Senin, 14 Juli 2014

Negara Berkemakmuran

                                           Negara Berkemakmuran

A Rudiyanto Soesilo  ;   Dosen Filsafat dan Etika Fakultas Pascasarjana
Unika Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA, 11 Juli 2014
                                                


NEGARA berkemakmuran tinggi di dunia ternyata bukan negara yang sering kita dengar, negara yang adidaya, yang selalu tampil dalam panggung politik dunia. Tiga negara yang terletak di Jazirah Scandinavia: Norwegia, Swedia, dan Denmark, ditambah DENGAN Finlandia, yang notabene jarang kita dengar (kecuali Denmark sebagai ’’mitra’’ bulu tangkis) justru termasuk 10 negara paling berkemakmuran (Prosperous Countries in the World, The Legatum Prosperity Index 2013).

Sebagai paradoks, justru negara yang sangat ìkuatî dan mampu mengancam negara-negara tetangganya, bahkan mengancam dunia, seperti Korea Utara di bawah dinasti Kim, ternyata rakyatnya kelaparan dalam arti sebenarnya. Negara tersebut malah perlu ditolong supaya rakyatnya tidak mati kelaparan. Lalu adakah korelasi antara negara yang kuat dan mampu bersuara lantang, dan kemakmuran rakyatnya? Sebagai jawaban dari kritik pemikir Karl Marx terhadap sistem ekonomi yang berlangsung di negara-negara maju maka diciptakanlah sebuah sistem yang kemudian dikenal dengan nama negara kesejahteraan (welfare country). Dalam sistem ini, rakyat sebagai warga negara mendapat jaminan kesejahteraan dari negaranya untuk memenuhi kehidupan dasar, kesehatan, dan pendidikannya, sejak ia lahir hingga meninggal. From the craddle to the grave. Sejak itu pula, nasib dan hidup rakyat negara dengan sistem seperti itu menjadi ”orang kebanyakan”, semisal kaum buruh dan petani (oleh Marx disebut kaum proletar). Rakyat dari negara kesejahteraan ini jauh lebih sejahtera dan berkemakmuran dibandingkan dengan sesamanya di negaranegara komunis, seperti yang sebelumnya dijanjikan oleh Marx dengan komunismenya. Bagaimana kita mengaitkan demokrasi yang menuju negara berkemakmuran?

Di dalam demokrasi tertanam dan melekat nilai-nilai perdamaian di dalamnya (Perpetual Peace, Immanuel Kant). Asas demokrasi di antaranya memang mempersembahkan kemakmuran bagi rakyatnya, sehingga secara logis harus menghindari konfrontasi dan peperangan yang ongkos dan akibatnya sangat merusak dan memundurkan negara itu. Apalagi bila menderita kekalahan. Dalam konteks kekinian, perang bukan lagi pertempuran fisik melainkan bisa berupa kecenderungan menggertak, sok kuat, menaikkan secara tidak proporsional anggaran pengadaan dan pembelian senjata yang kemudian secara implisit tujuan akhirnya adalah suatu hegemoni kultural terhadap negara-negara lain atau tetangganya (Gramsci) . Pemimpin negara demokratis suatu saat akan dituntut oleh rakyatnya lewat mekanisme hukum, untuk mempertanggungjawabkan kerusakan-kerusakan yang timbul dan beban atau ongkos yang harus ditanggung rakyat atas kehancuran, kemandekan dan kemunduran yang terjadi. Arah Kekerasan Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran kekerasan dalam politik dunia berawal dari kelahiran pemimpin- pemimpin yang keras (tough) yang membawa negaranya ke arah kekerasan yang menuju suatu hegemoni tadi. Kita mengenal berbagai despot diktatorial yang kemudian mencelakakan rakyatnya. Munculnya Adolf Hitler, jago pidato, demagog, dan agitator, yang setelah mendapat mandat kekuasaan, bersama partainya, yaitu Partai Nasionalis-Sosialis-Nazi, mengubah arah demokrasi.

Ia membelokkannya menjadi negara fasis, yang inti ajarannya adalah negara yang sangat kuat, serta rakyat harus patuh dan tunduk kepada para elitenya. Dari model negara kuat dan mensubordinatkan rakyatnya itulah kemudian lahir berbagai bencana kemanusiaan sekaligus kehancuran negara dan bangsanya. Pola despot diktatorial inilah yang terjadi pada dinasti Kim di Korea Utara. Hasil penelusuran tentang 11 Most Introverted Countries In The World (Aletheia Luna), menunjukkan bahwa negara-negara di Semenanjung Scandinavia yang mencapai top 10 negara berkemakmuran itu termasuk introvert countries, negara-negara yang tekun dan konsen mengurusi kesejahteraan warga dan rakyatnya.

Upaya itu dilakukan dengan tanpa harus berpretensi dan bertendensi untuk menjadi ìnegara kuatî yang mampu menggertak dan mengancam negara lain. Fakta bahwa beberapa negara adidaya justru ketinggalan peringkat tingkat kemakmurannya, Amerika Serikat ada pada nomor 12, Inggris 13, Tiongkok 58, dan Rusia di bawah Putin ’’hanya’’ nomor 63. Setelah melewati pesta Pilpres 2014, tak ada salahnya rakyat perlu merenung. Sebagai warga sebuah negara sedang berkembang yang tengah bersiap-siap melesat ke depan, tampaknya perlu memahami urgensi membenahi diri terlebih dahulu sebagai prioritas. Pahami sikap introvert country yang lebih memprioritaskan kesejahteraan yang berkemakmuran sebagai prasyarat utama mencapai tujuan-tujuan berikutnya. Sebagai negara demokrasi maka suara rakyatlah yang kemudian akan menentukan negara yang dapat memprioritaskan kesejahteraan berkemakmuran. Keniscayaan itu bisa ditempuh lewat sikap introvert, tekun, dan concern membenahi diri dengan tata kelola dan etos tegar guna mempersiapkan diri melesat menggapai tujuan-tujuan berikutnya. Itulah tugas presiden-wakil presiden terpilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar