Senin, 14 Juli 2014

Penguatan Pengawasan Koperasi

                              Penguatan Pengawasan Koperasi

Susidarto  ;   Praktisi Perbankan, Mantan Pengurus Koperasi
SUARA MERDEKA, 12 Juli 2014
                                                


SALAH satu penyebab kemunculan banyak koperasi papan nama, koperasi gadungan/ palsu (koperasi pseudo), bahkan koperasi gelap adalah masih lemahnya fungsi pengawasan, baik internal maupun eksternal. Banyak koperasi belum memiliki badan pemeriksa independen (internal). Kalaupun ada, fungsi itu belum optimal. Terlebih pengawasan eksternal dari Kemenkop dan UKM sangat lemah. Mereka lebih bertindak reaktif, bukan proaktif. Intinya, koperasi di Indonesia belum optimal terawasi.

Padahal fungsi pengawasan sangatlah penting. Dewan pengawas atau pemeriksa menjadi ujung tombak mendeteksi ketidakwajaran operasional koperasi. Bahkan, mampu mendeteksi dini berbagai bentuk penyimpangan keuangan dan kenakalan pengurus (fraud). Mereka ibarat ìpolisiî internal sehingga bisa meminimalisasi praktik petualangan yang hanya ingin meraih keuntungan di balik aktivitas koperasi. Kehadiran dewan pemeriksa atau pengawas dapat membatasi ruang gerak petualang koperasi.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan belum berfungsinya badan pemeriksa secara optimal. Pertama; belum tumbuh kesadaran pentingnya pengawasan. Hal ini terjadi akibat banyak koperasi terbentuk secara top down. Berbeda dari pola  bottom up mengingat sebuah koperasi memang tumbuh dari bawah karena menjadi kebutuhan para anggota. Terutama untuk menghadapi ancaman (baik tengkulak maupun pemburu rente lainnya).

Adapun koperasi palsu biasanya dibentuk oleh oknum atau petualang, dan kemudian baru mencari anggota. Mengingat memang tujuannya berbeda, koperasi palsu tersebut biasanya tidak memerlukan kehadiran pengawas, yang dianggap membatasi akan ruang gerak mereka untuk ’’bermanuver’’.

Penguatan pengawasan internal menjadi penting karena tuntutan zaman. Urgensi keberadaan pengawas koperasi terlihat dari keharusan nama mereka masuk dalam akta pendirian. Bahkan, UU tentang Koperasi juga menyinggung persyaratan jajaran pengawas secara lengkap, termasuk tugas dan fungsinya. Berdasarkan regulasi tersebut, independensi pengawas lebih dipertajam. Bahkan dewan pengawas berwenang meminta bantuan akuntan publik untuk mengaudit keuangan.

Kedua; keterbatasan anggota badan pemeriksa. Kalaupun beberapa koperasi sudah memiliki dewan pemeriksa, mutu dan tingkat kemampuan anggota badan tersebut sangat terbatas. Hal ini terkait dengan kekurangsadaran akan arti penting kehadiran pengawasan koperasi, sehingga kualitas SDM diabaikan atau dinomorsekiankan.

Ada kecenderungan, anggota yang berkualitas dijadikan pengurus, sementara ’’sisanya’’ dijadikan dewan pengawas (pemeriksa). Bahkan tak jarang pengawas dipandang hanya sebagai kedudukan kehormatan sehingga keanggotaannya pun disediakan bagi orang-orang terpandang di lingkungannya. Jadi, ada kemungkinan mereka tak memiliki kemampuan yang memadai untuk menjadi pengawas.

Ketiga; keahlian dan alat perlengkapan anggota pengawas sangatlah terbatas. Terkait dengan persoalan ini adalah tidak tersedianya SDM yang memiliki keahlian audit dan tidak adanya alat yang memadai. Alat yang diperlukan adalah ketersediaan laporan pembukuan (keuangan) yang memadai.

Risiko ’’Fraud’’

Selama ini, banyak koperasi menyusun laporan keuangan secara asal-asalan. Terbatasnya tenaga terampil koperasi, terutama di bidang keuangan (akibat keterbatasan kemampuan remunerasi karyawan), mengakibatkan kemunculan laporan keuangan yang alakadarnya,  jauh dari akuntabilitas. Bahkan sering tidak terpikirkan untuk menyusun laporan keuangan.

Dengan kondisi peralatan yang sangat tidak memadai maka hampir mustahil bagi dewan pengawas untuk melaksanakan tugas dengan baik. Mereka justru sering terjebak bukan dalam auditing, melainkan sering dimintai tolong ikut menyusun laporan keuangan koperasi (reporting) yang semestinya dilakukan manajer keuangan.

Kondisi semacam ini jelas tidak sehat karena fungsi auditing akhirnya menjadi bias. Dalam kondisi semacam ini, bukan tidak mungkin justru tercipta kemunculan kerawanan-kerawanan yang bisa memancing tindak kejahatan (fraud). Untuk itu, koperasi harus menyiapkan badan pengawas juga mempunyai personel berkompeten untuk menyusun administrasi pembukuan (keuangan).

Dengan kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengawasan koperasi akan lebih optimal, terutama dari eksternal, yang selama ini tidak ada. OJK memiliki organ untuk mengawasi lembaga keuangan nonbank (khususnya lembaga keuangan mikro), dalam hal ini koperasi simpan pinjam, yang selama ini banyak melakukan fraud. Penguatan pengawasan koperasi, baik dari sisi internal maupun eksternal, merupakan keniscayaan dalam waktu dekat.

Tidak ada kata terlambat. Gerakan koperasi harus mulai memikirkan arti pentingnya kehadiran pengawas. Mungkin awalnya bisa dilakukan bersama-sama, melalui koperasi sekunder (beberapa koperasi) sehingga biayanya pun bisa ditanggung secara kolektif. Caranya juga dengan membentuk pengawasan koperasi kolektif. Co-operative auditing association merupakan jalan keluarnya. Mereka inilah yang nantinya memeriksa secara lebih mendalam koperasi-koperasi peserta. Dengan pola semacam itu, kendala biaya dapat teratasi. Dirgahayu ke-67 koperasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar