Jumat, 11 Juli 2014

Pemilu dan Pekerjaan Rumah

                                   Pemilu dan Pekerjaan Rumah

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 09 Juli 2014
                                                


Hari ini kita akan atau sudah melaksanakan hak konstitusi kita sebagai warga negara Indonesia dengan pergi ke bilik suara dan memilih presiden yang terbaik. Kabar yang menggembirakan datang dari lembaga-lembaga survei.

 Mereka memastikan bahwa melalui hasil survei hampir 90% masyarakat Indonesia menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Apabila survei itu terbukti, presiden yang terpilih akan memiliki kekuatan legitimasi yang besar dan kuat. Legitimasi dari sebanyak-banyaknya warga negara Indonesia adalah landasan penting bagi presiden RI ketujuh untuk mengambil langkah kebijakan baru dan merupakan modal kepercayaan yang utama ketika berhadapan dengan para pemimpin negara lain.

Seusai dengan penghitungan cepat hasil pemilu, wacana politik akan beralih ke program prioritas presiden baru selama 100 hari masa kerjanya. Ini tugas yang penting dan biasanya tidak mudah. Selain karena keputusan kebijakan harus diambil dalam waktu cepat, janji-janji perubahan yang disuarakan selama masa kampanye akan diuji, termasuk oleh para lawan politik. Padahal, apa yang terjadi selama 100 hari masa kerja belum tentu bisa sepenuhnya diprediksi.

Misalnya saja, waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai jabatannya sebagai presiden pada 2004, ia mengalami masalah gempa dan tsunami di bagian barat kepulauan Indonesia. Ratusan ribu jiwa meninggal, juga kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Di situ Presiden SBY bertugas melakukan gerak cepat tanggap bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah bencana agar dapat kembali pulih.

Selain itu, sebagai presiden yang pertama kali dipilih secara langsung, Presiden SBY juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan konsolidasi pemerintahan di era Reformasi. Pada masa-masa awal tersebut, Presiden SBY memilih untuk sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan.

Ia juga memilih untukl ebih berjarak dengan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri), termasuk antara lain dengan menunda penerapan sistem jaminan sosial nasional, menerapkan model defisit anggaran untuk menggenjot pembangunan dan menambah utang luar negeri.

Untuk konsolidasi pemerintahan, ia menerjemahkannya sebagai membangun koalisi raksasa bernama Kabinet Indonesia Bersatu yang di dalamnya nyaris semua partai politik diberi peran dalam pemerintahan. Jika kita bandingkan dengan Perdana Menteri Tony Abbott dari Australia yang terpilih pada Maret 2013, sikap SBY relatif mencari aman. Ketika Tony Abbott berkuasa, ia langsung menerapkan kebijakan kontroversial, yakni melakukan penindakan keras terhadap para pencari suaka yang bergerak dari kepulauan Indonesia.

Tanpa peduli pada reaksi Indonesia, Australia bahkan menjanjikan kompensasi kepada para aparat keamanan dan berwenang di Indonesiayang mau bekerja sama dengan Australia. Tindakan itu diambil sebagai wujud kecepatan Abbott dalam memenuhi janji kampanyenya. Janji itulah yang berhasil membuatnya meraih suara mayoritas dari pesaingnya, yakni Partai Buruh.

Contoh lain adalah Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat (AS). Ia terbilang cepat bertindak juga, tetapi tidak segegabah Abbott. Ketika berkuasa, Obama langsung berupaya melaksanakan janji penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi seluruh masyarakat AS yang belum punya asuransi kesehatan. Melalui jejaring sosial dan pidato- pidatonya ia berharap untuk terus menggempur pertahanan oposisi untuk mendukung program tersebut.

Apa daya, ternyata sampai masuk ke periode kedua kepemimpinannya pun desakan Obama tersebut masih saja mentah di parlemen. Bayangkan, seluruh keuangan pemerintah Federal bahkan sempat terhenti selama 16 hari pada Oktober 2013 hanya karena penolakan kubu Partai Republikan. Tentusangat kitatunggu, apakah presiden pasca-SBY akan langsung berusaha keras melaksanakan janji kampanyenya atau mengutamakan penggalangan dukungan politik dari partai oposisi atau melanjutkan model kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Terlepas dari gaya kepemimpinan, sejumlah pekerjaan rumah bagi Indonesia terbilang mendesak untuk diselesaikan sebelum tahun berganti ke 2015. Pertama mengenai posisi Indonesia dalam pasar bebas regional maupun global. Kedua capres sama-sama menjanjikan kebijakan proteksionis dalam wacana debat. Sayangnya kebijakan macam itu sesungguhnya sama-sama tidak praktis dalam jangka dekat.

Pasalnya, Indonesia juga punya kepentingan untuk membuka pasar negara-negara lain, termasuk di Eropa dan AS yang belakangan juga mengarah pada kebijakan proteksi. Kalau Indonesia justru menegakkan hambatan perdagangan, serangan balasan dari negara- negara lain belum tentu bisa kita atasi dalam waktu cepat. Yang bisa dan perlu digerakkan dengan cepat adalah sektor produksi ekspor dari Indonesia, baik dari segi insentif, fasilitas ekspor (termasuk di pelabuhan dan perihal perizinan serta urusan logistik) maupun standardisasi mutu ekspor (mulai dari soal kemasan sampai keamanan mutunya).

Karena sejatinya sudah ada sejumlah produsen lokal yang berani mengekspor, hanya saja mereka melakukannya dengan tidak terorganisasi dengan baik, bahkan dengan biaya tinggi. Yang kedua , era pasar bebas juga menuntut perlindungan tenagakerjayanglebihoptimaldan efektif. Jelas bahwa urusan perlindungan tenaga kerja ini bukanlah soal berapa standar upah bagi buruh semata, tetapi lebih pada jaminan asuransi dan standar mutu.

Tidak hanya yang berpendidikan rendah yang perlu dilindungi, tetapi yang berpendidikan tinggi pun patut diayomi. Seperti pernah dikatakan Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar: modal terbesar ekonomi Indonesia adalah manusianya. Artinya, jangan sampai melupakan tindakan cepat untuk membekali tenaga kerja Indonesia untuk siap tanding di arena pasar bebas.

Yang ketiga , perihal keamanan dan ketahanan nasional. Hal-hal yang meresahkan masyarakat akibat pembiaran terhadap aksi kekerasan, intimidasi, diskriminasi kelompok (termasuk yang berbasis SARA) serta pelanggaran hukum (termasuk betapa ternyata lapas di negeri ini masih bisa diakali oleh para orang berduit untuk berbisnis dari balik jeruji besi) harus segera ditindak tegas. Rakyat sudah jenuh dengan sikap tidak berdaya pemerintah terhadap pihak yang disebut ”oknum”.

Karena penegakan hukum adalah basis untuk menambah kredibilitas pemerintah, siapa pun yang terpilih dalam pilpres kali ini selayaknya punya motivasi untuk memperbaiki kondisi ini dalam program 100 hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar