Seandainya
Dahlan Iskan Yang Berdebat
MT Felix Sitorus ;
Sosiolog, Peneliti Sosial Independen
|
JAWA
POS, 04 Juli 2014
SEANDAINYA Dahlan Iskan yang menjadi cawapres, perdebatan
antar-cawapres Minggu lalu (29/6/14) pastilah tidak akan normatif, kering,
dan membosankan, khususnya terkait iptek. Dari kolom-kolom Manufacturing Hope (MH) Dahlan di Jawa
Pos selama ini, sudah terbaca gagasan dan langkah yang akan dimajukannya
dalam perdebatan. Isu mendasar yang mungkin disampaikan adalah gagasan
produksi dan pemasaran iptek nasional yang dikemas dalam visi Indonesia
menjadi produsen dan pemasar iptek kelas dunia.
Produksi
Iptek
Salah satu masalah terbesar bangsa ini adalah fakta bahwa kita belum
tergolong produsen iptek kelas dunia. Kita masih tergolong konsumen iptek
kelas dunia. Institusi penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi dan
dunia industri kita umumnya masih terjebak dalam reproduksi iptek asing,
terutama dari negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan Tiongkok. Bisa
diduga, untuk menjadi produsen iptek kelas dunia, Dahlan akan mengajukan tiga
jalan strategis.
Jalan pertama adalah menarik para ahli iptek mumpuni warga Indonesia
yang tersebar di berbagai negara maju. Caranya bukan terutama dengan
memberikan gaji tinggi kepada mereka, seperti diusulkan Pak Jusuf Kalla dalam
perdebatan. Tapi, menyiapkan fasilitas memadai bagi mereka untuk berkarya
menghasilkan inovasi iptek kelas dunia. Mereka sebenarnya tidak terlalu
mempersoalkan gaji, tapi lebih mengharapkan ketersediaan infrastruktur untuk
memfasilitasi kreativitas mereka.
Contoh positif untuk jalan pertama ini adalah penarikan ahli satelit
mumpuni Dr Meiditomo Sutyarjoko dari luar negeri untuk mengelola BRISat
(satelit milik BRI) yang dibeli dari Space System/Loral AS dan akan
diluncurkan Arianespace Prancis (MH
126, Jawa Pos, 5/5/14). Contoh negatif adalah penarikan Dr Ricky Elson,
ahli motor listrik kelas dunia dari Jepang untuk mengembangkan mobil listrik
nasional, tetapi terpaksa kembali lagi ke Jepang karena keahliannya tidak
terfasilitasi di Indonesia (MH 123,
Jawa Pos, 14/4/14).
Jalan kedua adalah memfasilitasi para genius lokal (local genius), yaitu penemu-penemu
lokal yang berserak di penjuru Nusantara, tetapi kurang atau tidak mendapat
perhatian pemerintah selama ini. Mereka menemukan teknologi lokal, tetapi
berpotensi mengglobal sebagai jalan keluar dari berbagai masalah kegiatan
ekonomi atau bisnis masyarakat.
Pak Dahlan sudah menemukan banyak local genius di bidang iptek dari
kerja blusukan-nya. Sebut misalnya Mahmud dan Sidiq. Mahmud, lulusan Teknik
Kimia Undip Semarang, berhasil mengembangkan algae air tawar untuk bahan baku
produksi tepung spirulina bebas logam berat, arsen, dan NaCl yang sangat
diminati industri. Sidiq, anak muda dari Malang, menemukan pengering gabah
tenaga surya (MH 124, Jawa Pos, 21/4/14).
Ada lagi Agus Zamroni, sarjana hukum warga Desa Milir, Ponorogo, yang
menemukan mesin panen padi portabel (MH
128, Jawa Pos, 19/5/14). Masih banyak contoh, seperti penemuan varietas
kedelai unggul oleh Adi Widjaya di Grobogan (MH 111, Jawa Pos, 13/1/14) dan penemuan berbagai benih unggul dan
pupuk organik oleh petani inovator.
Jalan ketiga adalah membeli dan menguasai iptek yang sudah diringkas
dalam bentuk pabrik atau instalasi. Dengan cara ini, kita tidak perlu
bergantung lagi pada iptek yang dikuasai asing. Contoh aktual untuk ini
adalah pembelian iptek PT Inalum dari Jepang (MH 101, Jawa Pos, 3/11/13) dan pembelian pabrik amonia PT Kaltim
Pasifik Alakalinita, produsen bahan baku pupuk, oleh PT PIHC dari Mitsui
&Tomen, Jepang (MH 127, Jawa Pos,
12/5/14).
Pemasaran
Iptek
Selain menjadi produsen, Indonesia harus menjadi pemasar iptek kelas
dunia. Dengan demikian, iptek kita tidak hanya berguna untuk produksi
komoditas, tetapi juga menghasilkan devisa. Langkah pemasaran ini termasuk
sebagai strategi Indonesia untuk menjadi produsen iptek kelas dunia.
Tentu Dahlan tidak hanya bicara teori karena lewat Kementerian BUMN,
dia sudah memasarkan iptek ke mancanegara. Contoh aktual adalah pemasaran
iptek low-enrichment untuk produksi
isotop dari neutron yang dikuasai Dr Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Inuki yang
membuhulkan kerja sama dengan Shine, AS, untuk produksi isotop yang sangat
dibutuhkan dunia kedokteran modern (MH
133, Jawa Pos, 23/6/14). Yang paling baru adalah pemasaran iptek
pembangunan jalan tol yang dikuasai PT Wijaya Karya ke Aljazair yang mendapat
pengakuan sebagai yang terbaik di sana (MH
134, Jawa Pos, 30/5/14).
Bentuk pemasaran lain adalah menerapkan iptek kita dalam bentuk
perusahaan di negara lain. Contoh aktual untuk ini adalah PT Pertamina yang
berhasil mendirikan unit bisnis perminyakan di Aljazair (MH 134, Jawa Pos, 30/5/15). Selain itu, ada pembelian dan
penguasaan pabrik semen di Vietnam oleh PT Semen Gresik, pembukaan tambang
timah (bauksit) oleh PT Timah di Myanmar, dan ekspansi bisnis telekomunikasi
oleh PT Telkom ke Timor Leste (MH 52,
Jawa Pos, 19/11/12). Langkah-langkah ini akan menjadikan Indonesia, dalam
hal ini diwakili perusahaan-perusahaan BUMN, menjadi pemain iptek kelas
dunia.
Jelas sekali bahwa bagi Pak Dahlan, pendekatan sinergi peneliti,
pebisnis, dan pemerintah (triple helix)
yang ditawarkan Pak Hatta Rajasa tidak lagi sekadar wacana, tapi sudah
dijalankan tanpa perlu berteori. Dan bagi Dahlan, sebenarnya tidak ada teori
kecuali teori yang hidup, yaitu teori ”kerja,
kerja, dan kerja”.
Sayang memang, Dahlan bukan cawapres ataupun capres. Sehingga kita
tidak menyaksikannya berdebat. Tapi, visi iptek Dahlan, yaitu menjadi
produsen dan pemasar iptek kelas dunia, selayaknya diadopsi siapa pun
presiden terpilih nanti.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar