Pesan
Kemenangan
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
10 Juli 2014
SAAT Jokowi diumumkan menjadi calon presiden pada 14 Maret 2014 oleh
PDI-P, saya menulis di Facebook: pertandingan usai sudah, game over. Indikasinya, ia meroket
sebagai figur paling menyedot perhatian publik setelah memenangi Pilkada DKI
Jakarta, 20 September 2012.
Kendati rivalitas sengit dua pasang kandidat presiden-wakil presiden
sampai menjelang 9 Juli cukup ketat dan mendebarkan, laju Jokowi-JK tidak
terbendung. Serangan kampanye hitam yang berlangsung masif memang menurunkan
elektabilitas.
Riset Politica Wave periode 1-30 Mei 2014 mencatat, kampanye hitam
lebih banyak menyerang kubu Jokowi-JK, yakni 94,9 persen berbanding 13,5
persen untuk Prabowo-Hatta Rajasa. Akan tetapi, hasil hitung cepat beberapa
lembaga survei kredibel mengunggulkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dengan
kisaran 51-53 persen. Ini menunjukkan kemenangan akal sehat rakyat melawan
fitnah dan aneka prasangka primordial.
Teruji
dan otentik
Kemenangan Jokowi dapat diterangkan lewat representasi sederhana:
refleksi, asosiasi, simpati, dan empati. Kalangan profesional dan praktisi
yang firm dengan karier dan habitatnya umumnya berpikir rasional dan
menjatuhkan pilihan kepada sosok dengan rekam jejak teruji dan otentik.
Mereka tidak terpukau jargon, slogan, janji-janji yang dibungkus dengan kata
”akan”, ”kelak”, atau ”ingin”. Refleksi atas bukti kinerja menjadi kriteria
utama.
Kaum intelektual, cerdik-pandai, pengusaha, dan tokoh-tokoh kenyang pengalaman
amat skeptis dengan visi-misi mentereng, ahistoris, mengentengkan road map,
dan abai terhadap komplikasi realitas yang telanjur terbentuk. Program
membumi dan paham skala prioritas menjadi dasar pijakan memutuskan pilihan.
Harapan utopis dan program yang asimetris menuai asosiasi negatif dari
kelompok ini.
Di tataran akar rumput, perebutan pengaruh tidak terlampau rumit.
Rakyat mencatat, mengapresiasi kerja-kerja nyata kandidat yang membela
kepentingan hajat hidupnya. Kegelisahan setelah Reformasi 1998 dan
kesenjangan sosial-ekonomi yang kian menganga membangkitkan simpati kepada
sosok pemimpin yang mengerti dan telah bekerja mengatasinya.
Di kalangan ibu-ibu, kaum perempuan pada umumnya, sentimen keharmonisan
keluarga dan keteladanan masih jadi tolok ukur utama, mengalahkan
maskulinitas: kegagahan, kebapakan, dan ketegasan verbal. Empati pemilih
terbesar ini mampu menandingi fitnah suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) yang amat gencar dan terorganisasi.
Merujuk pada hasil-hasil survei berbagai lembaga kredibel yang dirilis
dalam beberapa rentang waktu sebelum pilpres, pada dua golongan pemilih
terakhir inilah Jokowi-JK meraup dukungan signifikan. Realitas ini sekaligus
petunjuk berharga tentang bekerjanya mata pikiran dan mata hati rakyat di
tengah penggunaan ruang dan frekuensi publik secara tidak adil dan kasar.
Bagaimana mereka yang akrab dengan media sosial dan kebanjiran
informasi? Pilpres kali ini mengungkapkan banyak hal. Salah satunya, kebutaan
akut masyarakat atas validitas informasi. Hukum besi komunikasi publik:
akurat, jujur, independen, dan adil bertarung melawan fitnah, fanatisme, dan
paranoia. Simplifikasi dan amplifikasi meruyak. Akibat informasi yang sengaja
didistorsikan, pro-kontra di media bisa disimpulkan memberi pengaruh
berimbang pada kedua pasang capres-cawapres.
Kemenangan Jokowi-JK memberi perspektif baru dalam kontestasi
kepemimpinan nasional dan daerah pada masa mendatang. Kepemimpinan yang
mengakar, berangkat dari bawah, merampungkan tugas-tugas esensial secara persisten,
beroleh sambutan kegairahan dan optimisme rakyat. Crowd leadership, pemimpin yang mampu menggerakkan warga dan
komunitas serta menyumbangkan perannya dalam perubahan, jadi tren
menyegarkan.
Menyuburkan
harapan
Kemenangan Jokowi-JK kian meneguhkan hakikat bahwa representasi figur
jauh lebih menentukan ketimbang partai. Jokowi telah membuktikannya di Solo,
Jakarta, dan nasional. Kapabilitas dan integritas sosoknya melampaui
kapasitas mesin partai pengusung dan pesaing. Yang mencengangkan, konsistensi
media mainstream dan para relawan pendukungnya terus membesar. Peningkatan
kapitalisasi modal sosial yang bersanding dengan otentisitas pribadi ini
merupakan capaian sangat berharga bagi perjalanan demokrasi. Singkatnya,
fenomena Jokowi menyuburkan harapan eskalasi meritokrasi berkualitas (”Refleksi atas Kemenangan Jokowi”, Kompas,
21/9/2012).
Para calon pemimpin, kader partai, dan aktivis kemasyarakatan dapat
menimba pelajaran dari persinggungan hasrat meluap rakyat untuk mengenyam
perubahan dibarengi antusiasme menyokong tokoh yang dipilihnya melalui
berbagai upaya. Berimpitnya keinginan dan inisiasi rakyat itu menandai babak
baru, mengubah percaturan politik dan pertarungan kepemimpinan sarat
transaksi dan oligarki.
Yang perlu diwaspadai adalah para pembonceng dan penumpang gelap dengan
daya rusak besar terhadap ekspektasi rakyat. Juga kemungkinan ”gangguan” dari
parlemen yang mayoritas (63 persen) dikuasai koalisi partai pesaing.
Jokowi-JK telah memperlihatkan kapasitas manajerial dari praktik
business as usual selama keduanya menjabat dan punya wewenang eksekusi di
pemerintahan. Keduanya juga punya modal karakteristik kepemimpinan
”otak-hati-nyali” (head-heart-gut)
mencukupi untuk menangani berbagai sengkarut salah urus bernegara. Penularan
corak kepemimpinan ini pertama kali akan diuji pada pemilihan anggota
kabinet. Pembentukan tim kabinet mumpuni bakal mendongkrak kepercayaan dan
optimisme bangsa.
”New
frontier”
Mempertimbangkan harapan rakyat dan tantangan masa depan, kesepakatan
tegas dan terukur perlu dicanangkan. Perbaikan kualitas manusia Indonesia
lewat pendidikan-kesehatan-kesejahteraan, reformasi birokrasi, perang
terhadap korupsi, penataan bangun ekonomi, membangun infrastruktur, serta
merawat dan memperkuat kebinekaan adalah sebagian dari new deal yang mendesak
dikerjakan dengan determinasi tinggi. Ini semua merefleksikan tekad
mewujudkan ”Trisakti”-nya Bung
Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi,
berkepribadian di bidang kebudayaan (”Tugas
Sejarah Presiden Baru”, Kompas, 3/2/2014).
Pada tataran mondial, energi dan sukma bangsa perlu dilecut untuk
menetapkan tapal batas kemajuan baru (new
frontier). Ini bukan gagasan utopia yang dibangun di awang-awang,
melainkan visi besar yang berangkat dari kemampuan mengonsolidasikan dan
mengembangkan seluruh aset bangsa. Sebagaimana Mahathir Mohamad menelurkan
Visi Malaysia 2020 pada 1991 untuk menggugah semangat rakyat Malaysia
mewujudkan impian besar bersama.
Visi melenting jauh ke depan itu untuk meneguhkan eksistensi bangsa di
percaturan dunia. Ia membutuhkan bangkitnya inovasi kolektif, energi kreatif
di lanskap keindonesiaan yang menggairahkan. Kemenangan Jokowi-JK akan
monumental jika menjamin dan memastikan haluan bangsa bergerak ke jurusan
besar meraih kejayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar