Jumat, 11 Juli 2014

Polarisasi pada Pilpres

                                             Polarisasi pada Pilpres

Chris Panggabean  ;   Asisten Peneliti di Universitas Indonesia;
Aktif di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
KOMPAS, 10 Juli 2014
                                                


Pemilihan umum sudah berlangsung. Terima kasih kepada rakyat Indonesia yang sudah memilih pemimpin baru. Kini saatnya untuk kembali bersatu setelah satu bulan terakhir terjadi polarisasi dukungan yang ekstrem, ketika gambar diri terbagi pada angka satu dan dua. Ketika konflik terjadi antarkolega, keluarga, dan pertemanan. Ketika kisah unfriend dan unfollow pada akun media sosial atau delete contact mendadak jadi biasa.

Mengapa individu cenderung merendahkan kelompok lain dan menganggap kelompoknya terbaik?

Tajfel dan kawan-kawan menyebutnya in-group-favoritism yang merupakan bias perilaku individu dalam hubungan antarkelompok berkaitan dengan identitas sosialnya.

Proses pembentukan identitas sosial melibatkan peleburan diri (depersonalisasi) dengan menanggalkan keunikan dirinya sambil menyerap norma dan perilaku kelompok.

Adalah kebutuhan individu memiliki pandangan diri positif dan berharga (self-esteem). Ketika identitas sosial menjadi bagian dari diri (self), kebutuhan ini tetap menyertai.

”Saya” melebur ke dalam ”kami”. Maka, jika ”kami” positif, ”saya” juga ikut positif. In-group-favoritism muncul sebagai reaksi dari suatu kondisi sosial psikologis tertentu, yakni saat identitas sosial diinternalisasi pada konsep diri dan adanya konteks kompetisi yang luas.

Pilpres dengan hanya dua pilihan pasangan menghadirkan ruang kompetisi antarmasing-masing pendukung. Setiap anggota kelompok pendukung menginternalisasi bahwa ia adalah bagian dari slogan atau cita-cita kampanye kelompoknya.

Sumber polarisasi

Saling berbagi informasi sesama anggota kelompok ternyata membentuk polarisasi antarkelompok. Beberapa eksperimen perilaku menunjukkan bahwa ketika yang mengusung isu sama saling bertemu, opini mereka cenderung bergerak ke titik ekstrem (Sunstein, 2009).

Awalnya, individu dengan informasi terbatas suatu topik mengambil posisi moderat. Saat bertemu pengusung isu yang sama, terjadi tukar informasi.
Kecenderungan yang muncul kemudian adalah penguatan informasi, mengarah pada pembenaran atas sebagian informasi yang sudah ada.

Sikap anggota kelompok semakin terdorong ke titik yang semakin ekstrem. Muncul keyakinan: kabar baik tentang kubu kita benar adanya dan kabar buruk tentang kubu lawan pasti lebih lagi kebenarannya.

Bias pengolahan informasi yang cenderung ”mendengar apa yang hendak didengar” dapat terbentuk secara alamiah dalam proses interaksi antarkelompok.
Akibatnya, kebohongan dan caci maki lebih cepat meluas ketimbang verifikasi. Misalnya, masalah teknis pemilihan Victoria Park, Hongkong, yang tidak dapat mengantisipasi lonjakan partisipasi warga, dimaknai sebagai kecurangan sistematis dari penyelenggara pemilu.

Kondisi polarisasi menajamkan sikap ”kami’ dan ”mereka”. Saat potensi kemenangan terancam, mereka yang mencoba berjarak, tenang, dan kritis terhadap dua kutub oposisional ini pun mendapat kecaman. Sebenarnya tidak ada pemilih yang benar-benar rasional.

Setiap penilaian dan keputusan (judgement) individu melibatkan nilai etis dan tingkat utilitas subyektif. Sementara itu, jumlah informasi, kapasitas mengolahnya, dan pengalaman etis tiap-tiap individu sangat mungkin berbeda.

Lantas atas dasar apakah menyatakan ”kami pemilih bermoral, mereka tidak”? Tidak ada pasangan yang secara hitam putih lepas dari ikatan diri dengan pelanggar HAM, cengkeraman korupsi, dan lilitan gurita oligarki. Semestinya wajar jika ada ruang untuk bersikap skeptis.

Partisipasi warga

Pada satu sisi, intelektual publik dan pers yang skeptis dapat berperan kritis menyingkapkan bias-bias dalam diri kelompok pemilih. Kejernihan berpikir dari pendukung dan pemilih akan membuat kualitas partisipasi berdemokrasi menjadi lebih baik.

Di sisi lain, mereka yang skeptis belum tentu abstain. Saat prediksi pemenang pemilu dapat ditentukan oleh mereka yang belum berpihak (undecided voters), sikap positif yang membangun solidaritas lebih diperlukan hari-hari ini. Mereka yang skeptis ada di kelompok tersebut.

Kelompok yang didukung penguasa dan memiliki modal terbanyak tentu lebih punya peluang untuk melakukan kecurangan. Kelompok yang berada dalam kondisi sebaliknya hanya dapat mengandalkan solidaritas. Namun, solidaritas dapat meluas jika sikap kelompok memantik simpati.

Dalam kondisi polarisasi yang semakin tajam, minggu tenang menjadi minggu yang tegang. Ada pihak yang takut dicurangi, ada pihak yang takut dikambinghitamkan, dan ada pihak ketiga yang menanti kesempatan.

Jika ternyata hasil hitung cepat pada 9 Juli menunjukkan selisih suara yang tidak jauh berbeda, ketegangan ini akan berlanjut sampai KPU resmi mengumumkan hasil akhir.

Konflik horizontal tentu bukan pilihan. Keutuhan sebagai suatu bangsa tetaplah yang utama. Maka, bagaimana kita mengonstruksi realitas tanpa terjebak pada prasangka menjadi penting pada masa-masa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar