Sabtu, 05 Juli 2014

Obor Harusnya Mencerahkan

                                   Obor Harusnya Mencerahkan

Serpulus Simamora  ;   Lulusan Pontifical Biblical Institute, Roma
KORAN JAKARTA,  03 Juli 2014
                                               


Listrik zaman sekarang sudah merata. Obor atau pelita tidak lagi penting. Kalaupun listrik padam, orang tidak lagi menyalakan pelita atau obor karena sudah tidak ada. Biasanya menyalakan lilin yang telah tersedia. Obor atau pelita kini hanya ada dalam film.

Meski begitu, keduanya sangat biasa dipakai dalam makna simbolis. Obor dan pelita menjadi lambang terang dan cahaya. Lebih jauh, mereka mendapat makna pencerah, penerang, atau penuntun. Makna simbolis itulah yang dikandung dalam institusi, misalnya penerbit buku atau nama sekolah atau lembaga lain. Nama yang mengandung kata-kata itu diharapkan menjadi pencerah, pemberi terang atau tangan yang menuntun bagi manusia.

Singkat kata, ketika obor atau pelita untuk sesuatu, maka makna umumnya selalu bersifat positif. Jarang arti positif digambarkan dengan obor atau pelita yang padam. Akan tetapi, dalam kenyataan, memang ada obor atau pelita yang menyala dan tidak menyala (padam). Nah, di sinilah muncul persoalan tafsir untuk mencapai makna.

Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilu Presiden 2014, muncul satu “obor” dalam bentuk media cetak, tabloid. Ini menyala atau mati? Dia membawa terang, cahaya, atau kecerahan? Jangan-jangan malah sebaliknya, dia membawa kegelapan dan kegulitaan.

Setiap karya literer, seperti buku atau media cetak, religius atau profan, selalu membawa pesan. Tidak ada orang menulis sesuatu tanpa maksud. Dalam media seharunya pesan selalu kebenaran, bukan kehobongan atau penipuan.

Dari sekian banyak definisi kebenaran yang paling umum dipahami, pemikiran sesuai dengan kenyataan atau realitas. Tapi di dalam kenyataan, mencari kebenaran jauh lebih sulit. Agar sampai pada kebenaran, orang harus berusaha sungguh-sungguh mencari kesesuaian pemikiran dengan kenyataan.

Tidak Sampai

Dalam proses inilah manusia kerap jatuh dan tidak sampai pada kebenaran, di antaranya karena terhalang di luar kapasitasnya (1), tidak sungguh-sungguh mencarinya (2), serta menyangkalnya (3). Kegagalan (1) belumlah kena pada persoalan etis karena di luar kapasitas seseorang.

Dalam kasus kedua dan ketiga, persoalan etis muncul dan menjadi pokok masalah secara etis karena lalai. Sedangkan pada kasus yang ketiga, persoalan etis semakin berat karena sengaja menyangkal, memanipulasi, atau membiaskan kenyataan.

Manusia harus kritis dalam mencari kebenaran (Yunani: krinein = menimbang, mengadili). Sikap kritis sama sekali tidak negatif, tapi diperlukan saat bertemu realitas. Manusia menimbang dan mengadili realitas di hadapannya. Itulah yang diungkapkan terminologi jurnalisme populer dengan prinsip mengupas dari kedua sisi (cover both sides). Sikap kritis selalu berkaitan dengan rasionalitas, bukan emosi.

Rasionalitas membiarkan kenyataan berbicara dari dalam diri, membuka kebenaran. Sebaliknya, emosionalitas cenderung menutupi, membelokkannya dari upaya membuka diri.

Dalam makna simbolis sebagai suluh, penuntun, pencerah dan penerang, obor bukan hanya tabloid. Semua media massa yang bertujuan menuntun dan mencerdaskan manusia adalah obor. Demikian juga figur-figur publik: politisi, rohaniwan, pengamat adalah obor bagi masyarakat. Media atau sosok menyesatkan tak dapat disebut obor.

Beberapa media massa akhir-akhir ini sungguh menyedihkan. Alih-alih mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat banyak, malahan jadi juru sesat. Media tak lagi seimbang (kritis), tapi telah menjadi alat politik.

Insan media tak lagi menjadi pribadi-pribadi merdeka dan memerdekakan. Mereka jatuh pada perangkap, bahkan penjara, karena terkooptasi. Memilih adalah salah satu hak paling asasi. Insan media tidak lagi bebas dan merdeka menentukan pilihan karena tergiring kebijakan korporasi.

Obor media massa bukan suluh yang mencerahkan dan mencerdaskan, melainkan api penyulut pertentangan dan perpecahan. Obor figur publik tak beda. Para tokoh politis, pemimpin agama, dan lainnya yang selama ini dianggap sebagai panutan dan penuntun, akhirnya juga tergiring kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kini, semakin sulit menemukan negarawan yang lebih mengutamakan dan mengemukakan kepentingan bangsa.

Maraknya perseteruan antarpribadi, kelompok, dalam partai politik mencerminkan kelabilan integritas politisi yang kerap memakai tameng dan topeng demokrasi. Mereka selalu berbicara bahwa berbeda pendapat itu lumrah dalam demokrasi. Tetapi bila dicermati lebih teliti, perbedaan pendapat lebih sering didorong motif emosional dan negatif ketimbang rasionalias. Pemihakan para tokoh publik pada calon tertentu amat mudah dibaca karena unsur sakit hati daripada rasionalitas kritis.

Bahkan tokoh akademis akhirnya jatuh pada polarisasi pemihakan tak kritis. Banyak pengamat atau analis telah terkooptasi kepentingan sponsor di belakangnya. Padahal, dunia akademis harus menjunjung tinggi rasionalitas dan kejujuran.

Seorang pengamat menganalisis debat dua calon presiden dari sudut ilmunya. Dia sedemikian yakin secara akademis dengan menilai negatif isi wacana capres yang satu dan sangat positif calon lain.

Ketika kata obor digunakan sebagai bagian dari nama, diharapkan mencerahkan dan mencerdaskan. Nomen est omen, kata orang Romawi. Nama adalah pertanda, alamat, harapan dan cita-cita. Tetapi, di negeri ini, nama kerap tinggal sebagai label saja. Kepura-puraan dan sifat hipokrit masih amat kental. Semua dapat dinamai bagus, tapi ternyata hanya kedok.

Tokoh politis, agama, dan publik lainnya sering berkoar-koar tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan pendidikan politis. Namun, dalam kenyataan, mereka sendiri merusak dan menghancurkannya. Seseorang yang disanjung sebagai tokoh reformasi pernyataannya mencederai reformasi.

Tokoh agama yang diharapkan menebar kedamaian dan keteduhan malah meniup bara api sentimen keagamaan. Mulut para elite berbuih-buih mengumbar politik bermartabat dan santun, mereka sendiri yang membabi buta.

Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, rakyat hendaknya memilih pemimpin secara bebas sesuai dengan hati nurani. Jangan biarkan dibuai dan disesatkan “obor-obor” palsu yang hanya mengejar kekuasaan. Ikutilah obor yang mencerahkan dan mencerdaskan karena politik berkaitan erat dengan kebenaran. Semoga bangsa memilih presiden dan wakil yang sanggup menjadi obor baik dan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar