Jumat, 11 Juli 2014

Masih Relevankah Isu Komunisme?

Masih Relevankah Isu Komunisme?  

Ade P Nasution  ;   Dosen di Universitas Riau Kepulauan Batam
HALUAN, 10 Juli 2014
                                                


Tulisan ini terin­s­pirasi pada isu-isu dan rumor yang mun­­­­cul dalam ke­giatan kam­panye pemilihan presiden (pilpres) 2014. Melalui media sosial, tim kampanye dan simpatisan kedua calon berupaya menampilkan sisi terbaik calonnya namun juga berupaya menampilkan sisi buruk dari program capres saingannya.

Salah satu rumor itu adalah adanya prasangka akan mun­culnya kembali paham komu­nisme di Indonesia jika salah satu capres tersebut berhasil menduduki kursi No 1 di republik ini. Kita sama-sama tahu bahwa rumor belum tentu kebenarannya. Untuk itu saya menulis tentang apa yang terjadi pada paham komunisme pada saat ini sebagai bahan renungan untuk kita dapat menyaring rumor tersebut sesuai dengan kebutuhan kita

Sejak runtuhnya tembok Berlin pada 1989 dan diikuti dengan bubarnya Uni Soviet beserta negara-negara  satelitnya baik di Asia maupun di Eropa Timur pada tahun 1991, menandai bahwa salah satu sistem ideologis terkuat di dunia yang ditakuti oleh Amerika dan Negara-negara Eropa barat telah runtuh yaitu komunisme. 
Perang dingin pasca perang dunia ke-II telah berakhir dan pemenangnya adalah Amerika Serikat dan sekutunya sebagai bapak kandung paham demo­krasi liberal dan kapitalisme.

Patut dicatat bahwa komu­ nisme bukan hancur karena kalah perang dengan paham kapitalisme yang digawangi oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat. Tapi komunis hancur karena palu dan buldoser rakyat yang telah kehilangan keyakinan terhadap ide-ide komunisme.

Perekonomian negara-negara komunis  terbukti tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem produksi global yang dikendalikan oleh informasi yang mengakibatkan matinya sektor industri dan merebaknya pengangguran secara besar-besaran. Dan mereka mera­gukan sistem sosial-komunis mereka untuk dapat tetap menjawab tantangan zaman.

Runtuhnya sosialisme-komunisme menyebabkan sistem yang lainnya, yaitu liberalisme-kapitalisme menjadi satu-satunya ideologi yang berjaya bahkan hingga saat ini. Walaupun ada pula pemi­kir-pemikir lainnya yang mempunyai prediksi berbeda tentang konsep perpolitikan pasca Perang Dingin dan mengemukakan alternatif dari segala kelemahan sistem liberal agar tetap bertahan dan tidak termakan zaman.

Namun demikian, banyak para pakar dan pengamat mengatakan bahwa liberalisme kapitalisme lah satu-satunya sistem ideologi yang ada saat ini.  Hal ini di perkuat oleh Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington.  Fukuyama dalam bukunya “The End of History and The Last Man” menyebutkan mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi perta­rungan antarideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapi­talisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama berang­gapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final peme­rintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda ka­lahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya.

Sedangkan Huntington dalam bukunya “The Clash Ci­viliza­tions’  menyebutkan bahwa secara  fundamental dari sebuah konflik dalam dunia yang baru ini terutama lagi bukanlah karena ideologi atau ekonomi. Bagian terbesar diantara berbagai macam bentuk manusia dan sumber daya yang ada maka konflik akan didominasi oleh perihal yang terkait dengan budaya. Lewat hipotesisnya, Huntington mencoba mena­warkan para­digma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada 7 peradaban yang akan me­warnai persaingan global: Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox.

Apa yang disampaikan oleh Huntington di atas, tampaknya sudah dilaksanakan Amerika Serikat dan sekutunya seperti yang kita lihat dalam kebijakan luar negeri yang mereka lakukan seperti kebijakan terhadap Irak, Iran, Suriah dan negara-negara lain yang kesemuanya lebih banyak bersifat budaya sosio religius ketimbang ideologis. Menurut Fukuyama, sejak kejatuhan ideologi komunisme, lonjakan besar terjadi dalam perubahan ideologi negara-negara dunia. Sebagai contoh dari tahun 1975 sampai dengan 1990 saja terdapat kenaikan negara yang mengganti sistem ideologi sebanyak 30 negara dan pada saat ini hampir seluruh negara di dunia sudah memakai sistem demokrasi liberal kapitalisme.

Di samping itu, Fukuyama menemukan fakta bahwa negara-negara yang merubah sistem ideologinya ke libe­ralisme kapitalisme (sebe­lumnya memakai sistem fasisme atau komunis) secara statistik mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa seperti yang ditunjukkan oleh Spanyol, Filipina, Afrika selatan, Peru dan banyak negara lainnya.

Kita tidak boleh lupa, bahwa Indonesia, secara kuantitatif mengalami lonjakan besar ketika dimulainya pemerintahan Orde Baru pada awal 1970-an di masa Presiden Soe­harto mengadopsi paham libe­ralisme kapitalisme yang salah satunya ditandai dengan masuknya investasi asing, serta masuknya Indonesia ke dalam lembaga-lembaga dunia seperti WTO, IMF dan lembaga-lembaga kerjasama ekonomi internasional lainnya.

Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru ber­kenan menambah partai politik serta tumbuhnya lembaga-lembaga demokrasi yang menurut Fukuyama sebagai syarat mutlak dalam negara dengan faham demokrasi liberal dan kapitalisme.
Memang ada beberapa negara Asia dan Amerika Latin yang masih teguh memegang ideologi komunis seperti Viet­nam, Tiongkok (RRC), Korea Utara dan Kuba dan beberapa negara Amerika Latin lainnya. Tapi ideologi komunis yang diterapkan di negara itu, sudah tidak semurni ajaran Karl Marx. Negara-negara seperti Tiongkok, Vietnam dan Kuba  telah membuka diri dengan negara lain, bahkan juga dengan negara yang oleh mereka dicap sebagai negara kapitalis sehingga tidak heran kita dengan mudah kita menjumpai Mc Donalds dan KFC di berbagai kota di Tiong­kok dan Vietnam serta lambang-lambang kapitalis lainnya.

Banyak pengamat menye­butkan, bahwa negara-negara seperti Tiongkok dan Vietnam hanya menunggu waktu saja untuk bermetamorfosis menjadi demokrasi liberal, mengingat derasnya arus informasi dan kebutuhan akan pengakuan pribadi dan hak azasi manusia bagi warganya yang selama ini kita ketahui pemerintahnya cukuf represif menghadapi warganya. Setelah itu sem­purnalah sudah paham ka­pitalisme dan demokrasi liberal menguasai seluruh dunia.

Kini tidak ada lagi kekha­watiran akan komunisme dan penguasaan oleh negara yang begitu dibenci oleh Adam Smith. Yang ada hanyalah apa yang dikhawatirkan oleh Huntington, yaitu persoalan benturan peradaban, yang tampaknya Indonesia sendiri sudah mulai mengalaminya yaitu konflik-kon­flik yang bermuatan kea­gamaan dan etnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar