Sabtu, 05 Juli 2014

Pembenahan Pertanian Jokowi Realistis

                    Pembenahan Pertanian Jokowi Realistis

Sutrisno Iswantono  ;   Presiden Kerja Sama Petani Asia
(Asian Farmers Group for Cooperation)
KORAN JAKARTA,  02 Juli 2014
                                                


Dalam sejumlah kesempatan, pasangan calon presiden (capres) dan cawapres, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), telah memaparkan visi dan misi mereka untuk membangun sektor pertanian. Jokowi-JK, pasangan nomor urut 2, ingin membenahi terlebih dulu irigasi dan waduk. Seperti yang dikatakan Jokowi, tanpa pembenahan di hulu, yaitu irigasi dan waduk, sulit dan tidak ada gunanya mencetak sawah baru karena pengairannya tidak ada.

Kalau melihat kondisi di lapangan, konsep yang ditawarkan Jokowi sangat realistis. Langkah pembenahan waduk dan irigasi inilah yang lebih bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan. Langkah membuka lahan rasanya sulit diwujudkan karena membutuhkan dana yang tidak kecil. Jika harus membuka hutan dan menyediakan infrastruktur membuka lahan pertanian baru, akan membuang waktu terlalu lama. Apalagi, problem utama yang dihadapi sekarang adalah sistem irigasi Indonesia sebagian besar rusak berat.

Jadi, perbaikan irigasi sangat tepat dilakukan daripada pembukaan lahan baru, yang membutuhkan dana besar dan proses lebih lama. Jauh lebih efektif dan efisien memaksimalkan lahan yang ada dengan cara perbaikan saluran irigasi dan waduk.

Selain itu, banyak lahan marjinal yang bisa diefektifkan untuk pertanian, terutama lahan di luar Jawa. Lahan rawa bisa diperbaiki dengan teknologi pertanian, pembenahan irigasi, dan cara tanam sehingga bisa menjadi lahan produktif.

Saat ini, Indonesia memiliki sistem irigasi yang mampu mengairi 7,2 juta hektare lahan pertanian. Namun, 52 persen di antaranya terbilang rusak. Program yang dikemukakan Jokowi juga tidak terlalu membebani pemerintah pusat karena bisa dikerjakan juga oleh daerah. Dalam pembangunan waduk, ada kewajiban-kewajiban. Tidak semuanya harus pemerintah pusat.

Lebih Selektif

Contohnya, waduk yang mengairi 100 hektare lahan bisa dikerjakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan untuk pengairan 1.000–3.000 hektare bisa dilakukan pemerintah provinsi. Kalau lebih besar dari itu, baru pemerintah pusat yang turun tangan. Dengan demikian, setiap daerah bisa punya waduk yang memadai. Pemerintah pusat juga bisa lebih selektif, tidak harus menanggung semuanya.

Masalah irigasi ini menjadi hal sentral pada produksi beras nasional. Lahan pertanian yang mendapat aliran irigasi menyumbang sekitar 85 persen dari total produksi beras per tahun. Karena itulah, rusaknya saluran irigasi jelas akan mengurangi pasokan beras di Tanah Air.

Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa komoditas beras masih menjadi kontributor utama penyumbang inflasi. Masalah ini harus dipahami presiden mendatang. Hal tersebut menuntut ketersediaan beras yang terkendali. Kurangnya pasokan karena banyaknya kerusakan saluran irigasi dan kekurangan waduk akan mengganggu pasokan beras, dan ini berpotensi menyumbang tingginya inflasi.

Ke depan, yang juga harus diperhatikan presiden mendatang adalah penerapan Iptek di sektor pertanian untuk mendongkrak produksi beras. Ada beberapa alasan pembangunan SDM dan teknologi pertanian harus mendapat prioritas. Pertama, lebih dari 45 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian menghasilkan pendapatan nasional yang terbesar dibandingkan sektor-sektor lain. Ketiga, sektor pertanian adalah basic market, pasar dasar untuk industri nasional.

Keempat, sektor pertanian menyumbangkan pendapatan negara yang besar dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, sektor pertanian menyumbangkan devisa yang signifikan melalui ekspor. Oleh karena itu, sangat penting bagi presiden selanjutnya untuk memprioritaskan pengembangan SDM dan Iptek di sektor pertanian.

Pendekatan Teknologi

Teknologi pertanian di Indonesia memang tertinggal dibanding negara-negara di kawasan. Hal itu tecermin dari produktivitas hasil pangan yang rendah. Untuk padi, produktivitas di Indonesia adalah sekitar 5 ton per hektare. Di negara lain sudah 10 ton per hektare. Ini harus ditingkatkan lagi, salah satunya dengan pendekatan teknologi.

Contoh lain adalah buah-buahan Indonesia yang tidak layak ekspor. Padahal, di bumi Indonesia ini, banyak jenis buah seperti mangga dan pisang, tapi sulit diekspor karena kualitasnya kurang memadai. Sebagai negara agraris, lahan pertanian Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakatnya.

Indonesia belum bisa keluar dari jeratan importasi bahan pangan sepanjang hampir 2013. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun Januari hingga November 2013, Pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai 8,6 miliar dollar AS atau sekitar 104,9 triliun rupiah.

Ironisnya, sebagian bahan pangan yang diimpor Indonesia justru bisa dihasilkan di negeri sendiri, seperti kentang, teh, cengkeh, jagung, dan beras. Namun, permintaan domestik yang melampaui jumlah produksi pangan mendorong pemerintah untuk menerima ekspor dari negara lain.

Langkah tersebut diambil pemerintah guna menghindari adanya kelangkaan pangan di Tanah Air. Lantas, apa saja bahan pangan yang masih diimpor pemerintah? Komoditas bahan pangan yang diimpor Indonesia dalam kurun Januari–November 2013 antara lain beras (226,4 juta dollar AS dengan volume 432,8 juta kg), jagung (822,35 juta dollar AS dengan volume 2,8 miliar kg), kedelai (1 miliar dollar AS dengan volume 1,62 miliar kg), tepung terigu (74,9 juta dollar AS dengan volume 185,8 juta kg), gula pasir (44,4 juta dollar AS dengan volume 75,8 juta kg), gula tebu (1,5 miliar dollar AS dengan volume 3,01 miliar kg), dan daging ayam (30.259 dollar AS dengan volume 10.825 kg).

Pangan lainnya yang diimpor adalah garam (85,6 juta dollar AS dengan volume 1,85 miliar kg), minyak goreng (77,4 juta dollar AS dengan volume 84,7 juta kg), susu (772,4 juta dollar AS dengan volume 194,5 juta kg), bawang merah (38,9 juta dollar AS dengan volume 81,3 juta kg), bawang putih (333,3 juta dollar AS dengan volume 404,2 juta kg), kelapa (868.209 dollar AS dengan volume 835.941 kg), ubi kayu (38.380 dollar AS dengan volume 100.798 kg), dan kelapa sawit (2,4 juta dollar AS dengan volume 3,25 juta kg).

Sungguh ini membuat miris. Penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa adalah pasar potensial untuk industri pangan. Bangsa ini seharusnya bisa menyediakan kebutuhan tersebut. Hal ini menjadi PR yang mendesak untuk dikerjakan pemerintah. Jika tidak dapat dipenuhi, identitas Indonesia sebagai negara agraris akan hilang.

Dengan konsep Jokowi memperbaiki irigasi dan waduk, dipastikan secara bertahap akan mampu mengurangi volume impor sejumlah komoditas. Lebih jauh, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi akan membuat program nyata untuk swasembada pangan dan meningkatkan keinginan anak muda tertarik menjadi petani.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, tidak ada cara lain bahwa pemerintah mendatang perlu membangun fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) sektor pertanian di tiap-tiap kabupaten/kota. Fasilitas ini sifatnya harus public service, bisa diakses secara gratis.

Yang harus diingat, fasilitas R&D tersebut tidak boleh seragam. Harus local specific, sesuai potensi daerah masing-masing. Misalnya, daerah penghasil tebu, R&D harus terkait dengan teknologi pengembangan tebu. Untuk program ini, dibutuhkan perencanaan nasional yang khusus, tenaga peneliti yang disiapkan secara nasional, dan tentunya anggaran. Namun, untuk soal anggaran, tidak semua dibebankan pada pemerintah pusat karena daerahlah yang menjadi ujung tombak.

Secara bersamaan bisa juga memberdayakan pusat-pusat penyuluhan pertanian yang sudah ada. Sekarang pusat penyuluhan pertanian itu tidak berjalan, mangkrak. Ini bisa direvitalisasi untuk dijadikan R&D pertanian.

Jika hal tersebut dapat dijalankan secara simultan, tentu jika Jokowi terpilih menjadi presiden, importasi bahan pangan dapat ditekan. Ini juga akan menghemat devisa negara. Yang lebih membanggakan produksi pangan akan bertambah signifikan jumlahnya, dan ini akan membuka lapangan kerja. Semua itu pada ujungnya akan makin menyejahterakan para petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar