Pertarungan
Loyalitas Pilihan
Bestian Nainggolan ; Litbang Kompas
|
KOMPAS,
11 Juli 2014
Hasil hitung cepat dan berbagai survei opini pemilih, survei pra-pemilu
dan pasca pemilu, yang dilakukan sepanjang Pemilu Presiden 2014, tidak hanya
menjelaskan besar proporsi suara yang mampu diraup dan sumber dukungan kedua
pasang kandidat. Di balik itu, pertarungan loyalitas lebih kental mewarnai
kontestasi pemilu presiden kali ini.
Pertarungan loyalitas merujuk pada rekaman derajat kesetiaan tiap-tiap
pemilih kepada calon yang dipilihnya selama ini. Semakin tinggi loyalitas
pemilih kepada kandidat, semakin kokoh benteng pertahanan yang terbangun.
Dapat dikatakan, kuatnya loyalitas ditopang oleh besar kecilnya barisan
pemilih fanatik (strong voters)
yang mendukung tiap-tiap kandidat.
Sebaliknya, ketika loyalitas yang terbangun tergolong rendah, hanya
waktu yang bakal mengisahkan porak porandanya benteng pertahanan. Rendahnya
loyalitas lantaran terisi oleh kalangan yang kurang memiliki fanatisme
membuat dukungan itu mudah beralih (swinging voters). Ketika upaya
pendelegitimasian politik kepada calon yang bakal dipilih berlangsung, dengan
mudah para pendukungnya pindah ke lain hati.
Di sisi lain, rendahnya derajat loyalitas juga tampak bagi para pemilih
yang belum menentukan pilihan (undecided
voters). Pada kalangan ini, menunggu hingga mendekati hari pencoblosan
adalah pilihan. Kalkulasi politik, baik rasional maupun emosional terhadap
calon presiden, menjadi pergulatan yang mungkin termanifestasikan hingga hari
pemilihan.
Kisah penguatan loyalitas lebih kental mewarnai persaingan di antara
kedua pasang calon presiden dan calon wakil presiden. Survei Kompas yang
didesain secara longitudinal dengan mayoritas responden yang sama (panel
survei) mengungkapkan dinamika loyalitas tersebut. Puncaknya, hasil hitung
cepat saat Pemilu Presiden 2014 berlangsung memberi justifikasi sekaligus
menggambarkan peta dukungan loyalitas kepada
tiap-tiap calon.
Sebelum Pemilu Legislatif 9 April 2014, sosok Joko Widodo (Jokowi)
paling populer sebagai calon presiden. Tidak kurang 34 persen responden yang
menyatakannya. Proporsi tersebut terpaut jauh di atas puluhan calon presiden
lain yang bermunculan, termasuk rival terdekatnya, Prabowo Subianto.
Dukungan
Namun, sejak deklarasi dukungan pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden bersama koalisi partai pendukung resmi dilakukan, konfigurasi
pilihan menjadi semakin dinamis. Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
dengan dukungan gabungan partai politik yang mendapat 63 persen kursi DPR
hasil Pemilu Legislatif 2014, yaitu Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB,
Golkar, dan belakangan Demokrat, menunjukkan peningkatan dukungan yang sangat
signifikan.
Tiga minggu sebelum pencoblosan, survei Kompas menunjukkan
elektabilitas pasangan Prabowo-Hatta mencapai 35,3 persen. Dengan demikian,
terjadi penambahan dukungan hingga 13 persen, atau jika dibandingkan suara
pendukung Prabowo sebelumnya, terjadi peningkatan hingga 59 persen.
Apa yang terjadi pada pasangan Prabowo-Hatta tidak sama pada
Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Jokowi-JK memang tetap teratas, didukung oleh 42,3
persen pemilih. Peningkatan dukungan, jika dibandingkan dengan survei
sebelumnya, juga berlangsung. Namun, penambahan angka pada pasangan ini hanya
8 persen, atau meningkat sekitar 24 persen.
Di balik peningkatan dukungan, formasi para pemilih loyal kedua
pasangan yang terbentuk nyaris sama kuat. Mereka merupakan kalangan yang
tergolong strong voters yang dalam orientasi penyikapannya sangat tidak
menginginkan (resisten) terhadap calon di luar calon yang mereka dukung. Dari
segi proporsi, misalnya, strong voters yang dimiliki Jokowi-JK lebih besar
sekitar 3 persen dari pendukung loyal Prabowo-Hatta.
Dari segi dukungan partai politik koalisi pendukung, sebagian besar
pemilih partai politik pada pemilu legislatif lalu mulai menunjukkan korelasi
dukungan terhadap calon yang dirujuk partainya. Hingga survei terakhir,
gradasi dukungan terjadi (grafik 1). Pada lapis pertama, pemilih PDI
Perjuangan dan Gerindra menjadi basis terbesar bagi kedua pasangan calon
presiden-wakil presiden. Pada lapis selanjutnya, para pemilih Nasdem, PKS,
PAN, PPP, dan PBB. Sementara di lapis dukungan terakhir ada pemilih PKB,
Hanura, PKPI, Golkar, dan Demokrat.
Peningkatan drastis pasangan Prabowo-Hatta ketimbang Jokowi-JK dan
formasi strong voters dengan perbedaan yang tipis semacam ini bisa saja
diprediksikan akan membalikkan posisi kemenangan di antara kedua kandidat.
Apalagi, berdasarkan hasil survei, masih tersisa sebanyak 22,4 persen pemilih
yang masuk kategori undecided voters
dan mereka yang merasa enggan menyatakan pilihannya.
Mengkaji hasil hitung cepat dan survei pasca pemilu (exit poll), keunggulan pasangan
Jokowi-JK tetap terpertahankan, dengan jarak perbedaan hingga 4,5 persen.
Relatif tidak berbeda antara hasil survei sebelum pemilu—lebih khusus lagi
dalam proporsi strong voters—dan
hasil saat pemilu.
Fakta demikian dapat mengindikasikan bahwa upaya menambahkan dukungan
dari kedua pasangan hingga saat-saat terakhir menjelang pencoblosan dilakukan
kurang signifikan berdampak pada setiap lapisan kalangan. Tampaknya,
penguatan dukungan lebih banyak terjadi hanya pada peningkatan derajat
loyalitas pendukung. Mereka yang tergolong loyal menjadi semakin loyal.
Sementara bagi mereka yang tergolong kurang loyal yang bisa dikategorikan
sebagai swing voters menjadi loyal.
Sekalipun terjadi perpindahan dukungan, tampaknya berlangsung sama kuat, proporsional
di antara kedua calon.
Merujuk pada hasil exit poll, terkait dengan kapan pilihan tiap-tiap
pemilih terhadap sosok presiden-wakil presiden dilakukan, cukup memperkuat
kondisi tersebut. Terungkap bahwa sebagian kecil pemilih saja (15 persen) yang
memutuskan saat mendekati pemilu, itu pun dengan distribusi suara yang
proporsional pada kedua calon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar