Obor
Harusnya Mencerahkan
Serpulus Simamora ;
Lulusan Pontifical Biblical Institute, Roma
|
KORAN
JAKARTA, 03 Juli 2014
Listrik zaman sekarang sudah merata. Obor atau pelita tidak lagi
penting. Kalaupun listrik padam, orang tidak lagi menyalakan pelita atau obor
karena sudah tidak ada. Biasanya menyalakan lilin yang telah tersedia. Obor
atau pelita kini hanya ada dalam film.
Meski begitu, keduanya sangat biasa dipakai dalam makna simbolis. Obor
dan pelita menjadi lambang terang dan cahaya. Lebih jauh, mereka mendapat
makna pencerah, penerang, atau penuntun. Makna simbolis itulah yang dikandung
dalam institusi, misalnya penerbit buku atau nama sekolah atau lembaga lain.
Nama yang mengandung kata-kata itu diharapkan menjadi pencerah, pemberi
terang atau tangan yang menuntun bagi manusia.
Singkat kata, ketika obor atau pelita untuk sesuatu, maka makna umumnya
selalu bersifat positif. Jarang arti positif digambarkan dengan obor atau
pelita yang padam. Akan tetapi, dalam kenyataan, memang ada obor atau pelita
yang menyala dan tidak menyala (padam). Nah, di sinilah muncul persoalan
tafsir untuk mencapai makna.
Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilu Presiden 2014, muncul satu “obor”
dalam bentuk media cetak, tabloid. Ini menyala atau mati? Dia membawa terang,
cahaya, atau kecerahan? Jangan-jangan malah sebaliknya, dia membawa kegelapan
dan kegulitaan.
Setiap karya literer, seperti buku atau media cetak, religius atau
profan, selalu membawa pesan. Tidak ada orang menulis sesuatu tanpa maksud.
Dalam media seharunya pesan selalu kebenaran, bukan kehobongan atau penipuan.
Dari sekian banyak definisi kebenaran yang paling umum dipahami,
pemikiran sesuai dengan kenyataan atau realitas. Tapi di dalam kenyataan,
mencari kebenaran jauh lebih sulit. Agar sampai pada kebenaran, orang harus
berusaha sungguh-sungguh mencari kesesuaian pemikiran dengan kenyataan.
Tidak
Sampai
Dalam proses inilah manusia kerap jatuh dan tidak sampai pada
kebenaran, di antaranya karena terhalang di luar kapasitasnya (1), tidak
sungguh-sungguh mencarinya (2), serta menyangkalnya (3). Kegagalan (1)
belumlah kena pada persoalan etis karena di luar kapasitas seseorang.
Dalam kasus kedua dan ketiga, persoalan etis muncul dan menjadi pokok
masalah secara etis karena lalai. Sedangkan pada kasus yang ketiga, persoalan
etis semakin berat karena sengaja menyangkal, memanipulasi, atau membiaskan
kenyataan.
Manusia harus kritis dalam mencari kebenaran (Yunani: krinein = menimbang, mengadili). Sikap
kritis sama sekali tidak negatif, tapi diperlukan saat bertemu realitas.
Manusia menimbang dan mengadili realitas di hadapannya. Itulah yang
diungkapkan terminologi jurnalisme populer dengan prinsip mengupas dari kedua
sisi (cover both sides). Sikap
kritis selalu berkaitan dengan rasionalitas, bukan emosi.
Rasionalitas membiarkan kenyataan berbicara dari dalam diri, membuka
kebenaran. Sebaliknya, emosionalitas cenderung menutupi, membelokkannya dari
upaya membuka diri.
Dalam makna simbolis sebagai suluh, penuntun, pencerah dan penerang,
obor bukan hanya tabloid. Semua media massa yang bertujuan menuntun dan
mencerdaskan manusia adalah obor. Demikian juga figur-figur publik: politisi,
rohaniwan, pengamat adalah obor bagi masyarakat. Media atau sosok menyesatkan
tak dapat disebut obor.
Beberapa media massa akhir-akhir ini sungguh menyedihkan. Alih-alih
mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat banyak, malahan jadi juru sesat.
Media tak lagi seimbang (kritis), tapi telah menjadi alat politik.
Insan media tak lagi menjadi pribadi-pribadi merdeka dan memerdekakan.
Mereka jatuh pada perangkap, bahkan penjara, karena terkooptasi. Memilih
adalah salah satu hak paling asasi. Insan media tidak lagi bebas dan merdeka
menentukan pilihan karena tergiring kebijakan korporasi.
Obor media massa bukan suluh yang mencerahkan dan mencerdaskan,
melainkan api penyulut pertentangan dan perpecahan. Obor figur publik tak
beda. Para tokoh politis, pemimpin agama, dan lainnya yang selama ini
dianggap sebagai panutan dan penuntun, akhirnya juga tergiring kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu. Kini, semakin sulit menemukan negarawan yang
lebih mengutamakan dan mengemukakan kepentingan bangsa.
Maraknya perseteruan antarpribadi, kelompok, dalam partai politik
mencerminkan kelabilan integritas politisi yang kerap memakai tameng dan
topeng demokrasi. Mereka selalu berbicara bahwa berbeda pendapat itu lumrah
dalam demokrasi. Tetapi bila dicermati lebih teliti, perbedaan pendapat lebih
sering didorong motif emosional dan negatif ketimbang rasionalias. Pemihakan
para tokoh publik pada calon tertentu amat mudah dibaca karena unsur sakit
hati daripada rasionalitas kritis.
Bahkan tokoh akademis akhirnya jatuh pada polarisasi pemihakan tak
kritis. Banyak pengamat atau analis telah terkooptasi kepentingan sponsor di
belakangnya. Padahal, dunia akademis harus menjunjung tinggi rasionalitas dan
kejujuran.
Seorang pengamat menganalisis debat dua calon presiden dari sudut
ilmunya. Dia sedemikian yakin secara akademis dengan menilai negatif isi
wacana capres yang satu dan sangat positif calon lain.
Ketika kata obor digunakan sebagai bagian dari nama, diharapkan
mencerahkan dan mencerdaskan. Nomen est omen, kata orang Romawi. Nama adalah
pertanda, alamat, harapan dan cita-cita. Tetapi, di negeri ini, nama kerap
tinggal sebagai label saja. Kepura-puraan dan sifat hipokrit masih amat
kental. Semua dapat dinamai bagus, tapi ternyata hanya kedok.
Tokoh politis, agama, dan publik lainnya sering berkoar-koar tentang
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan pendidikan politis. Namun, dalam
kenyataan, mereka sendiri merusak dan menghancurkannya. Seseorang yang
disanjung sebagai tokoh reformasi pernyataannya mencederai reformasi.
Tokoh agama yang diharapkan menebar kedamaian dan keteduhan malah
meniup bara api sentimen keagamaan. Mulut para elite berbuih-buih mengumbar
politik bermartabat dan santun, mereka sendiri yang membabi buta.
Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, rakyat hendaknya memilih
pemimpin secara bebas sesuai dengan hati nurani. Jangan biarkan dibuai dan
disesatkan “obor-obor” palsu yang hanya mengejar kekuasaan. Ikutilah obor
yang mencerahkan dan mencerdaskan karena politik berkaitan erat dengan
kebenaran. Semoga bangsa memilih presiden dan wakil yang sanggup menjadi obor
baik dan benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar