Kamis, 10 Juli 2014

Indonesia Memilih

                                                    Indonesia Memilih

Syamsuddin Haris  ;   Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS,  10 Juli 2014
                                                


RAKYAT Indonesia akhirnya memutuskan masa depannya. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei mengonfirmasi, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul 4-5 persen atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jika hitung cepat mencerminkan hasil akhir Pilpres 2014, Joko Widodo bakal menjadi presiden ketujuh negeri ini. Apa beda pilpres kali ini, mengapa Joko Widodo, apa pula tantangannya ke depan?

Terlepas dari soal menang kalah, kita patut bersyukur bahwa perhelatan pilpres tidak hanya berlangsung relatif aman dan damai, tetapi juga ditandai tingkat antusiasme dan partisipasi pemilih yang cukup tinggi. Sejumlah lembaga survei memperkirakan, partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2014 sangat mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu legislatif 9 April 2014.

Indikasi tingginya antusiasme rakyat berpartisipasi dalam pilpres kali ini sudah tampak di sejumlah negara ketika warga negara Indonesia yang berada di luar negeri menggunakan hak pilih mereka 4-5 hari yang lalu. Sebagian pemilih di Hongkong bahkan amat kecewa karena hak politik mereka tidak dapat digunakan akibat kecerobohan KPU yang tidak mengantisipasi membeludaknya jumlah pemilih.

Salah satu faktor penting di balik semua ini adalah hadirnya sosok Joko Widodo (Jokowi). Sejak berhasil sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), kemudian memenangi Pilkada DKI Jakarta hampir dua tahun lalu, Jokowi muncul sebagai sosok pemimpin fenomenal. Gaya kepemimpinan yang merakyat melalui cara blusukan, tampil tidak formal, dan tak berjarak benar-benar membuat Jokowi berbeda dengan yang lain.

Melalui gaya kepemimpinan demikian, Jokowi tidak hanya memutus mata rantai birokrasi yang cenderung ”asal bapak senang”, berbelit-belit, dan korup, tetapi juga mendengar langsung apa yang menjadi aspirasi dan keluhan rakyat pada tingkat yang paling bawah.
Memang benar blusukan yang dianggap mirip dengan ”turba” alias turun ke bawah itu tidak hanya dilakukan Jokowi. Namun, saya kira hanya Jokowi yang konsisten melakukannya. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menjadikan blusukan sebagai bagian dari model kepemimpinan baru, antitesis dari model kepemimpinan priayi-keraton yang cenderung (minta) dilayani ketimbang melayani.

Melalui blusukan, Jokowi juga membongkar paradigma lama tentang kekuasaan, dari sesuatu yang eksklusif, terpusat, seragam, steril, dan berjarak dari rakyat menjadi sesuatu yang inklusif, menyebar, menyentuh, melayani, bahkan menyatu dalam keseharian rakyat.

Pertarungan dua kutub

Sulit dimungkiri, persaingan antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 bukan sekadar kompetisi antardua pasang capres, melainkan juga pertarungan dua kutub narasi politik yang bertolak belakang satu sama lain.

Di satu pihak, Jokowi mewakili kehendak untuk melakukan perubahan atas dasar kejujuran, kesederhanaan, kesediaan untuk melayani, dan langkah-langkah konkret yang dibutuhkan rakyat kebanyakan. Bagi Jokowi yang wong ndeso, kekuasaan bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan suatu tanggung jawab yang harus selalu hadir dalam keseharian bersama rakyat. Saya kira salah satu sumber kekuatan Jokowi terletak di sini.

Di pihak lain, Prabowo mewakili keinginan publik akan perubahan melalui hadirnya sosok pemimpin yang kuat, tegas, dan macho dengan segala kemegahan kekuasaan yang melekat pada dirinya. Tidak mengherankan jika hampir semua simbol kemegahan Soekarno dan Soeharto dilekatkan pada penampilan publik Prabowo—mulai dari kuda, tongkat komando, peci, hingga baju kebesaran bersaku empat.

Prabowo memanfaatkan kerinduan sebagian publik atas ”kenyamanan” Orde Baru, seolah-olah kekuasaan koruptif dan tak terkontrol Soeharto selama tiga dekade itu layak didaur ulang sebagai rujukan perubahan ke depan. Prabowo dan elite pendukungnya lupa bahwa kerinduan atas Orde Baru itu sesungguhnya semu belaka. Singkatnya, Jokowi merepresentasikan narasi perubahan yang menarik garis batas dengan masa lalu, sedangkan Prabowo sebagai ”anak Menteng” yang mapan, mewakili narasi perubahan yang mengalami disorientasi karena justru hendak memanfaatkan sentimen kejayaan masa lalu.

Dua pola kecenderungan yang saling bertolak belakang ini adalah realitas politik sekaligus problem kontemporer Indonesia hari ini. Ambiguitas itu tidak hanya tampak di balik capaian reformasi, tetapi juga dalam pilpres kemarin. Di satu pihak, ada keinginan sebagian kalangan yang hendak merebut masa depan tanpa beban masa lalu. Di pihak lain, sebagian dari kita ingin perubahan, tetapi dengan membiarkan diri terpenjara dengan masa lalu.

Sayang, kompetisi yang semestinya bisa dilakukan secara sportif, cerdas, dan beradab itu dinodai manipulasi amat berlebihan atas isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sehingga perdebatan tentang kompetensi, rekam jejak, dan komitmen capres-cawapres terpinggirkan. Akibatnya, tim sukses dan pendukung capres pun lebih menonjolkan sikap dan perilaku emosional-konfrontatif mereka ketimbang sikap dan perilaku rasional-konstruktif.

Pertarungan lebih keras berlangsung di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Berbagai isu SARA yang belum dikonfirmasi kebenarannya digoreng, dimanipulasi, dipelintir, dan diputarbalikkan sehingga seolah-olah benar adanya. Cara Jokowi mengenakan pakaian ihram ketika berumrah ke Tanah Suci pun dipelintir sedemikian rupa seolah-olah semua itu ada hubungannya dengan kebutuhan bangsa kita akan capres yang amanah dan kompeten.

Belum waktunya pesta

Apabila hasil penghitungan suara secara resmi oleh KPU sama atau mendekati sama dengan hasil hitung cepat sebagian besar lembaga survei yang diumumkan kemarin, belum waktunya bagi Jokowi-JK untuk berpesta.

Kemenangan dalam pemilu hanyalah ”pintu pertama” dari kerja besar, keras, dan panjang pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla yang membutuhkan dukungan berbagai elemen bangsa lainnya, termasuk berbagai unsur pendukung pasangan yang kalah, Prabowo-Hatta.

Karena itu, salah satu agenda jangka pendek yang mendesak bagi Jokowi adalah merekatkan kembali tali persaudaraan sebangsa sekaligus sebagai upaya rekonsiliasi dan pemulihan keterbelahan politik dan luka sosial yang ditinggalkan pilpres. Luka itu bukan semata-mata disebabkan perbedaan pilihan politik antarwarga, tetangga, dan kerabat, melainkan juga akibat kampanye hitam yang melampaui batas.

Sulit dibantah bahwa jenis kampanye yang berisi fitnah yang bersifat sektarian atas capres tertentu meninggalkan luka yang dalam bagi pendukungnya. Mereka yang terluka dan merasa telah melukai saudara sebangsanya perlu diajak turut mengubur prasangka, benci, dan dendam demi masa depan Indonesia baru yang lebih baik.

Tantangan ke depan

Terkait koalisi parpol pendukungnya, jika benar-benar terpilih, ke depan Jokowi-JK tampaknya sulit menghindari munculnya friksi, baik dalam konteks relasi internal koalisi maupun dalam konteks relasi Presiden Jokowi dengan DPR selaku partner utama pemerintah dalam pembentukan kebijakan.

Friksi internal berpeluang muncul ketika Jokowi membentuk kabinet yang akan menjalankan program-program dan janji politiknya. Di satu pihak, Jokowi berani menjanjikan ”koalisi tanpa syarat”. Namun, di lain pihak, parpol pendukung tentu berharap akan memperoleh bagian kekuasaan yang layak setelah turut ”berkeringat” memenangkan Jokowi-JK dalam pilpres.

Singkatnya, tarik-menarik kepentingan politik akan sangat kencang ketika tiba waktunya bagi Jokowi-JK menyusun kabinet ”tim impian” yang profesional. Friksi politik dan tarik-menarik itu tidak hanya terjadi di antara parpol pendukung (Partai Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), melainkan juga kemungkinan besar terjadi di internal PDI Perjuangan sebagai basis politik Jokowi.

Sementara itu, secara eksternal, tantangan Jokowi adalah bagaimana meyakinkan parpol di DPR bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintahnya benar-benar berorientasi kepentingan rakyat dan bangsa kita.

Persoalannya, peta kekuatan koalisi parpol pendukung hanya mencakup sekitar 37 persen dari kekuatan DPR, sedangkan total kekuatan parpol oposisi mencakup 73 persen. Apalagi, jika benar bahwa pimpinan DPR tidak lagi bersifat otomatis sesuai hasil pemilu legislatif, tetapi dipilih melalui pemungutan suara.

Dengan demikian, Jokowi harus berjuang keras di DPR agar kebijakan-kebijakan yang direncanakannya tidak ”diganggu” parpol oposisi di Senayan. Kemampuan Jokowi mengelola dan mengapitalisasi dukungan elektoral yang diperolehnya akan sangat menentukan, apakah relasi presiden-DPR mendatang cenderung konfliktual atau sebaliknya, bisa saling bekerja sama satu sama lain.

Persoalannya kembali pada—meminjam ungkapan yang sering dikemukakan Jokowi—ada atau tidaknya kemauan dan niat kita, termasuk parpol di DPR, untuk bersama-sama menyingsingkan lengan baju menata bangsa menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar