Senin, 14 Juli 2014

Serat Jayengbaya

                                                     Serat Jayengbaya

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 12 Juli 2014
                                                


DI Jawa, Ranggawarsita (1802-1873) pernah menggubah teks sastra parodi berjudul Serat Jayengbaya. Publik sering menganggap Ranggawarsita pujangga berpaham mistisisme Islam Jawa. Puisi-puisi gubahannya kerap dikutip untuk kepentingan politik, spiritualitas, sosial kultural, dan pendidikan, dari masa ke masa.

Soekarno memberikan penghormatan atas peran dan pengaruh ”sang pujangga agung”, mewujudkannya melalui peresmian patung kepala pujangga itu di depan Museum Radya Pustaka Solo, 11 November 1953. Kata Soekarno,’’ Dari utjapan-utjapan Ranggawarsita itu ternjata bahwa benar-benar Beliau itu pudjangga rakjat. Bukan pudjangga satu golongan, walaupun Rang­ga­warsita pegawai keraton, Beliau bukan pudjangga keraton sadja. Beliau adalah pudjangga rakjat.’’

Ranggawarsita memang berpredikat pujangga rakyat tapi memiliki empati kerakyatan (Kamadjaja, Zaman Edan, 1964). Di keraton, Ranggawarsita mengabdi ke raja namun berpihak ke misi kerakyatan. Kehidupan di lingkungan kekuasaan justru memberi rangsangan menggubah sastra berisi kritik, renungan, parodi, dan protes.

Jayengbaya digubah saat Rangga­war­sita masih berusia 20-an tahun. Dia menggunakan tokoh bernama Jayengbaya untuk bermain pengandaian menjalani hidup dengan kemakmuran, kenikmatan, kebahagiaan, dan popularitas. Pelbagai keinginan muncul saat Jayengbaya melamun dari hari ke hari. Ia selalu berganti obsesi peran atau pekerjaan, bergantung keuntungan dan kerugian.

Ada puluhan jenis pekerjaan diinginkan tapi batal akibat ketakutan-ketakutan mendapat petaka atau kematian. Jayengbaya tak mau menanggung risiko, berharap selalu mendapat keuntungan. Titik akhir dari lamunan adalah obsesi menjadi Tuhan. Lamunan memang berujung ke perkara-perkara tak masuk akal.

Kehadiran Serat Jayengbaya adalah representasi kondisi kehidupan di Jawa saat berlangsung modernisasi. Ranggawarsita menjadi pengamat, berlanjut menulis pelbagai lakon manusia menghadapi perubahan za­man. Martabat manusia ditentukan kesanggupan memiliki kerja dan menampilkan diri dalam kehidupan sosial. Di Jawa, orang-orang berharapan mendapat pekerjaan pantas, berdalih nafkah dan kehormatan.

Solo sebagai ”kota modern” bentukan pemerintah kolonial dan kerajaan mulai bergeliat, memunculkan persoalan pelik dalam urusan politik, sosial, kultural, ekonomi,  agama. Orang-orang ingin mengalami dan mengartikan zaman modern dengan pekerjaan. Jenis-jenis pekerjaan lawas telah bertambah dengan keprofesian modern akibat modernisasi. Agenda bekerja membuat orang bersaing memperebutkan posisi dan harta.

Menjadi Referensi

Ranggawarsita mengingatkan agar orang-orang mementingkan keselamatan dan kesusilaan ketimbang mengumbar keserakaham atau kesombongan. Dia mempersembahkan Serat Jayengbaya supaya orang-orang tak jatuh dalam kerusakan dan aib. Jayengbaya ingin menjadi dalang, lurah, penjahit, pedagang, penjudi, pengemis, dan guru. Pelbagai pekerjaan dan peran diinginkan si pelamun. Pekerjaan mengandung pengertian kewajiban, uang, derita, dan kenikmatan.

Gambaran Jawa abad XIX ada dalam lamunan Jayengbaya. Kesadaran uang, kelas sosial, gaya hidup mendapat ejekan dramatis dari Ranggawarsita. Zaman selalu berubah. Pekerjaan sebagai pengabdian, ekspresi kebaikan, laku kemanusiaan telah berubah menjadi perhitungan untung dan rugi. Pekerjaan tak menjadi ejawantah kebermaknaan manusia.

Pekerjaan justru membuat manusia abai identitas, etika, religiositas, dan toleransi sosial.

Serat Jayengbaya tak pudar makna saat dibaca sekarang. Nasihat bercorak parodi itu masih pantas dipakai sebagai referensi di Indonesia.

Jayengbaya tak mau mati. Pada lamunan berbeda, ia malah ingin menjadi pengemis dan orang gila. Pengemis dianggap tak memiliki beban bekerja, bisa makan dari pemberian orang. Pilihan jadi orang gila juga mengandung maksud bebas berulah tanpa rikuh dengan perintah atau umpatan. Pengemis dan orang gila adalah predikat ironis saat zaman menguak puja uang dan popularitas. Ranggawarsita sengaja menampilkan lamunan menjadi pengemis dan orang gila supaya ada oposisi dari lamunan menjadi pejabat, pedagang, guru.

Sekarang, hasrat bekerja menimbulkan persaingan sengit, dari pilihan sekolah sampai permainan uang sogokan. Situasi abad XIX tentu berbeda dari abad XXI. Kita tetap bisa mengingat parodi Ranggawarsita untuk melihat ulah orang-orang bertaruh diri mendapat pekerjaan dan jabatan. Mereka sudah menjadi dosen, pengusaha, artis, tapi ingin berlanjut menjadi penghuni gedung parlemen dan seterusnya.

Pilihan mengandung risiko. Obsesi tak terpenuhi mengakibatkan malu, miskin dan sebagainya. Mereka mirip Jayengbaya, menginginkan pelbagai peran dan pekerjaan. Konon, mereka siap menanggung risiko andai gagal pun. L Mardiwarsito (1988) mengingatkan tentang kebermaknaan Serat Jayengbaya, ’’...berusaha keras mencari kemajuan, kebahagiaan hidup, tetapi harus bijaksana, menerima nasib dalam kerendahan hati.”

1 komentar: