Sabtu, 05 Juli 2014

Menjual Kreativitas

                                                 Menjual Kreativitas

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya dan Seni
KORAN TEMPO,  03 Juli 2014
                                                


Dalam debat calon presiden edisi 15 Juni, juga dalam dialog ekonomi dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada 20 Juni lalu, Prabowo Subianto dan Joko Widodo bersepakat bahwa sektor ekonomi kreatif harus dikembangkan. Tekad pengembangan ini diyakini karena hitung-hitungan betapa sektor ini menjanjikan buah ekonomi yang amat besar.

Kesepakatan di atas panggung itu tentulah diharapkan terwujud dalam realitas sosial, siapa pun presiden yang akan terpilih nanti. Dan perwujudan itu dimulai dari kebijakan politik yang secara resmi digariskan, sehingga menjadi agenda politik-ekonomi yang tak pernah putus.

Hasrat mengembangkan sektor ekonomi kreatif pastilah membesarkan hati, walau niat ini sesungguhnya amat terlambat sehingga Kementerian Ekonomi Kreatif baru didirikan beberapa tahun lalu. Itu pun digabungkan dengan bidang pariwisata.

Belum pernah ada data statistik yang menghitung jumlah pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Namun sejumlah pengamat mengakumulasi bahwa Indonesia saat ini memiliki tak kurang dari 80 ribu pelaku ekonomi kreatif profesional (perajin ukir sampai batik, desainer, penari, pemain sandiwara, pemusik, perupa, sastrawan, penata panggung, arsitek, fotografer, hingga animator). Para pelaku ini didukung oleh ratusan ribu pekerja yang sibuk di belakangnya. Namun, selama puluhan tahun hidup di Indonesia merdeka, para kreator itu bekerja mandiri. Berkarya dalam sepi, berpentas sendiri, membuat pameran sendiri, berpromosi sendiri, hingga mencari pembeli dan penonton sendiri. Ironisnya, beriringan dengan itu, negara tiba-tiba masuk: untuk menyensor atau memungut pajak!

Ke depan, bersama Presiden yang baru, Indonesia harus memberdayakan potensi ekonomi-kreatif lewat berbagai dorongan. Model upaya pemberdayaan sejumlah negara berikut ini mungkin bisa jadi stimulan. Belanda, sejak 1936, membuat ketetapan bahwa Kementerian Perumahan dan Perencanaan Fisik serta Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan harus menyisihkan 1-1,5 persen anggaran untuk pembelian karya kreatif. Perhatian ini mendorong masyarakat domestik dan internasional untuk memandang karya kreatif Belanda sebagai komoditas penting. Kebijakan yang sejalan juga dilakukan oleh Prancis, Jerman, Kanada, Jepang, apalagi Korea Selatan.

Di Amerika, penyediaan anggaran untuk karya kreatif menunjukkan angka spektakuler pada dekade terakhir. Anggaran itu untuk menghidupkan sekitar 600 sekolah seni serta lebih dari 700 rumah karya kreatif (museum, gedung teater, konservatori, dan lain-lain). Hal itu juga untuk memberi rangsangan bagi lebih dari sejuta seniman amatir. Kebijakan politik ini mengarahkan minat masyarakat, sehingga rumah karya kreatif, yang diekonomisasi lewat tiket, dijejali lebih dari 100 juta penonton setiap tahun.

Sejak memasuki era kapitalisme-sosialis pada 1990-an, jagad ekonomi kreatif Cina sungguh mengguncangkan. Pemerintah membina sektor industri budaya sampai ke tingkat kota, distrik, dan desa. Jutaan kreator bekerja giat. Ratusan ahli seni dari luar negeri didatangkan untuk mengajarkan teknologi panggung sampai teknik berseni visual yang baru. Ujung dari itu adalah usaha pemerintah dalam membuka pasar. Hasilnya, kini Cina menjadi maharaja ekonomi-kreatif tiada tara!

Indonesia adalah lumbung besar pelaku ekonomi kreatif. Namun, apabila komitmen para capres cuma retorika, lumbung itu akan menjadi dongeng sebelum tidur belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar