Kamis, 10 Juli 2014

Presiden tanpa Catatan

                                            Presiden tanpa Catatan

Samsudin Adlawi  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  09 Juli 2014
                                                


KAMPANYE pilpres sudah resmi berakhir Sabtu kemarin. Apa yang didapat rakyat sebagai pemilik mandat kekuasaan? Selama masa kampanye, pasangan capres-cawapres tak ubahnya seorang sales atau marketer. Mereka menjajakan visi, misi, dan program kerja lewat kampanye terbuka, tertutup, sampai debat. Tujuannya hanya satu: merayu rakyat agar bersedia menyerahkan mandat kekuasaan yang dimiliki kepadanya.

Tak mudah memengaruhi hati rakyat. Penyampaian visi dan misi saja tidak cukup. Maka, layakmenyiapkan berbagai trik. Mulai trik yang wajar seperti membagikan kaus bergambar pasangan capres-cawapres sampai trik yang tidak wajar. Bahkan, cenderung kotor, keji, dan jahat. Tidak beradab. Jauh dari nilai-nilai kesantunan.

Orang melabeli trik tidak wajar itu dengan sebutan kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam biasanya hanya berupa tuduhan tidak berdasar fakta. Cenderung mengarah ke fitnah. Sementara itu, kampanye negatif merupakan pengungkapan fakta kekurangan yang dimiliki capres-cawapres.

Anehnya, entah karena putus asa atau alasan lain, kedua kubu capres-cawapres sepertinya menganggap kampanye hitam dan kampanye negatif sebagai ”rukun iman” yang wajib diamalkan sebagai bumbu kampanye. Terbukti, kedua kubu saling menggelindingkan dua model kampanye tidak etis tersebut. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Kita pun miris. Kalau diskor, jumlah kampanye hitam di antara kedua kontestan Pilpres 2014 sepertinya berimbang. Tak pelak, kedua kubu pun belakangan disibukkan membuat klarifikasi. Bahkan, saling lapor ke Bawaslu sebagai wasit pilpres. Juga, melapor kepada kepolisian terkait dengan unsur pidana pemilu.

Kehilangan Panutan

Dalam posisi yang sulit seperti itu, sebenarnya rakyat membutuhkan tempat untuk bertanya. Tapi, saat ini mencari tempat bertanya jauh lebih sulit daripada memilih yang buruk di antara yang terburuk atau yang baik dari yang buruk. Betapa tidak. Dulu ketika mengalami kebuntuan dalam menentukan pilihan, masyarakat senantiasa bisa bertanya langsung ke partainya. Sekarang bagaimana bisa memberi solusi yang konkret, lah wong pucuk pimpinan partai dan pengurusnya punya pilihan sendiri-sendiri. Pengurus parpol yang seharusnya bertugas mengamankan suara konstituennya malah ’’bermain’’ sendiri-sendiri. Aspirasinya tidak bulat. Buntutnya, aksi pecat-memecat pengurus ramai terjadi saat ini.

Organisasi kemasyarakatan juga idem ditto. Pengurusnya pecah. Sebagian mendukung capres nomor 1, sebagian yang lain memberikan dukungan kepada capres nomor 2. Demikian juga para tokoh agama. Sejumlah kiai secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada capres nomor 1, sedangkan kiai yang lain mendukung capres nomor 2. Kasihan sekali rakyat. Mereka terjebak dalam pusaran arus kebingungan. Sudah dibingungkan oleh kampanye hitam dan kampanye negatif yang datang bertubi-tubi, ditambah lagi harus kehilangan panutan sebagai oasis objektivitas untuk meminta klarifikasi capres yang harus dipilih.

Sebetulnya, masih ada satu alternatif yang pas untuk jujukan klarifikasi. Yakni, televisi. Tapi, sayang seribu sayang, saat ini dua televisi berita terbesar di tanah air yang sebelum pilpres selalu menjadi rujukan peta perpolitikan nasional kini justru sedang berada di bawah titik nadir. Mereka sedang asyik masyuk dengan capres masing-masing.

Pemimpin Ideal

Kini rakyat sedang diuji. Diuji untuk bisa menentukan pilihan sendiri. Melihat dengan mata hatinya. Selanjutnya mendengarkan kata hatinya. Kemampuan rakyat dalam menilai calon pemimpin yang cakap pasti berbeda-beda. Mereka punya persepsi sendiri-sendiri. Ada yang melihat calon pemimpin dari model wajahnya saja sudah bisa menilai dia layak jadi pemimpin bangsa atau tidak. Ada pula yang melihat dari cara bicaranya. Tapi, ada yang harus melihat penampilan figur pemimpin secara keseluruhan sebelum memberi nilai.

Bagi rakyat yang masih bingung menjatuhkan pilihan, kisah Rasulullah SAW berikut ini bisa dijadikan renungan sekaligus rujukan dalam memilih pemimpin ideal:

Suatu saat Rasulullah SAW mengimami salat Isya. Setiap kali menggerakkan badannya untuk sujud atau rukuk, terdengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh beliau bergeser antara satu sama yang lain. Para sahabat yang menjadi makmum cemas. Mereka menyangka Rasulullah sedang sakit. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai salat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat. Apakah Tuanku sakit?” Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.’’

Mendengar jawaban itu, sahabat Umar melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh Tuan? Kami yakin engkau sedang sakit.”  Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata pada perut Rasulullah yang kempis tampak dililiti sehelai kain berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.
Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya tinggal diam?” Rasulullah menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasul-mu ini. Tetapi, apakah yang akan aku jawab di hadapan Allah nanti apabila aku sebagai pemimpin menjadi beban bagi umatnya?”

Para sahabat hanya tertegun. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku agar kelak tidak ada umatku yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat kelak.’’

Itulah figur pemimpin yang ideal. Pemimpin yang rela dirinya berlapar-lapar ria sebelum rakyatnya terentas dari kungkungan kelaparan. Walaupun hanya seorang adanya. Sangat kontras dengan penampilan pemimpin yang ada sekarang, bukan. Mereka tidak malu tampil bermewah-mewah ketika masih banyak rakyat yang kesulitan memenuhi hajat hidupnya. Memang sulit menemukan ciri-ciri kepemimpinan seperti Rasulullah. Tapi, setidaknya di antara kedua pasang capres-cawapres yang sedang bertarung, ada yang mendekati. Supaya lebih mantap, setelah menemukan ciri-cirinya, silakan dilanjutkan salat Istikharah. Insya Allah, capres pilihan Anda berkah bagi bangsa ini. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar