Paradigma
Keliru di Jembatan Timbang
Zulfi Syatria SP ;
Pelaku Bisnis dan Pengamat Sosial
|
JAWA
POS, 05 Juli 2014
PROYEK abadi pantura. Itulah istilah yang sering kita dengar terkait
dengan perbaikan jalan di jalur pantura, terutama setiap menjelang Lebaran.
Istilah itu menggambarkan betapa perbaikan jalan di jalur tersebut selalu
terjadi dan menyita perhatian setiap tahun. Dengan mengalami sendiri melewati
jalur itu, kita bisa saksikan tidak ada perubahan berarti dari tahun ke
tahun. Jalan rusak dan kendaraan yang berjalan tersendat bisa ditemui di
banyak tempat. Kalau kita lewat satu sampai dua bulan sebelum Lebaran, dengan
mudah kita akan menemukan banyaknya proyek perbaikan yang sedang dikerjakan.
Apakah kerusakan itu disebabkan semata-mata faktor yang sulit dihindari
seperti tingginya arus kendaraan yang membebani dan panjangnya jalur
tersebut? Panjangnya jalur pantura membuat perbaikan tidak pernah tuntas,
selesai di ruas yang satu, rusak lagi di ruas lain. Atau adakah faktor lain
yang sebenarnya bisa dihindari ikut berkontribusi terhadap kerusakan yang
terus-menerus itu?
Beberapa waktu lalu Jawa Pos memuat berita yang berjudul Dua Belas
Jembatan Timbang Tutup sebagai imbas Sidak Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di
jembatan timbang. Kinerja di jembatan timbang itu sangat berkaitan dengan
kondisi kerusakan jalan di jalur pantai utara Jawa. Di situ disebutkan,
menurut seorang kepala unit pelayanan perhubungan (UPP) dishubkominfo (dinas
perhubungan komunikasi dan informatika), selama ini operasional 16 jembatan
timbang di Jawa Tengah lebih ditargetkan untuk mengisi kas daerah. Dengan
demikian, sanksi denda lebih diutamakan daripada pemberian tilang terhadap
kendaraan yang kelebihan muatan. Melalui pernyataan itu, kita bisa melihat
bahwa ada paradigma yang salah yang selama ini terbentuk atas jembatan
timbang. Paradigma tersebut jelas tidak mempertimbangkan kerugian jalan rusak
dan terhambatnya roda perekonomian, juga kerugian lain yang mungkin nilainya
lebih besar daripada pendapatan dari sanksi denda.
Paradigma yang dijadikan kebijakan itu jelas keliru dan berbahaya.
Kekeliruan pertama, jembatan timbang beralih fungsi dari alat kontrol berat
muatan truk (kendaraan) menjadi sumber pendapatan daerah. Disiplin pengguna
jalan bukan lagi sasaran yang dituju, kalah oleh tujuan pengisian kas daerah.
Kedua, disadari atau tidak, untuk mencapai target, petugas lapangan lebih
senang jika semakin banyak truk yang kelebihan muatan. Semakin banyak
pelanggaran berarti semakin banyak denda. Semakin jauhlah jembatan timbang
dari tujuan aslinya.
Ketiga, pemerintah justru harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih
besar untuk perbaikan jalan rusak karena dilewati truk-truk yang beratnya
melebihi daya dukung jalan jika dibandingkan dengan penerimaan dari sanksi
denda, yang katanya untuk kas daerah. Terlepas sumber dana perbaikan dari kas
daerah atau pusat, kondisi itu merugikan pemerintah secara umum. Menurut
Direktur Jenderal Bina Marga Djoko Murjanto, dalam empat tahun terakhir
pemerintah menganggarkan dana Rp 4,68 triliun untuk penanganan jalan pantura.
Sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk perbaikan dan pemeliharaan,
sedangkan penambahan jalan baru yang panjangnya ditargetkan hanya 20 km per
tahun mendapat porsi yang sangat kecil.
Selain pemerintah, masyarakat pengguna jalan juga dirugikan. Truk-truk
dengan kelebihan muatan yang berjalan lamban menghalangi kelancaran lalu
lintas di jalan yang panjangnya mencapai 1.341 km itu. Perbaikan jalan juga
tak jarang menjadi sumber kemacetan panjang sehingga boros waktu tempuh dan
bahan bakar.
Kekeliruan keempat, denda itu seakan-akan melegitimasi truk yang
kelebihan muatan. Dengan membayar denda, kendaraan yang melebihi muatan bisa
melenggang tanpa rasa bersalah. Nilai denda yang diterapkan pun tidak membuat
sopir atau pengguna jasa truk jera. Bagi mereka, lebih menguntungkan membayar
denda daripada menyewa truk tambahan.
Kelima, tidak ada yang dapat menjamin bahwa denda yang terkumpul
sepenuhnya masuk kas daerah dan tidak akan ”nyasar” ke kantong pribadi
(oknum). Keenam dan yang paling berbahaya adalah dipertunjukkannya kesan
bahwa aturan di negara ini bisa dibeli, bahkan dibelokkan oleh aparatnya
sendiri. Aturan tilang bisa diubah menjadi sekadar denda.
Ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan sidak ke salah
satu jembatan timbang di wilayah kerjanya dan menyaksikan transaksi pungutan,
dia marah besar. Peristiwa itu mempertegas kepada kita bahwa memang ada
masalah di jembatan timbang. Sebenarnya, tanpa harus melihat ke (laci dan
meja) aparatnya pun, kita dapat mencium bahwa ada sesuatu yang tidak beres di
jembatan timbang. Masih banyaknya truk yang beratnya melebihi ketentuan di
jalan raya, berjalan terseok-seok di jalur pantura, sudah lama menimbulkan
tanda tanya besar.
Apakah kasus jembatan timbang itu juga terjadi di luar Jateng? Sangat
mungkin. Jalanan yang dijejali truk-truk bermuatan lebih yang berdampak pada
kerusakan jalan tidak hanya terjadi di Jateng. Di Jawa Barat dan Jawa Timur,
masalah yang sama terjadi. Apalagi, truk-truk itu memang membawa bahan
perdagangan dari dan ke Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali bahkan sampai
Sumatera dan Nusa Tenggara. Sangat mudah diduga bahwa modus denda di jembatan
timbang juga terjadi di provinsi-provinsi lain yang dilalui truk-truk
tersebut.
Melalui tulisan ini, penulis berharap semua pihak terkait dan berwenang
bisa mengembalikan fungsi jembatan timbang sebagaimana seharusnya. Kalaupun
sanksi denda diterapkan, harus diciptakan sistem dengan nilai denda resmi
yang dapat menimbulkan efek jera. Yang tidak kalah penting, dananya tidak
dapat dikorupsi karena tercatat rapi dengan bukti dokumen sah. Semoga
keberadaan jembatan timbang berkontribusi terhadap pemeliharaan jalan di
pantura dan proyek pantura tidak lagi abadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar