Pemilu
dan Pekerjaan Rumah
Dinna
Wisnu ;
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2014
Hari ini kita akan atau sudah melaksanakan hak konstitusi kita sebagai
warga negara Indonesia dengan pergi ke bilik suara dan memilih presiden yang
terbaik. Kabar yang menggembirakan datang dari lembaga-lembaga survei.
Mereka memastikan bahwa melalui
hasil survei hampir 90% masyarakat Indonesia menyatakan akan menggunakan hak
pilihnya dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Apabila survei itu
terbukti, presiden yang terpilih akan memiliki kekuatan legitimasi yang besar
dan kuat. Legitimasi dari sebanyak-banyaknya warga negara Indonesia adalah
landasan penting bagi presiden RI ketujuh untuk mengambil langkah kebijakan
baru dan merupakan modal kepercayaan yang utama ketika berhadapan dengan para
pemimpin negara lain.
Seusai dengan penghitungan cepat hasil pemilu, wacana politik akan
beralih ke program prioritas presiden baru selama 100 hari masa kerjanya. Ini
tugas yang penting dan biasanya tidak mudah. Selain karena keputusan
kebijakan harus diambil dalam waktu cepat, janji-janji perubahan yang
disuarakan selama masa kampanye akan diuji, termasuk oleh para lawan politik.
Padahal, apa yang terjadi selama 100 hari masa kerja belum tentu bisa
sepenuhnya diprediksi.
Misalnya saja, waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai
jabatannya sebagai presiden pada 2004, ia mengalami masalah gempa dan tsunami
di bagian barat kepulauan Indonesia. Ratusan ribu jiwa meninggal, juga
kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Di situ Presiden SBY bertugas
melakukan gerak cepat tanggap bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi
daerah-daerah bencana agar dapat kembali pulih.
Selain itu, sebagai presiden yang pertama kali dipilih secara langsung,
Presiden SBY juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan konsolidasi
pemerintahan di era Reformasi. Pada masa-masa awal tersebut, Presiden SBY
memilih untuk sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai
kebijakan.
Ia juga memilih untukl ebih berjarak dengan pemerintahan sebelumnya
(pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri), termasuk antara lain dengan
menunda penerapan sistem jaminan sosial nasional, menerapkan model defisit
anggaran untuk menggenjot pembangunan dan menambah utang luar negeri.
Untuk konsolidasi pemerintahan, ia menerjemahkannya sebagai membangun
koalisi raksasa bernama Kabinet Indonesia Bersatu yang di dalamnya nyaris semua
partai politik diberi peran dalam pemerintahan. Jika kita bandingkan dengan
Perdana Menteri Tony Abbott dari Australia yang terpilih pada Maret 2013,
sikap SBY relatif mencari aman. Ketika Tony Abbott berkuasa, ia langsung
menerapkan kebijakan kontroversial, yakni melakukan penindakan keras terhadap
para pencari suaka yang bergerak dari kepulauan Indonesia.
Tanpa peduli pada reaksi Indonesia, Australia bahkan menjanjikan
kompensasi kepada para aparat keamanan dan berwenang di Indonesiayang mau
bekerja sama dengan Australia. Tindakan itu diambil sebagai wujud kecepatan
Abbott dalam memenuhi janji kampanyenya. Janji itulah yang berhasil
membuatnya meraih suara mayoritas dari pesaingnya, yakni Partai Buruh.
Contoh lain adalah Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat (AS). Ia
terbilang cepat bertindak juga, tetapi tidak segegabah Abbott. Ketika
berkuasa, Obama langsung berupaya melaksanakan janji penyelenggaraan asuransi
kesehatan bagi seluruh masyarakat AS yang belum punya asuransi kesehatan.
Melalui jejaring sosial dan pidato- pidatonya ia berharap untuk terus
menggempur pertahanan oposisi untuk mendukung program tersebut.
Apa daya, ternyata sampai masuk ke periode kedua kepemimpinannya pun
desakan Obama tersebut masih saja mentah di parlemen. Bayangkan, seluruh
keuangan pemerintah Federal bahkan sempat terhenti selama 16 hari pada
Oktober 2013 hanya karena penolakan kubu Partai Republikan. Tentusangat
kitatunggu, apakah presiden pasca-SBY akan langsung berusaha keras
melaksanakan janji kampanyenya atau mengutamakan penggalangan dukungan
politik dari partai oposisi atau melanjutkan model kebijakan pemerintahan
sebelumnya.
Terlepas dari gaya kepemimpinan, sejumlah pekerjaan rumah bagi
Indonesia terbilang mendesak untuk diselesaikan sebelum tahun berganti ke
2015. Pertama mengenai posisi Indonesia dalam pasar bebas regional maupun
global. Kedua capres sama-sama menjanjikan kebijakan proteksionis dalam
wacana debat. Sayangnya kebijakan macam itu sesungguhnya sama-sama tidak
praktis dalam jangka dekat.
Pasalnya, Indonesia juga punya kepentingan untuk membuka pasar
negara-negara lain, termasuk di Eropa dan AS yang belakangan juga mengarah
pada kebijakan proteksi. Kalau Indonesia justru menegakkan hambatan
perdagangan, serangan balasan dari negara- negara lain belum tentu bisa kita
atasi dalam waktu cepat. Yang bisa dan perlu digerakkan dengan cepat adalah
sektor produksi ekspor dari Indonesia, baik dari segi insentif, fasilitas
ekspor (termasuk di pelabuhan dan perihal perizinan serta urusan logistik)
maupun standardisasi mutu ekspor (mulai dari soal kemasan sampai keamanan
mutunya).
Karena sejatinya sudah ada sejumlah produsen lokal yang berani
mengekspor, hanya saja mereka melakukannya dengan tidak terorganisasi dengan
baik, bahkan dengan biaya tinggi. Yang kedua , era pasar bebas juga menuntut
perlindungan tenagakerjayanglebihoptimaldan efektif. Jelas bahwa urusan
perlindungan tenaga kerja ini bukanlah soal berapa standar upah bagi buruh
semata, tetapi lebih pada jaminan asuransi dan standar mutu.
Tidak hanya yang berpendidikan rendah yang perlu dilindungi, tetapi
yang berpendidikan tinggi pun patut diayomi. Seperti pernah dikatakan Wakil
Menteri Perdagangan Mahendra Siregar: modal terbesar ekonomi Indonesia adalah
manusianya. Artinya, jangan sampai melupakan tindakan cepat untuk membekali
tenaga kerja Indonesia untuk siap tanding di arena pasar bebas.
Yang ketiga , perihal keamanan dan ketahanan nasional. Hal-hal yang
meresahkan masyarakat akibat pembiaran terhadap aksi kekerasan, intimidasi,
diskriminasi kelompok (termasuk yang berbasis SARA) serta pelanggaran hukum
(termasuk betapa ternyata lapas di negeri ini masih bisa diakali oleh para
orang berduit untuk berbisnis dari balik jeruji besi) harus segera ditindak
tegas. Rakyat sudah jenuh dengan sikap tidak berdaya pemerintah terhadap
pihak yang disebut ”oknum”.
Karena penegakan hukum adalah basis untuk menambah kredibilitas
pemerintah, siapa pun yang terpilih dalam pilpres kali ini selayaknya punya
motivasi untuk memperbaiki kondisi ini dalam program 100 hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar