Paradoks
Cukai Rokok
Kartono Mohamad ;
Mantan Ketua PB IDI
|
KOMPAS,
07 Juli 2014
PASAL 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyebutkan,
barang-barang yang pemakaiannya dapat berdampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup, konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu
diawasi, dikenakan cukai.
Rokok dikenai cukai. Berarti rokok termasuk barang yang konsumsinya
dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi demi kesehatan konsumen dan
masyarakat sekitarnya.
Seharusnya dalam semangat itu pemerintah mengatur cukai rokok, yaitu
untuk mengendalikan konsumsi demi melindungi dampak negatif pada pemakainya.
Apalagi, dampak buruk rokok bukan hanya pada pemakainya, melainkan juga
terhadap orang-orang di sekitarnya.
Di sisi lain, industri rokok cenderung menolak keinginan pemerintah
meningkatkan pendapatan dari cukai melalui pengendalian penaikan tarif. Hal
itu dapat menurunkan minat perokok pemula untuk membeli rokok. Untuk perokok
yang sudah ketagihan dan punya uang, berapa pun harga rokok akan dia beli.
Asumsi saya, pemerintah akan memihak kepada rakyat: melindungi rakyat
dari bahaya asap rokok dan memilih mengendalikan konsumsi. Ternyata asumsi
saya keliru.
Simak sikap pemerintah dalam upaya menaikkan pendapatan negara dari
cukai rokok, seperti yang diberitakan Kompas edisi 9 Juni 2014: ”Pencapaian
target (cukai rokok) diharapkan dari peningkatan volume produksi,” kata
Susiwijono, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Ditjen
Bea Cukai. Dapat dipahami karena makin banyak rokok dikonsumsi masyarakat,
makin besar penerimaan dari cukai. Sebab, merekalah yang sebenarnya membayar
cukai, bukan pabrik rokok.
Pada 2013, produksi rokok mencapai 341 miliar batang dan diharapkan
pada 2014 mencapai 360 miliar batang. Supaya target cukai tercapai, semua itu
harus terjual.
Artinya, masyarakat didorong semakin banyak merokok. Produksi 360
miliar batang rokok itu untuk 240 juta penduduk Indonesia. Berarti satu mulut
orang Indonesia—dari bayi sampai kakek-kakek—disiapkan 1.500 batang rokok per
tahun untuk dibakar. Kalau jumlah batang per orang tidak dapat ditingkatkan
karena sudah jenuh, yang ditingkatkan jumlah perokok baru, terutama remaja
dan anak-anak.
Supaya hal itu tercapai, tentunya pemerintah harus memberi kemudahan
supaya remaja dan anak-anak yang merokok jumlahnya meningkat. Apakah kerugian
akibat dampak buruk rokok juga meningkat, bukan urusan pemerintah. Kalau
sakit, yang membayar juga perokok itu sendiri. Pemerintah tidak merasa
mengeluarkan uang meskipun akibat sakit itu produktivitas rakyat menurun.
Dari kebijakan ini jelas bahwa pemerintah lebih berpihak kepada
industri rokok daripada melindungi rakyat dari dampak buruk rokok. Bahwa itu
bertentangan dengan UU Cukai tadi, tidak perlu dirisaukan, toh, banyak rakyat
yang tidak tahu.
Cara
lain
Kalau benar pemerintah ingin melindungi rakyat dari dampak buruk rokok,
tetapi juga pendapatan dari cukai rokok meningkat, naikkan saja tarif cukainya,
bukan jumlah produksinya. Dengan tarif cukai naik, harga rokok memang akan
naik dan mungkin konsumsi rokok di kalangan miskin dan anak-anak akan
menurun.
Dengan sekali dayung, dua tujuan tercapai: meningkatkan pendapatan
negara dari cukai rokok sekaligus melindungi orang miskin dan anak-anak dari
dampak buruk rokok. Untuk yang mampu, kenaikan harga rokok tidak akan
mengurangi konsumsinya karena sudah ketagihan.
Kemungkinan dalih yang dipa kai pemerintah adalah bahwa menaikkan cukai
secara drastis akan memicu inflasi. Padahal, jika peningkatan harga cukup
tinggi dan penjualan ”batangan (ketengan)” dilarang, para perokok miskin dan
remaja mungkin akan menggunakan uang yang semula untuk membeli rokok ke hal
yang lebih positif.
Berkurangnya penyakit yang terkait rokok juga akan menurun, yang
berarti menghemat dana pengobatan. Selain itu, pemerintah juga jelas
memperoleh dana cukai yang lebih besar lagi.
Dalih lain yang mungkin dipakai adalah batas maksimum cukai rokok yang
hanya 57 persen menurut UU Cukai. Di sini tampak keganjilan. Alkohol yang
hanya berbahaya bagi pemakainya dikenai cukai 80 persen, sementara rokok yang
juga berbahaya bagi orang lain dikenai cukai maksimum hanya 57 persen.
Kemungkinan besar industri rokok bermain di kalangan parlemen.
Dalih ketiga adalah pemerintah takut penaikan cukai secara drastis akan
bertentangan dengan kepentingan industri rokok. Jika benar, jelas bahwa
pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal daripada melindungi
rakyat seperti yang diamanatkan UU Cukai, bahkan UUD 1945.
Pemerintah lebih senang makin banyak rakyat yang kecanduan dan
keracunan rokok demi keuntungan pemilik pabrik rokok. Barangkali di dunia
baru ini ada pemerintah yang lebih senang mengorbankan rakyatnya demi pemilik
modal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar