Hitam-Putih
Pilpres 2014
Jannus TH Siagian ; Pengamat Sosial Politik
|
KORAN
SINDO, 08 Juli 2014
Saat ini kita akan memasuki minggu tenang. Sesuai nomenklaturnya, kita
berharap semua lapisan masyarakat, pemilik hak pilih dan terutama calon
pengguna hak pilih pada Pilpres 2014 benar-benar berada dalam keadaan tenang.
Mereka berhak mendapatkan itu karena dijamin undang-undang (UU). Jika
muncul ketidaktenangan, negara bisa mengambil tindakan hukum agar semua orang
memperoleh ketenangan sebagaimana dijanjikan konstitusi. Namun, mencermati
perkembangan selama kampanye pilpres kali ini, kita pantas waswas. Benarkah
kita akan memperoleh ketenangan sebagaimana dijaminkan UU dimaksud? Keraguan
pantas menyeruak, seiring hanya muncul dua pasangan calon presiden dan calon
wakil presiden.
Masyarakat kita berada dalam hitam-putih politik. Tak ada jalan
kembali, point of no return, karena kita hanya disodorkan dua nama capres dan
cawapres. Kalau tidak Prabowo Subianto dengan pasangannya Hatta Rajasa,
pilihan lain hanya Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Semua pihak yang
berkepentingan, semua kubu, semua kutub, bahkan telah mengambil tempatnya.
Berhadap-hadapan, berkonfrontasi, head to head, satu lawan satu. Saya lawan
kamu, kita lawan mereka, dan Prabowo versus Jokowi.
Kalau bukan pro- Jokowi berarti pro-Prabowo. Situasi ini jika tidak
dikelola secara baik, sungguh berbahaya! Kita tengah berada dalam situasi
yang secara diametral menempatkan anak-anak negeri menentukan sendiri rival
sesuai haluan politiknya. Di mana letak masalahnya? Pada pelaku politik atau
infrastruktur politiknya?
Paling kurang, seandainya para pimpinan partai politik mau berpikir
jauh ke depan, melampaui kepentingan pribadi, kelompok, dan sesaat, tentu
akan ada nama-nama alternatif sehingga situasinya tak perlu berhadap-hadapan.
Serbapermisif
Tapi, itulah politik. Sebuah jalan yang kalau tidak dibalut etik dan
konsensus bersama menuju kebaikan, akan menyebabkan kehidupan serbapermisif.
Yang penting tujuan tercapai, abaikan semua norma, etik, agama, dan
konstitusi. Thomas Hobbes (1588-1679), jauh berabad-abad sesudah Aristoteles,
terang-terangan membuka ”aib” manusia.
Kita, makhluk manusia, sejatinya tidaklah mulia-mulia amat sebagaimana
diangankan Aristoteles dan kawan-kawannya, para filosof Yunani. Melalui
Leviathan, salah satu karya pentingnya, Hobbes mengajukan gagasan berani
tentang hakikat manusia (human nature).
Ia yakin, segala tindakan manusia dilakukan semata untuk kepentingan diri
sendiri, utamanya untuk mencapai kepuasan (satisfaction) dan menghindari kemalangan (harm).
Untuk menguatkan pendapatnya, Hobbes menguraikan aksioma tahap
prapolitis perkembangan sosial manusia yang dalam bahasanya disebut sebagai
keadaan alamiah (state of nature).
Situasi inilah yang kini tengah menyergap para politisi Indonesia. Mereka
diempaskan ke belantara politik sehingga, demikian asumsi Hobbes, merasa
harus mengamankan diri masingmasing dari ancaman sesamanya; suatu kondisi
semua lawan semua.
Hobbes menyarankan perlunya kontrak sosial antara masing-masing
warga-bangsa. Dalam kaitan ini, di mana kita akan meletakkan Machiavelli
(1469-1527). Peletak dasar pemikiran Hobbes yang harus berhadapan dengan
Aristoteles atau berdiri menengahi keduanya? Bagi Machiavelli, alih-alih
gamang memaknai politik antara yang empirik dan yang transendental, ia justru
menatap politik sebagai gerak, dinamika, kekuatan rasionalitas, serta
keputusan untukbermaindalamyangempirik ke yang transendental.
Politik dengan demikian adalah kehendak untuk menerjang celah antara
yang empirik dengan yang transendental, politik adalah determinasi akal budi
terhadap yang mungkin (virtu) dan
yang tak mungkin (fortuna). Sayangnya, di tengah dua kubu yang bertarung
tersebut belum tumbuh penengah dan wasit yang benar-benar berdiri di atas dan
untuk semua golongan. Berderet-deret cendekiawan menjadi pelindung di kedua
kubu. Coba simak peringatan seorang the
founding father kita, Bung Hatta.
“Kaum
cendekiawan Indonesia mempunya tanggung jawab moral terhadap perkembangan
masyarakatnya. Apakah dia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau
tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu. Sekali pun berdiri di
luar pimpinan, sebagai rakyat-demokrat, ia harus menegur dan menentang
perbuatan yang salah dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.” (Kompas, 14 Oktober 1986).
Salah satu indikator sudah terbangunnya kultur demokrasi di negeri ini
adalah kala pascapengumuman pilpres yang kalah segera memberikan selamat
kepada pemenang dan lantas mengimbau para pendukungnya untuk menyatu bersama
kelompok pemenang. Sementara pemenang dengan jiwa besar mau memuji yang
kalah, mengapresiasi, serta mengajak tetap bersama-sama membangun Tanah Air
tercinta.
Penting disadari, pascapilpres situasi kaku bahkan tegang karena
perbedaan pendapat yang terjadi jelang Pilpres 2014 ini (merujuk pada
realitas di media sosial) akan mencair karena masyarakat Indonesia, utamanya
kelompok menengah yang terus bertumbuh, sudah rasional dan mandiri dalam
berpendapat sehingga tidak terpengaruh sikap partisan dan provokasi para
elite politik yang berada di kedua kubu kontestan pilpres. Bertambah kayanya
pengalaman berdemokrasi bangsa ini semoga akan menumbuhkembangkan kedewasaan
dalam berpolitik.
Jangan
Mencubit
Kekuasaan dalam semua bentuknya bersifat menggoda dan menipu. Kekuasaan
adalah suatu labirin–benak Anda menjadi terobsesi memecahkan beragam
masalahnya yang tak terbatas. Lalu Anda menyadari, sesungguhnya Anda telah
tersesat. Dengankatalain, kekuasaan menjadi paling menggelikan jika Anda
menganggapnya dan menyikapinya terlalu serius. (Robert Greene, The 48 Laws of Power).
Situasi inilah yang belakangan menyergap para politisi kita.
Mengaduk-aduk emosi para pendukungnya, seakan berada di medan pertempuran
hidup- mati. Kekhawatiran semakin membayang, terlebih karena dalam beberapa
hari terakhir, aksi saling serang kian intensif dan masif antardua kubu
pendukung. Situasi itu semakin keruh karena beberapa media massa ikut
menuangkan bahan bakar ke tumpukan jerami emosi yang mulai tersulut.
Sudah bukan rahasia lagi, ketegangan memuncak, sedikit banyak, karena
kian sistemiknya pemberitaan yang menyudutkan pasangan tertentu. Satu media
mendukung, satunya lagi menyudutkan. Mereka butuh diperlakukan dengan adil.
Yakinlah, jika media berlaku adil, para pendukung, relawan, dan tim sukses
semua pasangan tak akan sudi membiarkan amuk muncul.
Tak ada yang suka rela diperlakukan tidak adil. Adakah mereka yang
memperoleh kesenangan karena perlakuan adil akan membalasnya dengan anarki?
Dengan logika sederhana, orang tua kita bilang; kalau dirimu dicubit sakit, jangan
mencubit orang. Pascapilpres pemenang perlu mengapresiasi yang kalah dan yang
kalah harus berbesar hati menerima kekalahannya.
Sebagai saudara, mereka harus tetap berangkulan dalam pelukan Ibu
Pertiwi! Peringatan Bung Hatta terhadap para cendekiawan dan sentilan Greene
terkait ambisi politik sebagian kita kiranya dapat menyadarkan betapa penting
menyediakan suasana tenang dalam makna yang sebenarnya. Jangan karena mereka,
lantas kita tidak tenang. Jangan karena ambisi mereka, ketenangan negeri ini
terganggu.
Dalam dunia politik, kita hanya mengenal hitam dan putih. Tetapi, hidup
bukan semata politik. Politik hanyalah jalan di antara banyak jalan lain
menuju hidup yang bermartabat berdasar Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar