Menjual
Kreativitas
Agus Dermawan T ;
Pengamat Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 03 Juli 2014
Dalam debat calon presiden edisi 15 Juni, juga dalam dialog ekonomi
dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada 20 Juni lalu, Prabowo
Subianto dan Joko Widodo bersepakat bahwa sektor ekonomi kreatif harus
dikembangkan. Tekad pengembangan ini diyakini karena hitung-hitungan betapa
sektor ini menjanjikan buah ekonomi yang amat besar.
Kesepakatan di atas panggung itu tentulah diharapkan terwujud dalam
realitas sosial, siapa pun presiden yang akan terpilih nanti. Dan perwujudan
itu dimulai dari kebijakan politik yang secara resmi digariskan, sehingga
menjadi agenda politik-ekonomi yang tak pernah putus.
Hasrat mengembangkan sektor ekonomi kreatif pastilah membesarkan hati,
walau niat ini sesungguhnya amat terlambat sehingga Kementerian Ekonomi
Kreatif baru didirikan beberapa tahun lalu. Itu pun digabungkan dengan bidang
pariwisata.
Belum pernah ada data statistik yang menghitung jumlah pelaku ekonomi
kreatif di Indonesia. Namun sejumlah pengamat mengakumulasi bahwa Indonesia
saat ini memiliki tak kurang dari 80 ribu pelaku ekonomi kreatif profesional
(perajin ukir sampai batik, desainer, penari, pemain sandiwara, pemusik,
perupa, sastrawan, penata panggung, arsitek, fotografer, hingga animator).
Para pelaku ini didukung oleh ratusan ribu pekerja yang sibuk di belakangnya.
Namun, selama puluhan tahun hidup di Indonesia merdeka, para kreator itu
bekerja mandiri. Berkarya dalam sepi, berpentas sendiri, membuat pameran
sendiri, berpromosi sendiri, hingga mencari pembeli dan penonton sendiri.
Ironisnya, beriringan dengan itu, negara tiba-tiba masuk: untuk menyensor
atau memungut pajak!
Ke depan, bersama Presiden yang baru, Indonesia harus memberdayakan
potensi ekonomi-kreatif lewat berbagai dorongan. Model upaya pemberdayaan
sejumlah negara berikut ini mungkin bisa jadi stimulan. Belanda, sejak 1936,
membuat ketetapan bahwa Kementerian Perumahan dan Perencanaan Fisik serta
Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan harus menyisihkan 1-1,5 persen
anggaran untuk pembelian karya kreatif. Perhatian ini mendorong masyarakat
domestik dan internasional untuk memandang karya kreatif Belanda sebagai komoditas
penting. Kebijakan yang sejalan juga dilakukan oleh Prancis, Jerman, Kanada,
Jepang, apalagi Korea Selatan.
Di Amerika, penyediaan anggaran untuk karya kreatif menunjukkan angka
spektakuler pada dekade terakhir. Anggaran itu untuk menghidupkan sekitar 600
sekolah seni serta lebih dari 700 rumah karya kreatif (museum, gedung teater,
konservatori, dan lain-lain). Hal itu juga untuk memberi rangsangan bagi
lebih dari sejuta seniman amatir. Kebijakan politik ini mengarahkan minat
masyarakat, sehingga rumah karya kreatif, yang diekonomisasi lewat tiket,
dijejali lebih dari 100 juta penonton setiap tahun.
Sejak memasuki era kapitalisme-sosialis pada 1990-an, jagad ekonomi
kreatif Cina sungguh mengguncangkan. Pemerintah membina sektor industri
budaya sampai ke tingkat kota, distrik, dan desa. Jutaan kreator bekerja
giat. Ratusan ahli seni dari luar negeri didatangkan untuk mengajarkan
teknologi panggung sampai teknik berseni visual yang baru. Ujung dari itu
adalah usaha pemerintah dalam membuka pasar. Hasilnya, kini Cina menjadi
maharaja ekonomi-kreatif tiada tara!
Indonesia adalah lumbung besar pelaku ekonomi kreatif. Namun, apabila
komitmen para capres cuma retorika, lumbung itu akan menjadi dongeng sebelum
tidur belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar