Sabtu, 05 Juli 2014

Seandainya Dahlan Iskan Yang Berdebat

                   Seandainya Dahlan Iskan Yang Berdebat

MT Felix Sitorus  ;   Sosiolog, Peneliti Sosial Independen
JAWA POS,  04 Juli 2014
                                                


SEANDAINYA Dahlan Iskan yang menjadi cawapres, perdebatan antar-cawapres Minggu lalu (29/6/14) pastilah tidak akan normatif, kering, dan membosankan, khususnya terkait iptek. Dari kolom-kolom Manufacturing Hope (MH) Dahlan di Jawa Pos selama ini, sudah terbaca gagasan dan langkah yang akan dimajukannya dalam perdebatan. Isu mendasar yang mungkin disampaikan adalah gagasan produksi dan pemasaran iptek nasional yang dikemas dalam visi Indonesia menjadi produsen dan pemasar iptek kelas dunia.

Produksi Iptek

Salah satu masalah terbesar bangsa ini adalah fakta bahwa kita belum tergolong produsen iptek kelas dunia. Kita masih tergolong konsumen iptek kelas dunia. Institusi penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi dan dunia industri kita umumnya masih terjebak dalam reproduksi iptek asing, terutama dari negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan Tiongkok. Bisa diduga, untuk menjadi produsen iptek kelas dunia, Dahlan akan mengajukan tiga jalan strategis.

Jalan pertama adalah menarik para ahli iptek mumpuni warga Indonesia yang tersebar di berbagai negara maju. Caranya bukan terutama dengan memberikan gaji tinggi kepada mereka, seperti diusulkan Pak Jusuf Kalla dalam perdebatan. Tapi, menyiapkan fasilitas memadai bagi mereka untuk berkarya menghasilkan inovasi iptek kelas dunia. Mereka sebenarnya tidak terlalu mempersoalkan gaji, tapi lebih mengharapkan ketersediaan infrastruktur untuk memfasilitasi kreativitas mereka.

Contoh positif untuk jalan pertama ini adalah penarikan ahli satelit mumpuni Dr Meiditomo Sutyarjoko dari luar negeri untuk mengelola BRISat (satelit milik BRI) yang dibeli dari Space System/Loral AS dan akan diluncurkan Arianespace Prancis (MH 126, Jawa Pos, 5/5/14). Contoh negatif adalah penarikan Dr Ricky Elson, ahli motor listrik kelas dunia dari Jepang untuk mengembangkan mobil listrik nasional, tetapi terpaksa kembali lagi ke Jepang karena keahliannya tidak terfasilitasi di Indonesia (MH 123, Jawa Pos, 14/4/14).

Jalan kedua adalah memfasilitasi para genius lokal (local genius), yaitu penemu-penemu lokal yang berserak di penjuru Nusantara, tetapi kurang atau tidak mendapat perhatian pemerintah selama ini. Mereka menemukan teknologi lokal, tetapi berpotensi mengglobal sebagai jalan keluar dari berbagai masalah kegiatan ekonomi atau bisnis masyarakat.

Pak Dahlan sudah menemukan banyak local genius di bidang iptek dari kerja blusukan-nya. Sebut misalnya Mahmud dan Sidiq. Mahmud, lulusan Teknik Kimia Undip Semarang, berhasil mengembangkan algae air tawar untuk bahan baku produksi tepung spirulina bebas logam berat, arsen, dan NaCl yang sangat diminati industri. Sidiq, anak muda dari Malang, menemukan pengering gabah tenaga surya (MH 124, Jawa Pos, 21/4/14). Ada lagi Agus Zamroni, sarjana hukum warga Desa Milir, Ponorogo, yang menemukan mesin panen padi portabel (MH 128, Jawa Pos, 19/5/14). Masih banyak contoh, seperti penemuan varietas kedelai unggul oleh Adi Widjaya di Grobogan (MH 111, Jawa Pos, 13/1/14) dan penemuan berbagai benih unggul dan pupuk organik oleh petani inovator.

Jalan ketiga adalah membeli dan menguasai iptek yang sudah diringkas dalam bentuk pabrik atau instalasi. Dengan cara ini, kita tidak perlu bergantung lagi pada iptek yang dikuasai asing. Contoh aktual untuk ini adalah pembelian iptek PT Inalum dari Jepang (MH 101, Jawa Pos, 3/11/13) dan pembelian pabrik amonia PT Kaltim Pasifik Alakalinita, produsen bahan baku pupuk, oleh PT PIHC dari Mitsui &Tomen, Jepang (MH 127, Jawa Pos, 12/5/14).

Pemasaran Iptek
                                                                    
Selain menjadi produsen, Indonesia harus menjadi pemasar iptek kelas dunia. Dengan demikian, iptek kita tidak hanya berguna untuk produksi komoditas, tetapi juga menghasilkan devisa. Langkah pemasaran ini termasuk sebagai strategi Indonesia untuk menjadi produsen iptek kelas dunia.

Tentu Dahlan tidak hanya bicara teori karena lewat Kementerian BUMN, dia sudah memasarkan iptek ke mancanegara. Contoh aktual adalah pemasaran iptek low-enrichment untuk produksi isotop dari neutron yang dikuasai Dr Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Inuki yang membuhulkan kerja sama dengan Shine, AS, untuk produksi isotop yang sangat dibutuhkan dunia kedokteran modern (MH 133, Jawa Pos, 23/6/14). Yang paling baru adalah pemasaran iptek pembangunan jalan tol yang dikuasai PT Wijaya Karya ke Aljazair yang mendapat pengakuan sebagai yang terbaik di sana (MH 134, Jawa Pos, 30/5/14).

Bentuk pemasaran lain adalah menerapkan iptek kita dalam bentuk perusahaan di negara lain. Contoh aktual untuk ini adalah PT Pertamina yang berhasil mendirikan unit bisnis perminyakan di Aljazair (MH 134, Jawa Pos, 30/5/15). Selain itu, ada pembelian dan penguasaan pabrik semen di Vietnam oleh PT Semen Gresik, pembukaan tambang timah (bauksit) oleh PT Timah di Myanmar, dan ekspansi bisnis telekomunikasi oleh PT Telkom ke Timor Leste (MH 52, Jawa Pos, 19/11/12). Langkah-langkah ini akan menjadikan Indonesia, dalam hal ini diwakili perusahaan-perusahaan BUMN, menjadi pemain iptek kelas dunia.

Jelas sekali bahwa bagi Pak Dahlan, pendekatan sinergi peneliti, pebisnis, dan pemerintah (triple helix) yang ditawarkan Pak Hatta Rajasa tidak lagi sekadar wacana, tapi sudah dijalankan tanpa perlu berteori. Dan bagi Dahlan, sebenarnya tidak ada teori kecuali teori yang hidup, yaitu teori ”kerja, kerja, dan kerja”.

Sayang memang, Dahlan bukan cawapres ataupun capres. Sehingga kita tidak menyaksikannya berdebat. Tapi, visi iptek Dahlan, yaitu menjadi produsen dan pemasar iptek kelas dunia, selayaknya diadopsi siapa pun presiden terpilih nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar