Minggu, 06 Juli 2014

Undecided Voters dan Ancaman Politik Uang

            Undecided Voters dan Ancaman Politik Uang

Ahmad Khoirul Imam  ;   Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia
JAWA POS,  05 Juli 2014
                                                


MENJELANG hari pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang, publik tampak masih menerka-nerka kandidat mana yang potential mengamankan langkah sebagai jawara pilres kali ini. Acap kali kita merujuk kepada hasil polling atau survei lembaga riset untuk membaca peta kekuatan sekaligus peluang keterpilihan pasangan kandidat. Tetapi, seiring menguatnya kompetisi masing-masing poros koalisi, banyak lembaga survei yang menemukan selisih elektabilitas berkisar satu digit (7–9 persen). Bahkan, tidak sedikit pula yang menempatkan selisih elektabilitas masing-masing pasangan capres-cawapres dalam zona margin error yang umumnya berkisar plus minus 3 persen dari persentase elektabilitas yang telah ditetapkan.

Terlepas dari apakah lembaga-lembaga survei itu hendak berusaha ’’bermain aman’’ alias spekulatif untuk menjaga ’’kredibilitas lembaga’’ mereka setelah terbukti hasil risetnya banyak yang tidak akurat karena kesalahan metodologi dan kekeliruan pemilihan random sampling dalam pemilu legislatif lalu, selisih perbedaan elektabilitas yang relatif tipis itu berpotensi memunculkan dua persoalan mendasar yang harus diantisipasi.

Pertama, tipisnya perbedaan potensi keterlipilihan itu masih membuka peluang terjadinya perubahan peta dukungan massa yang diakibatkan dinamika isu dan pertarungan wacana di tingkat akar rumput. Kalaupun tidak ada dinamika yang pengaruhnya signifikan, besar kemungkinan kemenangan kandidat terpilih akan tetap diperoleh dengan selisih suara yang relatif kecil. Jika itu terjadi, sengketa besar pilpres berpeluang terjadi. Mengingat, perbedaan sekitar 3 persen masih termasuk sangat rentan untuk ’’dipermainkan’’ melalui berbagai praktik kecurangan dalam penghitungan dan tabulasi suara di lapangan. Untuk itu, jika dalam quick count pasca pilpres nanti lembaga-lembaga survei ’’terpaksa’’ tidak berani menyimpulkan ke mana kemenangan akan berlabuh gara-gara selisih perolehan suara dua pasangan kandidat yang tipis dan masuk zona margin error, perhitungan manual KPU akan menjadi patokan terakhir. Hal itu bakal menjadi tantangan dan ujian besar bagi independensi, profesionalitas, dan sekaligus integritas KPU secara kelembagaan. Jika potensi sengketa itu tidak ter-manage dengan baik, hal itu berpotensi menjadi bom waktu yang akan mengeskalasi konflik horizontal di level grassroots.

Kedua, tipisnya selisih perbedaan elektabilitas masing-masing kandidat akan membuka peluang maraknya praktik transaksional sesaat menjelang pelaksanaan pilpres. Politik uang (money politics) akan menjadi pilihan pragmatis yang paling realistis bagi masyarakat ketika mereka tidak merasa menemukan pertautan visi, misi, ideologi, ataupun emosi dengan para figur yang masuk bursa pencapresan kali ini. Frederic Schaffer (2007) menjelaskan bahwa politik uang merupakan fenomena general dalam praktik pemilihan umum yang kompetitif. Politik uang itu, tampaknya, akan menjadi pilihan strategi terakhir ketika mesin-mesin politik setiap kandidat tidak mampu merasionalkan, meyakinkan, dan mengarahkan pilihan politik pemilih terhadap apa yang telah mereka tawarkan dalam proses kampanye. Ketika kredibilitas moral, integritas, reputasi diri, track record, ideologi, dan platform program seorang kandidat capres-cawapres benar-benar sudah tidak mampu menarik simpati pemilih, uang akan tampil sebagai senjata ampuh yang bakal ’’melunakkan hati’’ mereka untuk memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres tertentu.

Jacobson (1983) dan Maurice Duverger (2005) menuturkan, memang tidak selamanya uang berkuasa. Sejarah politik dunia tidak pernah mencatat uang sebagai ’’satu-satunya penguasa’’ yang paling menentukan dalam permainan politik. Namun, di banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius sekalipun, uang sering menjadi senjata politik yang ampuh untuk menaklukkan rintangan menuju tampuk kekuasaan. Sebab, prinsipnya, uang merupakan saudara kembar kekuasaan. Bahkan, di negara maju yang tatanan demokrasinya relatif telah mapan sekalipun, uang tetap menjadi alat politik yang strategis untuk memengaruhi pilihan politik pemilih. Kecenderungan semacam itu menyiratkan pesan bahwa pasangan kandidat yang memiliki dana lebih tebal akan berpeluang besar memenangi pilpres dan merebut suara undecided voters.

Undecided Voters di Jatim

Ancaman politik uang akan terasa semakin serius ketika kita mengaca kepada hasil survei Kompas (Juni 2014), LIPI (Juni 2014), dan SMRC yang menunjukkan bahwa suara massa ’’galau’’ yang belum menentukan pilihan (undecided voters) berkisar 20–25 persen. Uniknya, hasil simulasi dari lembaga-lembaga tersebut menunjukkan posisi tertinggi undecided voters justru terkonsentrasi di wilayah Jawa Timur yang juga dianggap sebagai ’’kandang banteng’’ sekaligus ’’kampungnya para santri’’. Jika benar undecided voters di wilayah Jawa Timur tergolong tinggi, analisis tersebut mengindikasikan kuat kurang optimalnya mesin politik PDIP dan PKB yang saat ini sama-sama berada di dalam barisan koalisi bersama Nasdem, Hanura, dan PKPI untuk mendukung pasangan Jokowi-JK. Faktor lainnya adalah cukup efektifnya mesin politik pasangan Prabowo-Hatta dalam merangsek ke jantung pertahanan wilayah santri di Madura dan tapal kuda serta kemampuannya mengakomodasi kelompok-kelompok yang kurang tergarap oleh mesin politik Jokowi-JK.

Terbelahnya gerbong santri yang ditunjukkan oleh kuatnya mobilisasi para kiai sebagai vote getters oleh kedua poros pencapresan juga berpeluang menjadi faktor tingginya undecided voters. Sikap hormat (ta’dzim) para santri terhadap kiai akan mengalami dilema memiliki preferensi politik yang berbeda. Cara pandang santri kontemporer dan masyarakat di sekitar pesantren harus diakui telah berubah. Sikap hormat terhadap kiai tidak selalu harus diwujudkan dalam ketundukan dalam menentukan pilihan politik yang sama. Kesadaran politik itu merupakan imbas langsung dari fenomena desakralisasi kiai yang terjadi sejak era reformasi sebagai akibat dari perpecahan, silang pendapat, dan keterlibatan para kiai dalam konstelasi politik praktis.

Jika psikologi politik massa cenderung galau dan dilematis, kondisi itu potensial memunculkan sikap enggan masyarakat terhadap proses-proses politik (political reluctance) yang selanjutnya bakal mengarahkan mereka kepada sikap acuh tak acuh terhadap politik (political disengagement). Kondisi itu sangat berbahaya, mengingat besarnya jumlah undecided voters itulah yang akan menjadi penentu kemenangan masing-masing kandidat yang selisihnya terpaut tipis. Karena itu, upaya mengawal proses pemilu agar steril dari praktik-praktik politik uang menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi ke depan. Lebih dari itu, kepentingan menjaga kesadaran politik massa mengambang (swing voters) untuk tetap memilih sesuai dengan kalkulasi politik rasional tanpa dinodai oleh praktik-praktik curang politik uang akan menentukan kualitas kepemimpinan nasional mendatang.

Jatuh dan bangkitnya Indonesia akan ditentukan oleh kualitas kepemimpinan lima tahun mendatang. Jangan sampai keterpilihan presiden-wakil presiden mendatang adalah keterpilihan yang mewakili kekuatan uang. Terlalu lama Indonesia terseok-seok dalam kubangan transisi demokrasi yang selalu diwarnai negosiasi, konflik, transaksi, dan konfrontasi yang tidak produktif. Kepemimpinan baru yang kredibel, cerdas, dan berintegritas bakal menjadi penentu masa depan konsolidasi demokrasi. Menolak politik uang dan cara-cara transaksional adalah solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar