Minggu, 06 Juli 2014

Paradigma Keliru di Jembatan Timbang

                   Paradigma Keliru di Jembatan Timbang

Zulfi Syatria SP  ;   Pelaku Bisnis dan Pengamat Sosial
JAWA POS,  05 Juli 2014
                                                


PROYEK abadi pantura. Itulah istilah yang sering kita dengar terkait dengan perbaikan jalan di jalur pantura, terutama setiap menjelang Lebaran. Istilah itu menggambarkan betapa perbaikan jalan di jalur tersebut selalu terjadi dan menyita perhatian setiap tahun. Dengan mengalami sendiri melewati jalur itu, kita bisa saksikan tidak ada perubahan berarti dari tahun ke tahun. Jalan rusak dan kendaraan yang berjalan tersendat bisa ditemui di banyak tempat. Kalau kita lewat satu sampai dua bulan sebelum Lebaran, dengan mudah kita akan menemukan banyaknya proyek perbaikan yang sedang dikerjakan.

Apakah kerusakan itu disebabkan semata-mata faktor yang sulit dihindari seperti tingginya arus kendaraan yang membebani dan panjangnya jalur tersebut? Panjangnya jalur pantura membuat perbaikan tidak pernah tuntas, selesai di ruas yang satu, rusak lagi di ruas lain. Atau adakah faktor lain yang sebenarnya bisa dihindari ikut berkontribusi terhadap kerusakan yang terus-menerus itu? 

Beberapa waktu lalu Jawa Pos memuat berita yang berjudul Dua Belas Jembatan Timbang Tutup sebagai imbas Sidak Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di jembatan timbang. Kinerja di jembatan timbang itu sangat berkaitan dengan kondisi kerusakan jalan di jalur pantai utara Jawa. Di situ disebutkan, menurut seorang kepala unit pelayanan perhubungan (UPP) dishubkominfo (dinas perhubungan komunikasi dan informatika), selama ini operasional 16 jembatan timbang di Jawa Tengah lebih ditargetkan untuk mengisi kas daerah. Dengan demikian, sanksi denda lebih diutamakan daripada pemberian tilang terhadap kendaraan yang kelebihan muatan. Melalui pernyataan itu, kita bisa melihat bahwa ada paradigma yang salah yang selama ini terbentuk atas jembatan timbang. Paradigma tersebut jelas tidak mempertimbangkan kerugian jalan rusak dan terhambatnya roda perekonomian, juga kerugian lain yang mungkin nilainya lebih besar daripada pendapatan dari sanksi denda.

Paradigma yang dijadikan kebijakan itu jelas keliru dan berbahaya. Kekeliruan pertama, jembatan timbang beralih fungsi dari alat kontrol berat muatan truk (kendaraan) menjadi sumber pendapatan daerah. Disiplin pengguna jalan bukan lagi sasaran yang dituju, kalah oleh tujuan pengisian kas daerah. Kedua, disadari atau tidak, untuk mencapai target, petugas lapangan lebih senang jika semakin banyak truk yang kelebihan muatan. Semakin banyak pelanggaran berarti semakin banyak denda. Semakin jauhlah jembatan timbang dari tujuan aslinya.

Ketiga, pemerintah justru harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk perbaikan jalan rusak karena dilewati truk-truk yang beratnya melebihi daya dukung jalan jika dibandingkan dengan penerimaan dari sanksi denda, yang katanya untuk kas daerah. Terlepas sumber dana perbaikan dari kas daerah atau pusat, kondisi itu merugikan pemerintah secara umum. Menurut Direktur Jenderal Bina Marga Djoko Murjanto, dalam empat tahun terakhir pemerintah menganggarkan dana Rp 4,68 triliun untuk penanganan jalan pantura. Sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk perbaikan dan pemeliharaan, sedangkan penambahan jalan baru yang panjangnya ditargetkan hanya 20 km per tahun mendapat porsi yang sangat kecil.

Selain pemerintah, masyarakat pengguna jalan juga dirugikan. Truk-truk dengan kelebihan muatan yang berjalan lamban menghalangi kelancaran lalu lintas di jalan yang panjangnya mencapai 1.341 km itu. Perbaikan jalan juga tak jarang menjadi sumber kemacetan panjang sehingga boros waktu tempuh dan bahan bakar.

Kekeliruan keempat, denda itu seakan-akan melegitimasi truk yang kelebihan muatan. Dengan membayar denda, kendaraan yang melebihi muatan bisa melenggang tanpa rasa bersalah. Nilai denda yang diterapkan pun tidak membuat sopir atau pengguna jasa truk jera. Bagi mereka, lebih menguntungkan membayar denda daripada menyewa truk tambahan.

Kelima, tidak ada yang dapat menjamin bahwa denda yang terkumpul sepenuhnya masuk kas daerah dan tidak akan ”nyasar” ke kantong pribadi (oknum). Keenam dan yang paling berbahaya adalah dipertunjukkannya kesan bahwa aturan di negara ini bisa dibeli, bahkan dibelokkan oleh aparatnya sendiri. Aturan tilang bisa diubah menjadi sekadar denda.

Ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan sidak ke salah satu jembatan timbang di wilayah kerjanya dan menyaksikan transaksi pungutan, dia marah besar. Peristiwa itu mempertegas kepada kita bahwa memang ada masalah di jembatan timbang. Sebenarnya, tanpa harus melihat ke (laci dan meja) aparatnya pun, kita dapat mencium bahwa ada sesuatu yang tidak beres di jembatan timbang. Masih banyaknya truk yang beratnya melebihi ketentuan di jalan raya, berjalan terseok-seok di jalur pantura, sudah lama menimbulkan tanda tanya besar.

Apakah kasus jembatan timbang itu juga terjadi di luar Jateng? Sangat mungkin. Jalanan yang dijejali truk-truk bermuatan lebih yang berdampak pada kerusakan jalan tidak hanya terjadi di Jateng. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, masalah yang sama terjadi. Apalagi, truk-truk itu memang membawa bahan perdagangan dari dan ke Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali bahkan sampai Sumatera dan Nusa Tenggara. Sangat mudah diduga bahwa modus denda di jembatan timbang juga terjadi di provinsi-provinsi lain yang dilalui truk-truk tersebut.

Melalui tulisan ini, penulis berharap semua pihak terkait dan berwenang bisa mengembalikan fungsi jembatan timbang sebagaimana seharusnya. Kalaupun sanksi denda diterapkan, harus diciptakan sistem dengan nilai denda resmi yang dapat menimbulkan efek jera. Yang tidak kalah penting, dananya tidak dapat dikorupsi karena tercatat rapi dengan bukti dokumen sah. Semoga keberadaan jembatan timbang berkontribusi terhadap pemeliharaan jalan di pantura dan proyek pantura tidak lagi abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar