Selasa, 08 Juli 2014

Tantangan Politik Anggaran

                                     Tantangan Politik Anggaran

Yuna Farhan  ;   Mahasiswa PhD University of Sydney, Peneliti Senior Fitra
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


SEBAGAI instrumen politik dan ekonomi, anggaran negara memiliki peran besar untuk menilai arah keberpihakan suatu rezim. Pergantian rezim yang akan berlangsung dalam hitungan hari merupakan waktu yang tepat untuk mengidentifikasi apa saja warisan politik anggaran pemerintah sebelumnya dan sejauh mana visi-misi pasangan capres-cawapres yang berkontestasi menyikapi warisan itu.

Warisan SBY

Setidaknya politik anggaran suatu rezim dapat dilihat dari hasil kinerja, substansi kebijakan, dan institusional. Dari segi kinerja ekonomi, banyak kalangan menilai pemerintahan SBY cukup berhasil. Meskipun target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY berada di bawah janji kampanyenya, yakni 7 persen, pemerintah cukup berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, di tengah ketidakpastian atau melambatnya perekonomian dunia.

Meskipun demikian, kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut bisa dikatakan cukup rendah, dengan indeks rasio gini sebagai indikator yang mengukur kesenjangan pendapatan terus mengalami peningkatan.  Pada tahun 2005, saat SBY pertama kali menjabat, indeks gini rasio berada pada angka 0,36 dan meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2013.

Tidak hanya berpengaruh dalam performa ekonomi, besarnya kesenjangan kesejahteraan juga berimplikasi pada kesenjangan politik yang menjadi lahan subur bagi mengguritanya oligarki. Winters (2013) mencatat kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara 10 persen PDB, di mana kaum oligarki ini membajak demokrasi prosedural untuk mempertahankan dan memperbesar kekayaan mereka dengan jalan membeli atau mendirikan partai politik, media, dan juga mengucurkan uang dalam kontestasi politik.

Menguatnya oligarki ini juga dirangsang oleh kebijakan perpajakan yang tak berkeadilan. Kajian Prakarsa dan Infid (2014) menyebutkan tarif pajak tertinggi hanya 30 persen untuk kelompok berpendapatan di atas Rp 500 juta per tahun, tak membedakan dengan pendapatan orang-orang superkaya dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar per tahun.

Dari sisi kebijakan anggaran, selain masih rendahnya rasio pajak, presiden mendatang juga akan dihadapi dengan ruang fiskal yang terbatas. Artinya, siapa pun presiden terpilih, tanpa adanya upaya meningkatkan rasio pajak dan pengurangan belanja wajib, mereka  hanya memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan prioritas programnya kurang dari 30 persen anggaran negara.

Selain itu, dari sisi pembiayaan, meskipun rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan,  untuk pertama kalinya pada tahun 2012, anggaran mengalami negatif keseimbangan primer, di mana pendapatan tidak mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang memerlukan pokok utang baru.

Sementara pada aspek institusional, perlu diapresiasi komitmen SBY terhadap keterbukaan informasi anggaran, yang ditandai dengan meningkatnya skor indeks keterbukaan anggaran Indonesia (Open Budget Index) yang dikeluarkan oleh International Budget Partnership (2012) dari 42 pada tahun 2006 menjadi 62 pada tahun 2012, bahkan tertinggi di Asia Tenggara. Meskipun demikian, transparansi anggaran ini belum diikuti dengan menguatnya akuntabilitas anggaran. Tercatat, selama masa pemerintahan SBY, terdapat 48 anggota DPR dan 2 menteri aktif terjerat kasus korupsi.

Visi-misi politik anggaran capres

Suka atau tidak suka, realitas politik saat ini, kedua pasangan capres dan cawapres tersandera oleh oligarki, di tengah mahalnya ongkos kontestasi. Boleh jadi, kaum oligarki ini akan menagih ongkos konstestasi pasangan terpilih dengan kembali memeras anggaran negara. Sayangnya,  ketimpangan sumber daya material sebagai media suburnya oligarki belum mendapatkan perhatian serius dari kedua pasang capres-cawapres.

Memang pasangan Prabowo-Hatta secara khusus mematok target mengurangi indeks gini menuju 0,31. Sayangnya target ini terlalu ambisius dan tidak mungkin dicapai dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan. Berdasarkan data OECD, negara yang mampu menurunkan indeks gini, Yunani dan Turki, selama kurun waktu 12 tahun (1995-2008), masing-masing hanya mampu menurunkan 0,03 (dari 0,34 ke 0,31) dan 0,08 (dari 0,49 ke 0,41).

Sementara pasangan Jokowi-JK tidak menetapkan target khusus untuk mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Namun, pasangan ini mencoba menutup pintu masuk penyanderaan oligarki melalui program pendanaan partai politik dan kampanye. Pasangan ini juga tengah mencoba penggalangan dana publik untuk kampanye sebagai upaya mengeliminasi utang kontestasi pada saat berkuasa.

Terkait kebijakan fiskal,  kedua pasang capres-cawapres berani mematok target peningkatan rasio pajak 16 persen  dari PDB. Namun, perubahan tarif pajak  yang berkeadilan sebagai sumber ketimpangan  tidak disinggung oleh kedua pasangan.

Dari sisi kebijakan anggaran, Prabowo-Hatta menjanjikan belanja sebagai instrumen pemerataan. Meski tak disinggung soal keterbatasan ruang fiskal dan cenderung normatif, pasangan ini memiliki kebijakan untuk melakukan efisiensi belanja, meminimalkan kebocoran anggaran, mengurangi subsidi. Selain itu, kebijakan itu juga cenderung kontradiktif dan sekadar menarik simpati publik, seperti kenaikan tunjangan profesi guru, merekrut guru, dan menaikkan gaji yang berkonsekuensi menggerus ruang fiskal.

Pasangan nomor urut satu ini  menargetkan peningkatan belanja negara cukup ambisius hingga  Rp 3.400 triliun atau setara dengan proporsi peningkatan belanja masa pemerintahan SBY selama dua periode. Prabowo-Hatta juga menargetkan menurunkan defisit anggaran hingga 1 persen dan utang luar negeri baru menjadi nol pada 2019. Sayangnya, terlepas dari keterbatasan ruang, target-target fantastis ini tak disertai dengan kebijakan apa yang akan ditempuh mencapai target tersebut.

Sementara kebijakan anggaran pasangan nomor urut dua memang secara spesifik memiliki program penguatan kapasitas fiskal disertai dengan penjabaran kebijakan yang lebih terinci. Namun, program prioritas ini belum disertai target-target yang lebih terukur. Arah politik anggaran pasangan ini cukup jelas menitikberatkan kebijakan pada penguatan daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik melalui instrumen desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris sesuai kebutuhan daerah. Kebijakan ini dapat dikatakan merupakan terobosan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan antardaerah.

Dari sisi institusional, khususnya transparansi anggaran, meskipun secara khusus tidak secara eksplisit memasukkan isu transparansi anggaran, pasangan Jokowi-JK memiliki tujuh prioritas program terkait keterbukaan informasi publik,  dan juga menjamin adanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Sementara Prabowo-Hatta tidak memiliki program khusus untuk isu institusional terkait peran serta masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Terakhir, di luar dari visi-misi kedua pasang capres-cawapres, implikasi politik anggaran ke depan juga dapat dibedah dari ukuran dan fragmentasi koalisi partai politik yang mengusung, di mana semakin besar fragmentasi koalisi partai pendukung berkonsekuensi semakin besar belanja negara yang terfragmentasi dan berakibat pada defisit (Wehner, 2010).

Pengalaman masa pemerintahan SBY, belanja cenderung meningkat setelah dibahas DPR, khususnya pada kementerian-kementerian yang diduduki oleh partai politik koalisi pendukung. Namun, hal ini bisa diantisipasi jika presiden terpilih berani membentuk kabinet kerja, bukan sekadar bagi-bagi kursi kekuasaan dan melubrikasi kepentingan oligarki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar