terancam, mereka yang mencoba berjarak, tenang, dan kritis terhadap dua kutub
oposisional ini pun mendapat kecaman. Sebenarnya tidak ada pemilih yang
benar-benar rasional.
Setiap
penilaian dan keputusan (judgement)
individu melibatkan nilai etis dan tingkat utilitas subyektif. Sementara itu,
jumlah informasi, kapasitas mengolahnya, dan pengalaman etis tiap-tiap
individu sangat mungkin berbeda.
Lantas
atas dasar apakah menyatakan ”kami pemilih bermoral, mereka tidak”? Tidak ada
pasangan yang secara hitam putih lepas dari ikatan diri dengan pelanggar HAM,
cengkeraman korupsi, dan lilitan gurita oligarki. Semestinya wajar jika ada
ruang untuk bersikap skeptis.
Partisipasi warga
Pada
satu sisi, intelektual publik dan pers yang skeptis dapat berperan kritis
menyingkapkan bias-bias dalam diri kelompok pemilih. Kejernihan berpikir dari
pendukung dan pemilih akan membuat kualitas partisipasi berdemokrasi menjadi
lebih baik.
Di sisi
lain, mereka yang skeptis belum tentu abstain. Saat prediksi pemenang pemilu
dapat ditentukan oleh mereka yang belum berpihak (undecided voters), sikap positif yang membangun solidaritas lebih
diperlukan hari-hari ini. Mereka yang skeptis ada di kelompok tersebut.
Kelompok
yang didukung penguasa dan memiliki modal terbanyak tentu lebih punya peluang
untuk melakukan kecurangan. Kelompok yang berada dalam kondisi sebaliknya
hanya dapat mengandalkan solidaritas. Namun, solidaritas dapat meluas jika
sikap kelompok memantik simpati.
Dalam
kondisi polarisasi yang semakin tajam, minggu tenang menjadi minggu yang
tegang. Ada pihak yang takut dicurangi, ada pihak yang takut
dikambinghitamkan, dan ada pihak ketiga yang menanti kesempatan.
Jika
ternyata hasil hitung cepat pada 9 Juli menunjukkan selisih suara yang tidak
jauh berbeda, ketegangan ini akan berlanjut sampai KPU resmi mengumumkan
hasil akhir.
Konflik
horizontal tentu bukan pilihan. Keutuhan sebagai suatu bangsa tetaplah yang
utama. Maka, bagaimana kita mengonstruksi realitas tanpa terjebak pada
prasangka menjadi penting pada masa-masa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar