Selasa, 08 Juli 2014

Paradoks Cukai Rokok

                                            Paradoks Cukai Rokok

Kartono Mohamad  ;   Mantan Ketua PB IDI
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


PASAL 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyebutkan, barang-barang yang pemakaiannya dapat berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi, dikenakan cukai.

Rokok dikenai cukai. Berarti rokok termasuk barang yang konsumsinya dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi demi kesehatan konsumen dan masyarakat sekitarnya.

Seharusnya dalam semangat itu pemerintah mengatur cukai rokok, yaitu untuk mengendalikan konsumsi demi melindungi dampak negatif pada pemakainya. Apalagi, dampak buruk rokok bukan hanya pada pemakainya, melainkan juga terhadap orang-orang di sekitarnya.

Di sisi lain, industri rokok cenderung menolak keinginan pemerintah meningkatkan pendapatan dari cukai melalui pengendalian penaikan tarif. Hal itu dapat menurunkan minat perokok pemula untuk membeli rokok. Untuk perokok yang sudah ketagihan dan punya uang, berapa pun harga rokok akan dia beli.

Asumsi saya, pemerintah akan memihak kepada rakyat: melindungi rakyat dari bahaya asap rokok dan memilih mengendalikan konsumsi. Ternyata asumsi saya keliru.

Simak sikap pemerintah dalam upaya menaikkan pendapatan negara dari cukai rokok, seperti yang diberitakan Kompas edisi 9 Juni 2014: ”Pencapaian target (cukai rokok) diharapkan dari peningkatan volume produksi,” kata Susiwijono, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea Cukai. Dapat dipahami karena makin banyak rokok dikonsumsi masyarakat, makin besar penerimaan dari cukai. Sebab, merekalah yang sebenarnya membayar cukai, bukan pabrik rokok.

Pada 2013, produksi rokok mencapai 341 miliar batang dan diharapkan pada 2014 mencapai 360 miliar batang. Supaya target cukai tercapai, semua itu harus terjual.

Artinya, masyarakat didorong semakin banyak merokok. Produksi 360 miliar batang rokok itu untuk 240 juta penduduk Indonesia. Berarti satu mulut orang Indonesia—dari bayi sampai kakek-kakek—disiapkan 1.500 batang rokok per tahun untuk dibakar. Kalau jumlah batang per orang tidak dapat ditingkatkan karena sudah jenuh, yang ditingkatkan jumlah perokok baru, terutama remaja dan anak-anak.

Supaya hal itu tercapai, tentunya pemerintah harus memberi kemudahan supaya remaja dan anak-anak yang merokok jumlahnya meningkat. Apakah kerugian akibat dampak buruk rokok juga meningkat, bukan urusan pemerintah. Kalau sakit, yang membayar juga perokok itu sendiri. Pemerintah tidak merasa mengeluarkan uang meskipun akibat sakit itu produktivitas rakyat menurun.

Dari kebijakan ini jelas bahwa pemerintah lebih berpihak kepada industri rokok daripada melindungi rakyat dari dampak buruk rokok. Bahwa itu bertentangan dengan UU Cukai tadi, tidak perlu dirisaukan, toh, banyak rakyat yang tidak tahu.

Cara lain

Kalau benar pemerintah ingin melindungi rakyat dari dampak buruk rokok, tetapi juga pendapatan dari cukai rokok meningkat, naikkan saja tarif cukainya, bukan jumlah produksinya. Dengan tarif cukai naik, harga rokok memang akan naik dan mungkin konsumsi rokok di kalangan miskin dan anak-anak akan menurun.

Dengan sekali dayung, dua tujuan tercapai: meningkatkan pendapatan negara dari cukai rokok sekaligus melindungi orang miskin dan anak-anak dari dampak buruk rokok. Untuk yang mampu, kenaikan harga rokok tidak akan mengurangi konsumsinya karena sudah ketagihan.

Kemungkinan dalih yang dipa kai pemerintah adalah bahwa menaikkan cukai secara drastis akan memicu inflasi. Padahal, jika peningkatan harga cukup tinggi dan penjualan ”batangan (ketengan)” dilarang, para perokok miskin dan remaja mungkin akan menggunakan uang yang semula untuk membeli rokok ke hal yang lebih positif.

Berkurangnya penyakit yang terkait rokok juga akan menurun, yang berarti menghemat dana pengobatan. Selain itu, pemerintah juga jelas memperoleh dana cukai yang lebih besar lagi.

Dalih lain yang mungkin dipakai adalah batas maksimum cukai rokok yang hanya 57 persen menurut UU Cukai. Di sini tampak keganjilan. Alkohol yang hanya berbahaya bagi pemakainya dikenai cukai 80 persen, sementara rokok yang juga berbahaya bagi orang lain dikenai cukai maksimum hanya 57 persen. Kemungkinan besar industri rokok bermain di kalangan parlemen.

Dalih ketiga adalah pemerintah takut penaikan cukai secara drastis akan bertentangan dengan kepentingan industri rokok. Jika benar, jelas bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal daripada melindungi rakyat seperti yang diamanatkan UU Cukai, bahkan UUD 1945.

Pemerintah lebih senang makin banyak rakyat yang kecanduan dan keracunan rokok demi keuntungan pemilik pabrik rokok. Barangkali di dunia baru ini ada pemerintah yang lebih senang mengorbankan rakyatnya demi pemilik modal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar