Tantangan
Politik Anggaran
Yuna Farhan ;
Mahasiswa PhD University of Sydney, Peneliti Senior Fitra
|
KOMPAS,
07 Juli 2014
SEBAGAI instrumen politik dan ekonomi, anggaran negara memiliki peran
besar untuk menilai arah keberpihakan suatu rezim. Pergantian rezim yang akan
berlangsung dalam hitungan hari merupakan waktu yang tepat untuk
mengidentifikasi apa saja warisan politik anggaran pemerintah sebelumnya dan
sejauh mana visi-misi pasangan capres-cawapres yang berkontestasi menyikapi
warisan itu.
Warisan
SBY
Setidaknya politik anggaran suatu rezim dapat dilihat dari hasil
kinerja, substansi kebijakan, dan institusional. Dari segi kinerja ekonomi,
banyak kalangan menilai pemerintahan SBY cukup berhasil. Meskipun target
pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY berada di bawah janji kampanyenya, yakni
7 persen, pemerintah cukup berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6
persen, di tengah ketidakpastian atau melambatnya perekonomian dunia.
Meskipun demikian, kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut bisa dikatakan
cukup rendah, dengan indeks rasio gini sebagai indikator yang mengukur
kesenjangan pendapatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, saat SBY pertama kali
menjabat, indeks gini rasio berada pada angka 0,36 dan meningkat menjadi 0,41
pada tahun 2013.
Tidak hanya berpengaruh dalam performa ekonomi, besarnya kesenjangan
kesejahteraan juga berimplikasi pada kesenjangan politik yang menjadi lahan
subur bagi mengguritanya oligarki. Winters (2013) mencatat kekayaan 40 orang
terkaya di Indonesia setara 10 persen PDB, di mana kaum oligarki ini membajak
demokrasi prosedural untuk mempertahankan dan memperbesar kekayaan mereka
dengan jalan membeli atau mendirikan partai politik, media, dan juga
mengucurkan uang dalam kontestasi politik.
Menguatnya oligarki ini juga dirangsang oleh kebijakan perpajakan yang
tak berkeadilan. Kajian Prakarsa dan Infid (2014) menyebutkan tarif pajak
tertinggi hanya 30 persen untuk kelompok berpendapatan di atas Rp 500 juta
per tahun, tak membedakan dengan pendapatan orang-orang superkaya dengan
penghasilan di atas Rp 10 miliar per tahun.
Dari sisi kebijakan anggaran, selain masih rendahnya rasio pajak,
presiden mendatang juga akan dihadapi dengan ruang fiskal yang terbatas.
Artinya, siapa pun presiden terpilih, tanpa adanya upaya meningkatkan rasio
pajak dan pengurangan belanja wajib, mereka
hanya memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan
prioritas programnya kurang dari 30 persen anggaran negara.
Selain itu, dari sisi pembiayaan, meskipun rasio utang terhadap PDB
mengalami penurunan, untuk pertama
kalinya pada tahun 2012, anggaran mengalami negatif keseimbangan primer, di
mana pendapatan tidak mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang.
Artinya, untuk membayar bunga utang memerlukan pokok utang baru.
Sementara pada aspek institusional, perlu diapresiasi komitmen SBY
terhadap keterbukaan informasi anggaran, yang ditandai dengan meningkatnya
skor indeks keterbukaan anggaran Indonesia (Open Budget Index) yang dikeluarkan oleh International Budget
Partnership (2012) dari 42 pada tahun 2006 menjadi 62 pada tahun 2012, bahkan
tertinggi di Asia Tenggara. Meskipun demikian, transparansi anggaran ini
belum diikuti dengan menguatnya akuntabilitas anggaran. Tercatat, selama masa
pemerintahan SBY, terdapat 48 anggota DPR dan 2 menteri aktif terjerat kasus
korupsi.
Visi-misi
politik anggaran capres
Suka atau tidak suka, realitas politik saat ini, kedua pasangan capres
dan cawapres tersandera oleh oligarki, di tengah mahalnya ongkos kontestasi.
Boleh jadi, kaum oligarki ini akan menagih ongkos konstestasi pasangan
terpilih dengan kembali memeras anggaran negara. Sayangnya, ketimpangan sumber daya material sebagai
media suburnya oligarki belum mendapatkan perhatian serius dari kedua pasang
capres-cawapres.
Memang pasangan Prabowo-Hatta secara khusus mematok target mengurangi
indeks gini menuju 0,31. Sayangnya target ini terlalu ambisius dan tidak
mungkin dicapai dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan. Berdasarkan data
OECD, negara yang mampu menurunkan indeks gini, Yunani dan Turki, selama
kurun waktu 12 tahun (1995-2008), masing-masing hanya mampu menurunkan 0,03
(dari 0,34 ke 0,31) dan 0,08 (dari 0,49 ke 0,41).
Sementara pasangan Jokowi-JK tidak menetapkan target khusus untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Namun, pasangan ini mencoba menutup
pintu masuk penyanderaan oligarki melalui program pendanaan partai politik
dan kampanye. Pasangan ini juga tengah mencoba penggalangan dana publik untuk
kampanye sebagai upaya mengeliminasi utang kontestasi pada saat berkuasa.
Terkait kebijakan fiskal, kedua
pasang capres-cawapres berani mematok target peningkatan rasio pajak 16
persen dari PDB. Namun, perubahan tarif
pajak yang berkeadilan sebagai sumber
ketimpangan tidak disinggung oleh
kedua pasangan.
Dari sisi kebijakan anggaran, Prabowo-Hatta menjanjikan belanja sebagai
instrumen pemerataan. Meski tak disinggung soal keterbatasan ruang fiskal dan
cenderung normatif, pasangan ini memiliki kebijakan untuk melakukan efisiensi
belanja, meminimalkan kebocoran anggaran, mengurangi subsidi. Selain itu,
kebijakan itu juga cenderung kontradiktif dan sekadar menarik simpati publik,
seperti kenaikan tunjangan profesi guru, merekrut guru, dan menaikkan gaji
yang berkonsekuensi menggerus ruang fiskal.
Pasangan nomor urut satu ini
menargetkan peningkatan belanja negara cukup ambisius hingga Rp 3.400 triliun atau setara dengan
proporsi peningkatan belanja masa pemerintahan SBY selama dua periode.
Prabowo-Hatta juga menargetkan menurunkan defisit anggaran hingga 1 persen
dan utang luar negeri baru menjadi nol pada 2019. Sayangnya, terlepas dari
keterbatasan ruang, target-target fantastis ini tak disertai dengan kebijakan
apa yang akan ditempuh mencapai target tersebut.
Sementara kebijakan anggaran pasangan nomor urut dua memang secara
spesifik memiliki program penguatan kapasitas fiskal disertai dengan
penjabaran kebijakan yang lebih terinci. Namun, program prioritas ini belum
disertai target-target yang lebih terukur. Arah politik anggaran pasangan ini
cukup jelas menitikberatkan kebijakan pada penguatan daerah sebagai ujung
tombak pelayanan publik melalui instrumen desentralisasi fiskal yang bersifat
asimetris sesuai kebutuhan daerah. Kebijakan ini dapat dikatakan merupakan
terobosan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan antardaerah.
Dari sisi institusional, khususnya transparansi anggaran, meskipun
secara khusus tidak secara eksplisit memasukkan isu transparansi anggaran,
pasangan Jokowi-JK memiliki tujuh prioritas program terkait keterbukaan
informasi publik, dan juga menjamin
adanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
Sementara Prabowo-Hatta tidak memiliki program khusus untuk isu
institusional terkait peran serta masyarakat dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Terakhir, di luar dari visi-misi kedua pasang capres-cawapres,
implikasi politik anggaran ke depan juga dapat dibedah dari ukuran dan
fragmentasi koalisi partai politik yang mengusung, di mana semakin besar
fragmentasi koalisi partai pendukung berkonsekuensi semakin besar belanja
negara yang terfragmentasi dan berakibat pada defisit (Wehner, 2010).
Pengalaman masa pemerintahan SBY, belanja cenderung meningkat setelah
dibahas DPR, khususnya pada kementerian-kementerian yang diduduki oleh partai
politik koalisi pendukung. Namun, hal ini bisa diantisipasi jika presiden
terpilih berani membentuk kabinet kerja, bukan sekadar bagi-bagi kursi
kekuasaan dan melubrikasi kepentingan oligarki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar