Undecided
Voters dan Ancaman Politik Uang
Ahmad Khoirul Imam ;
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science
& International Studies, The University of Queensland, Australia
|
JAWA
POS, 05 Juli 2014
MENJELANG hari pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9
Juli mendatang, publik tampak masih menerka-nerka kandidat mana yang
potential mengamankan langkah sebagai jawara pilres kali ini. Acap kali kita
merujuk kepada hasil polling atau survei lembaga riset untuk membaca peta
kekuatan sekaligus peluang keterpilihan pasangan kandidat. Tetapi, seiring
menguatnya kompetisi masing-masing poros koalisi, banyak lembaga survei yang
menemukan selisih elektabilitas berkisar satu digit (7–9 persen). Bahkan,
tidak sedikit pula yang menempatkan selisih elektabilitas masing-masing
pasangan capres-cawapres dalam zona
margin error yang umumnya berkisar plus minus 3 persen dari persentase
elektabilitas yang telah ditetapkan.
Terlepas dari apakah lembaga-lembaga survei itu hendak berusaha
’’bermain aman’’ alias spekulatif untuk menjaga ’’kredibilitas lembaga’’
mereka setelah terbukti hasil risetnya banyak yang tidak akurat karena
kesalahan metodologi dan kekeliruan pemilihan random sampling dalam pemilu
legislatif lalu, selisih perbedaan elektabilitas yang relatif tipis itu
berpotensi memunculkan dua persoalan mendasar yang harus diantisipasi.
Pertama, tipisnya perbedaan potensi keterlipilihan itu masih membuka
peluang terjadinya perubahan peta dukungan massa yang diakibatkan dinamika
isu dan pertarungan wacana di tingkat akar rumput. Kalaupun tidak ada
dinamika yang pengaruhnya signifikan, besar kemungkinan kemenangan kandidat
terpilih akan tetap diperoleh dengan selisih suara yang relatif kecil. Jika
itu terjadi, sengketa besar pilpres berpeluang terjadi. Mengingat, perbedaan
sekitar 3 persen masih termasuk sangat rentan untuk ’’dipermainkan’’ melalui
berbagai praktik kecurangan dalam penghitungan dan tabulasi suara di
lapangan. Untuk itu, jika dalam quick
count pasca pilpres nanti lembaga-lembaga survei ’’terpaksa’’ tidak
berani menyimpulkan ke mana kemenangan akan berlabuh gara-gara selisih
perolehan suara dua pasangan kandidat yang tipis dan masuk zona margin error, perhitungan manual
KPU akan menjadi patokan terakhir. Hal itu bakal menjadi tantangan dan ujian
besar bagi independensi, profesionalitas, dan sekaligus integritas KPU secara
kelembagaan. Jika potensi sengketa itu tidak ter-manage dengan baik, hal itu berpotensi menjadi bom waktu yang
akan mengeskalasi konflik horizontal di level grassroots.
Kedua, tipisnya selisih perbedaan elektabilitas masing-masing kandidat
akan membuka peluang maraknya praktik transaksional sesaat menjelang
pelaksanaan pilpres. Politik uang (money
politics) akan menjadi pilihan pragmatis yang paling realistis bagi
masyarakat ketika mereka tidak merasa menemukan pertautan visi, misi,
ideologi, ataupun emosi dengan para figur yang masuk bursa pencapresan kali
ini. Frederic Schaffer (2007) menjelaskan bahwa politik uang merupakan fenomena
general dalam praktik pemilihan umum yang kompetitif. Politik uang itu,
tampaknya, akan menjadi pilihan strategi terakhir ketika mesin-mesin politik
setiap kandidat tidak mampu merasionalkan, meyakinkan, dan mengarahkan
pilihan politik pemilih terhadap apa yang telah mereka tawarkan dalam proses
kampanye. Ketika kredibilitas moral, integritas, reputasi diri, track record, ideologi, dan platform
program seorang kandidat capres-cawapres benar-benar sudah tidak mampu
menarik simpati pemilih, uang akan tampil sebagai senjata ampuh yang bakal
’’melunakkan hati’’ mereka untuk memberikan dukungan kepada pasangan
capres-cawapres tertentu.
Jacobson (1983) dan Maurice Duverger (2005) menuturkan, memang tidak
selamanya uang berkuasa. Sejarah politik dunia tidak pernah mencatat uang
sebagai ’’satu-satunya penguasa’’ yang paling menentukan dalam permainan
politik. Namun, di banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius
sekalipun, uang sering menjadi senjata politik yang ampuh untuk menaklukkan
rintangan menuju tampuk kekuasaan. Sebab, prinsipnya, uang merupakan saudara
kembar kekuasaan. Bahkan, di negara maju yang tatanan demokrasinya relatif
telah mapan sekalipun, uang tetap menjadi alat politik yang strategis untuk
memengaruhi pilihan politik pemilih. Kecenderungan semacam itu menyiratkan
pesan bahwa pasangan kandidat yang memiliki dana lebih tebal akan berpeluang
besar memenangi pilpres dan merebut suara undecided
voters.
Undecided
Voters di Jatim
Ancaman politik uang akan terasa semakin serius ketika kita mengaca
kepada hasil survei Kompas (Juni 2014), LIPI (Juni 2014), dan SMRC yang
menunjukkan bahwa suara massa ’’galau’’ yang belum menentukan pilihan (undecided voters) berkisar 20–25
persen. Uniknya, hasil simulasi dari lembaga-lembaga tersebut menunjukkan
posisi tertinggi undecided voters
justru terkonsentrasi di wilayah Jawa Timur yang juga dianggap sebagai
’’kandang banteng’’ sekaligus ’’kampungnya para santri’’. Jika benar
undecided voters di wilayah Jawa Timur tergolong tinggi, analisis tersebut
mengindikasikan kuat kurang optimalnya mesin politik PDIP dan PKB yang saat
ini sama-sama berada di dalam barisan koalisi bersama Nasdem, Hanura, dan
PKPI untuk mendukung pasangan Jokowi-JK. Faktor lainnya adalah cukup
efektifnya mesin politik pasangan Prabowo-Hatta dalam merangsek ke jantung
pertahanan wilayah santri di Madura dan tapal kuda serta kemampuannya
mengakomodasi kelompok-kelompok yang kurang tergarap oleh mesin politik
Jokowi-JK.
Terbelahnya gerbong santri yang ditunjukkan oleh kuatnya mobilisasi
para kiai sebagai vote getters oleh
kedua poros pencapresan juga berpeluang menjadi faktor tingginya undecided voters. Sikap hormat (ta’dzim) para santri terhadap kiai
akan mengalami dilema memiliki preferensi politik yang berbeda. Cara pandang santri
kontemporer dan masyarakat di sekitar pesantren harus diakui telah berubah.
Sikap hormat terhadap kiai tidak selalu harus diwujudkan dalam ketundukan
dalam menentukan pilihan politik yang sama. Kesadaran politik itu merupakan
imbas langsung dari fenomena desakralisasi kiai yang terjadi sejak era
reformasi sebagai akibat dari perpecahan, silang pendapat, dan keterlibatan
para kiai dalam konstelasi politik praktis.
Jika psikologi politik massa cenderung galau dan dilematis, kondisi itu
potensial memunculkan sikap enggan masyarakat terhadap proses-proses politik
(political reluctance) yang
selanjutnya bakal mengarahkan mereka kepada sikap acuh tak acuh terhadap
politik (political disengagement).
Kondisi itu sangat berbahaya, mengingat besarnya jumlah undecided voters itulah yang akan menjadi penentu kemenangan
masing-masing kandidat yang selisihnya terpaut tipis. Karena itu, upaya
mengawal proses pemilu agar steril dari praktik-praktik politik uang menjadi
sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi ke depan. Lebih dari itu,
kepentingan menjaga kesadaran politik massa mengambang (swing voters) untuk tetap memilih sesuai dengan kalkulasi politik
rasional tanpa dinodai oleh praktik-praktik curang politik uang akan
menentukan kualitas kepemimpinan nasional mendatang.
Jatuh dan bangkitnya Indonesia akan ditentukan oleh kualitas
kepemimpinan lima tahun mendatang. Jangan sampai keterpilihan presiden-wakil
presiden mendatang adalah keterpilihan yang mewakili kekuatan uang. Terlalu
lama Indonesia terseok-seok dalam kubangan transisi demokrasi yang selalu
diwarnai negosiasi, konflik, transaksi, dan konfrontasi yang tidak produktif.
Kepemimpinan baru yang kredibel, cerdas, dan berintegritas bakal menjadi
penentu masa depan konsolidasi demokrasi. Menolak politik uang dan cara-cara
transaksional adalah solusi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar