Pembenahan
Pertanian Jokowi Realistis
Sutrisno Iswantono ;
Presiden Kerja Sama Petani Asia
(Asian Farmers Group for Cooperation)
|
KORAN
JAKARTA, 02 Juli 2014
Dalam sejumlah kesempatan, pasangan calon presiden (capres) dan
cawapres, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), telah memaparkan visi dan
misi mereka untuk membangun sektor pertanian. Jokowi-JK, pasangan nomor urut
2, ingin membenahi terlebih dulu irigasi dan waduk. Seperti yang dikatakan
Jokowi, tanpa pembenahan di hulu, yaitu irigasi dan waduk, sulit dan tidak
ada gunanya mencetak sawah baru karena pengairannya tidak ada.
Kalau melihat kondisi di lapangan, konsep yang ditawarkan Jokowi sangat
realistis. Langkah pembenahan waduk dan irigasi inilah yang lebih bisa
dilakukan dalam lima tahun ke depan. Langkah membuka lahan rasanya sulit
diwujudkan karena membutuhkan dana yang tidak kecil. Jika harus membuka hutan
dan menyediakan infrastruktur membuka lahan pertanian baru, akan membuang
waktu terlalu lama. Apalagi, problem utama yang dihadapi sekarang adalah
sistem irigasi Indonesia sebagian besar rusak berat.
Jadi, perbaikan irigasi sangat tepat dilakukan daripada pembukaan lahan
baru, yang membutuhkan dana besar dan proses lebih lama. Jauh lebih efektif
dan efisien memaksimalkan lahan yang ada dengan cara perbaikan saluran
irigasi dan waduk.
Selain itu, banyak lahan marjinal yang bisa diefektifkan untuk
pertanian, terutama lahan di luar Jawa. Lahan rawa bisa diperbaiki dengan
teknologi pertanian, pembenahan irigasi, dan cara tanam sehingga bisa menjadi
lahan produktif.
Saat ini, Indonesia memiliki sistem irigasi yang mampu mengairi 7,2
juta hektare lahan pertanian. Namun, 52 persen di antaranya terbilang rusak.
Program yang dikemukakan Jokowi juga tidak terlalu membebani pemerintah pusat
karena bisa dikerjakan juga oleh daerah. Dalam pembangunan waduk, ada
kewajiban-kewajiban. Tidak semuanya harus pemerintah pusat.
Lebih
Selektif
Contohnya, waduk yang mengairi 100 hektare lahan bisa dikerjakan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan untuk pengairan 1.000–3.000 hektare bisa
dilakukan pemerintah provinsi. Kalau lebih besar dari itu, baru pemerintah
pusat yang turun tangan. Dengan demikian, setiap daerah bisa punya waduk yang
memadai. Pemerintah pusat juga bisa lebih selektif, tidak harus menanggung
semuanya.
Masalah irigasi ini menjadi hal sentral pada produksi beras nasional.
Lahan pertanian yang mendapat aliran irigasi menyumbang sekitar 85 persen
dari total produksi beras per tahun. Karena itulah, rusaknya saluran irigasi
jelas akan mengurangi pasokan beras di Tanah Air.
Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa komoditas beras masih menjadi
kontributor utama penyumbang inflasi. Masalah ini harus dipahami presiden
mendatang. Hal tersebut menuntut ketersediaan beras yang terkendali.
Kurangnya pasokan karena banyaknya kerusakan saluran irigasi dan kekurangan
waduk akan mengganggu pasokan beras, dan ini berpotensi menyumbang tingginya
inflasi.
Ke depan, yang juga harus diperhatikan presiden mendatang adalah
penerapan Iptek di sektor pertanian untuk mendongkrak produksi beras. Ada
beberapa alasan pembangunan SDM dan teknologi pertanian harus mendapat
prioritas. Pertama, lebih dari 45 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya
di sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian menghasilkan pendapatan nasional
yang terbesar dibandingkan sektor-sektor lain. Ketiga, sektor pertanian
adalah basic market, pasar dasar untuk industri nasional.
Keempat, sektor pertanian menyumbangkan pendapatan negara yang besar
dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
dan Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, sektor pertanian menyumbangkan devisa
yang signifikan melalui ekspor. Oleh karena itu, sangat penting bagi presiden
selanjutnya untuk memprioritaskan pengembangan SDM dan Iptek di sektor
pertanian.
Pendekatan
Teknologi
Teknologi pertanian di Indonesia memang tertinggal dibanding
negara-negara di kawasan. Hal itu tecermin dari produktivitas hasil pangan
yang rendah. Untuk padi, produktivitas di Indonesia adalah sekitar 5 ton per
hektare. Di negara lain sudah 10 ton per hektare. Ini harus ditingkatkan
lagi, salah satunya dengan pendekatan teknologi.
Contoh lain adalah buah-buahan Indonesia yang tidak layak ekspor. Padahal,
di bumi Indonesia ini, banyak jenis buah seperti mangga dan pisang, tapi
sulit diekspor karena kualitasnya kurang memadai. Sebagai negara agraris,
lahan pertanian Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok
masyarakatnya.
Indonesia belum bisa keluar dari jeratan importasi bahan pangan
sepanjang hampir 2013. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun
Januari hingga November 2013, Pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih
dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai 8,6 miliar dollar AS atau sekitar
104,9 triliun rupiah.
Ironisnya, sebagian bahan pangan yang diimpor Indonesia justru bisa
dihasilkan di negeri sendiri, seperti kentang, teh, cengkeh, jagung, dan
beras. Namun, permintaan domestik yang melampaui jumlah produksi pangan mendorong
pemerintah untuk menerima ekspor dari negara lain.
Langkah tersebut diambil pemerintah guna menghindari adanya kelangkaan
pangan di Tanah Air. Lantas, apa saja bahan pangan yang masih diimpor
pemerintah? Komoditas bahan pangan yang diimpor Indonesia dalam kurun
Januari–November 2013 antara lain beras (226,4 juta dollar AS dengan volume
432,8 juta kg), jagung (822,35 juta dollar AS dengan volume 2,8 miliar kg),
kedelai (1 miliar dollar AS dengan volume 1,62 miliar kg), tepung terigu
(74,9 juta dollar AS dengan volume 185,8 juta kg), gula pasir (44,4 juta
dollar AS dengan volume 75,8 juta kg), gula tebu (1,5 miliar dollar AS dengan
volume 3,01 miliar kg), dan daging ayam (30.259 dollar AS dengan volume
10.825 kg).
Pangan lainnya yang diimpor adalah garam (85,6 juta dollar AS dengan
volume 1,85 miliar kg), minyak goreng (77,4 juta dollar AS dengan volume 84,7
juta kg), susu (772,4 juta dollar AS dengan volume 194,5 juta kg), bawang
merah (38,9 juta dollar AS dengan volume 81,3 juta kg), bawang putih (333,3
juta dollar AS dengan volume 404,2 juta kg), kelapa (868.209 dollar AS dengan
volume 835.941 kg), ubi kayu (38.380 dollar AS dengan volume 100.798 kg), dan
kelapa sawit (2,4 juta dollar AS dengan volume 3,25 juta kg).
Sungguh ini membuat miris. Penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa
adalah pasar potensial untuk industri pangan. Bangsa ini seharusnya bisa
menyediakan kebutuhan tersebut. Hal ini menjadi PR yang mendesak untuk
dikerjakan pemerintah. Jika tidak dapat dipenuhi, identitas Indonesia sebagai
negara agraris akan hilang.
Dengan konsep Jokowi memperbaiki irigasi dan waduk, dipastikan secara
bertahap akan mampu mengurangi volume impor sejumlah komoditas. Lebih jauh,
pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi akan membuat program nyata untuk
swasembada pangan dan meningkatkan keinginan anak muda tertarik menjadi
petani.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, tidak ada cara lain bahwa
pemerintah mendatang perlu membangun fasilitas penelitian dan pengembangan
(research and development/R&D) sektor pertanian di tiap-tiap
kabupaten/kota. Fasilitas ini sifatnya harus public service, bisa diakses
secara gratis.
Yang harus diingat, fasilitas R&D tersebut tidak boleh seragam.
Harus local specific, sesuai potensi daerah masing-masing. Misalnya, daerah penghasil
tebu, R&D harus terkait dengan teknologi pengembangan tebu. Untuk program
ini, dibutuhkan perencanaan nasional yang khusus, tenaga peneliti yang
disiapkan secara nasional, dan tentunya anggaran. Namun, untuk soal anggaran,
tidak semua dibebankan pada pemerintah pusat karena daerahlah yang menjadi
ujung tombak.
Secara bersamaan bisa juga memberdayakan pusat-pusat penyuluhan
pertanian yang sudah ada. Sekarang pusat penyuluhan pertanian itu tidak
berjalan, mangkrak. Ini bisa direvitalisasi untuk dijadikan R&D
pertanian.
Jika hal tersebut dapat dijalankan secara simultan, tentu jika Jokowi
terpilih menjadi presiden, importasi bahan pangan dapat ditekan. Ini juga
akan menghemat devisa negara. Yang lebih membanggakan produksi pangan akan
bertambah signifikan jumlahnya, dan ini akan membuka lapangan kerja. Semua
itu pada ujungnya akan makin menyejahterakan para petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar