Intelektual
dan Kerentanan
Teuku Kemal Fasya ;
Dosen di Universitas Malikussaleh dan Pekerja Sosial
|
KOMPAS,
07 Juli 2014
SULIT mencari satu definisi makhluk apa itu intelektual.
Intelektualisme dan intelektual hanya bisa dipahami melalui kasus dan
konteks. Pendefinisian hanya melahirkan kartu normatif yang bisa berjumlah
banyak di meja definisi. Mungkin sama rumitnya ketika mendefinisikan
kebudayaan dalam satu frasa. Kebudayaan adalah kata jamak makna, akan
tereduksi jika dipaksa padat dalam sebuah kalimat.
Julien Benda, Karl Marx, Antonio Gramsci, Tan Malaka, Ali Shariati,
Edward W Said, dan Daniel Dhakidae sudah mendefinisikan intelektual dan
perannya.
Namun, kali ini saya ingin mengambil definisi dari Daoed Joesoef, profesor lulusan Universite Pluridisciplinaire de Paris I, Sorbonne, Perancis. Ia juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983). Gagasannya itu disampaikan dalam acara persiapan 100 Tahun Muhammadiyah di Jakarta. Saat itu saya hadir karena undangannya.
Tentu, sebagai intelektual, Prof Daoed Joesoef juga sering
disalahpahami. Kesalahpahaman itu karena ia tak mau nyaman dengan satu peran
dan selalu membuka ruang melalui kritik demi kenyamanannya sebagai
intelektual. Ia tak silau oleh popularisme, tak tunduk oleh histeria
mayoritas. Ia bertaruh memilih jalan rentan.
Pada masanya muncul kebijakan NKK/BKK, tak meliburkan sekolah di bulan
puasa, mengurangi pelajaran agama, dan sebagai gantinya menghidupkan
pendidikan nonformal agama berbasis surau/langgar/meunasah. Pada suatu waktu,
ia pernah menyampaikan ke Presiden Soeharto untuk tidak mengembangkan
teknologi kedirgantaraan. Soeharto ketika itu terpukau oleh Habibie.
”Soeharto itu cerdas, tapi mewakili keluguan masyarakat desa Jawa yang gumun (kagum) melihat besi terbang.”
Menurut dia, Indonesia harus dibangkitkan dari aspek kemaritiman dan
mengembangkan politik agraria yang adil. ”Interupsi” itu dianggap tak patut
oleh ”pikiran Jawa” sang presiden. Akhirnya, ia hanya menjabat menteri satu
periode, berkebalikan dengan Habibie yang terus jadi menteri
berperiode-periode.
Intelektualisme
Menurut Joesoef, intelektualisme itu: 1) menghayati peran vokasi yang
berbobot budaya; 2) memilih peran sosio-politis untuk perubahan; 3) kesadaran
mengacu kepada universalitas; 4) menciptakan ide-ide kultural dan
menjalankannya; 5) pembangkangan yang bertanggung jawab; dan 6) suatu
pancaran nurani yang bersih dan berimbang.
Dari definisi ini terlihat intelektual tak mengacu pada satu profesi.
Para akademisi belum tentu intelektual. Namun, pekerja vokasional berelan
kultural bisa disebut intelektual. Seperti agamawan yang marah kepada umat
yang mengobarkan kebencian, juga seorang intelektual. Teman saya, PNS di
kantor gubernur, di akhir tahun anggaran ia kerap diminta atasan jalan-jalan
tanpa sebab, menggenapkan anggaran perjalanan dinas yang belum habis. Ia
menolak melakukannya. Dalam konteks itu, ia berperan sebagai intelektual.
Kembali kepada akademisi, karena dibekali pendidikan baik dan
sistematis, seharusnya mereka jadi intelektual. Pengetahuan yang berpadu
dengan pancaran nurani akan jadi pijakan kuat melakukan perubahan, mulai dari
sivitas akademika hingga sosial. Namun, sayangnya pilihan ini jarang
dijejaki. Tak jarang akademisi yang kebetulan menjabat di birokrasi di kampus
dan pemerintahan jadi konformis: tak melakukan hal-hal penting, nyaman tanpa
berpikir kritis, bahkan ikut mempraktikkan ketidakadilan dan manipulasi.
Intelektualisme berhubungan dengan peran berpikir dan merefleksikan.
Kata al qalb dalam Islam sering salah
dipahami sebagai ’hati’ karena secara biologis itu adalah lever, tempat darah
dialiri seluruh tubuh. Menurut Quraish Shihab, al qalb dalam Al Quran
berhubungan dengan kata al aql, yaitu pikiran dalam bentuk kata kerja (ta’qiluun), bukan kata benda yang tak
lain adalah ’otak’ (al mukhn). Ini
bertemu dengan maksud filsuf Jerman abad pencerahan, Immanuel Kant: kebenaran
hanya mungkin diperoleh dengan bekerjanya pikiran jernih, yaitu hati nurani
atau nalar. Hati nurani bukan naluri karena naluri malas dan tidak diasah
akan tersesat dan berbelok (Kant, The
Critique of Pure Reason, diterjemahkan
oleh DMJ Meiklejohn, 2010).
Posisi
rentan
Kritik yang selama ini muncul, dunia pendidikan tak kunjung menjadi
poros intelektual, bahkan tertinggal dari poros-poros lain, seperti industri,
komunitas kreatif, pusat gerakan sosial, pusat riset non-kampus, dunia
penerbitan, dan pers.
Di era otonomi daerah, dunia kampus malah terjebak pada kepalsuan
(ilusif), besar kepala, dan bangga berjajar eselon dengan pimpinan daerah.
Rektor, dekan, dan ketua jurusan kerap jadi ”borjuis kecil”. Mereka tak
menjalankan organisasi pendidikan dengan sensitivitas yang bertumpu pada
kepatutan, kebenaran, dan kemanusiaan. Jarang kita temukan rektor seperti
Anies Baswedan atau Komarudin Hidayat. Tidak sekadar administrateur, tapi
juga pemikir dan penggugah sosial.
Maka, jangan heran ketika perubahan dan peran intelektual tidak lagi
dijalankan perguruan tinggi, tapi dilakukan aktivis politik, seniman,
wartawan, agamawan, dan dosen secara individual. Mereka resah dengan situasi
ketidakadilan dan keburukan wajah dunia dan mau mengoreksinya.
Maka, saya hormat kepada sosok seperti Eva Susanti Bande. Perannya
mengadvokasi petani Banggai, Sulawesi Tengah, melawan perusahaan sawit
menyebabkannya ”disekolahkan” di dalam penjara. Saya salut dengan ketegasan
Prof JE Sahetapy mengkritik kebijakan hukum dan politik hingga usia uzur.
Padahal, ia bisa memilih cara nyaman yang pasti akan mendapat kemudahan dari
negara. Pilihan kritisnya malah tak disukai sejawat profesor birokrat.
Saya kagum dengan pejuang kemanusiaan di Papua: Markus Haluk, Fien
Jarangga, Socrates, dll, karena protes tak kenal lelah kepada Jakarta,
menyebabkan mereka berada pada posisi rentan. Kehidupan mereka tak pernah
damai karena selalu dimata- matai. Mereka sangat mudah difitnah separatis,
di-OPM-kan, atau masuk penjara.
Beberapa waktu lalu, Universitas Malikussaleh telah melakukan pemilihan
rektor. Pemenangnya adalah petahana. Yang ditunggu, apakah proses itu akan
melahirkan perubahan fundamental atau rutinitas kekuasaan di dunia kampus
yang datang dan hilang, tanpa bekas intelektual?
Penting diingat, seharusnya kita semua terpanggil menjalankan peran
intelektual, mengubah situasi, dan tidak sekadar menikmati pragmatisme
jabatan. Kita semua harus terpanggil pada suara kenabian dan kebenaran, apa
pun profesinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar