Merindukan
Wibawa Polisi
Bambang
Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi
Hukum Departemen Kriminologi FISIP-UI, Pengamat Kepolisian
|
KORAN
SINDO, 01 Juli 2014
Wibawa
polisi adalah pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi masyarakat
melalui sikap dan perilakunya yang baik, santun, dan tidak arogan dalam
menjalankan tugas selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan
kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Peristiwa
dramatis menjelang akhir 2013 di Jakarta, di mana empat aparat kepolisian
yang bertugas di lapangan menjadi sasaran tembak orangorang tak dikenal, itu
bisa dikatakan salah satu indikasi melemahnya wibawa polisi. Dari catatan Indonesia Police Watch pada 2013 telah
terjadi 27 polisi tewas ditembak mati oleh orang tak dikenal. Itu menunjukkan
luasnya wilayah orang-orang yang melawan polisi. Keberanian warga masyarakat
melawan polisi sudah melampaui batas. Hingga kini motif yang sesungguhnya
belum diketahui. Demikian pula para pelakunya belum tertangkap.
Jika
peristiwa itu tidak ditangani secara tuntas, sangat mungkin suatu saat akan
terulang lagi. Perkembangan Polri setelah enam puluh delapan tahun sejak
kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan kemampuan dan wibawanya
secara signifikan tampak belum sepenuhnya tercapai. Seiring itu reformasi
Polri yang telah berjalan tiga belas tahun juga belum berpengaruh secara
mendasar terhadap profesionalitasnya. Memang tidak mudah membangun wibawa
polisi.
Dilema
yang dihadapi Polri adalah eksistensinya ibarat sebuah bola dalam sistem
pemerintahan yang menjadi objek sekaligus subjek permainandalampertandingan
penuh konflik kepentingan antara kesebelasan pihak dominan (pemerintah) dan
pihak subordinat (masyarakat). Menyaksikan nasib polisi yang selama
kehadirannya cenderung dibutuhkan, tapi dilecehkan, hati akan trenyuh melihat
kondisi seperti ini.
Namun,
jika melihat jurang kesenjangan kehidupan materi antara aparat kepolisian
lapisan atas dan bawahan, hati akan berkata lain. Kenapa bisa begitu? Diakui
atau tidak, di lingkungan kerja Polri masih ada istilah bagian basah dan
bagian kering. Maka itu, yang punya jabatan struktural atau yang bekerja di
bagian basah tambah basah, sedangkan yang bekerja di bagian kering tetap
kering.
Kondisi
ini menjadi titik rawan kemunculan penyimpangan baik di tingkat atasan maupun
bawahan dalam konteks penyalahgunaan wewenang. Implementasi Polri yang
demikian dikhawatirkan hanya akan memperkental citra negatif seperti yang
dituduhkan pada dirinya. Implementasi tersebut cenderung menyuburkan self-fulfilling prophecy. Namun, itu
terpulang pada kesadaran para pemimpin Polri. Citra negatif yang lekat pada
diri polisi sesungguhnya sudah ada sejak zaman Hindia Belanda di Indonesia.
Suatu predikat yang diberikan kepadanya adalah tangan panjang kekuasaan para
penguasa. Label itu tentu memengaruhi kinerja polisi.
Profesi dan Wibawa Polisi
Profesi
merupakan suatu bidang kerja yang memerlukan keahlian, kemampuan, teknik dan
prosedur, serta berlandaskan intelektualitas. Profesi juga diartikan sebagai
spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui study dan
training yang bertujuan mencitakan keterampilan yang bernilai tinggi sehingga
pekerjaan dan keterampilan itu diminati orang dan dia dengan melakukan
pekerjaan itu mendapatkan imbalan berupa bayaran atau gaji yang sesuai.
Profesi
polisi pada dasarnya merupakan pekerjaan mulia (nobile officum) karena ia sebagai garda terdepan penjaga
integritas moral masyarakat sesuai aturanaturan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang telah ditetapkan. Dalam masyarakat polisi tidak bekerja sendiri
sebagai penjaga integritas moral, namun di tangannya aturan-aturan moral baik
buruk itu akan terwujud. Profesi polisi yang berkonotasi mulia dan sejalan
dengan arti “wibawa” itu sangat mudah tergelincir ke dalam tindakan-tindakan
tercela. Wibawa tidak secara otomatis melekat pada tugas, tapi pada
manusianya.
Perlu
disadari bagi Polri bahwa sumber- sumber kewibawaan seperti kekuasaan yang
diberikan dan pengakuan secara hukum tidak otomatis menjadi pendukung
wibawanya. Sumber-sumber kewibawaan akan cepat meninggalkan profesi jika
orang-orang yang mengemban profesi itu banyak yang mengotori. Ini disebabkan,
sumber kewibawaan bersifat komplementer dengan keteladanan, netralitas,
kepatuhan pada hukum, tanggung jawab, profesionalitas, dan penampilan kendati
mungkin saja salah satu sumber kewibawaan itu mendominasi dalam profesi.
Biasanya
“kekuasaan” yang diandalkan dan umpan baliknya hanyalah perasaan takut dari
masyarakat kepada polisi. Keberadaan polisi di tengah-tengah struktur
kekuatan antara pemerintah dan masyarakat yang belum seimbang dimungkinkan
lewat pilihan logis polisi memilih berpihak kepada golongan yang berkuasa
secara politis. Dalam kondisi ini dilema yang merantai organisasi Polri
adalah manakala praktisi politik menyelipkan kepentingan- kepentingan yang
tidak sesuai tujuan organisasi.
Selanjutnya
yang terjadi ialah fungsi kepolisian sebagai penegak hukum menjadi kabur dan
tidak lebih menjadi alat kepentingan politik tertentu yang merefleksikan
kebijakannya dalam perilaku polisi. Dalam posisi demikian polisi mudah
tersudut, dituduh mengabaikan kebutuhan dan tujuan moral kolektif. Ironisnya
lagi, semua kebijakan itu berada di luar kekuatan Polri untuk
mengendalikannya, barangkali untuk memahami sekalipun.
Berada
di tengah-tengah arus kekuatan yang cenderung masih berseberangan yaitu penguasa
(pemerintah) dan yang dikuasai (masyarakat) dimungkinkan Polri menghadapi
pihak yang penguasa secara politis dan didekati oleh pihak penguasa secara
ekonomis. Dalam kondisi demikian akan terbentuk hubungan antara penguasa
secara politis dan penguasa secara ekonomis terintegrasi secara horizontal
yang keputusan-keputusan pentingnya mewarnai wajah polisi.
Di sisi
lain, polisi berhadapan dengan pihak masyarakat (subordinat) yang menyalahkan
polisi karena dianggap membiarkan keadaan itu terjadi. Munculnya kecemburuan
masyarakat sebenarnya karena tekanan-tekanan yang dirasakan akibat mereka
menerima kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak memihak kepada dirinya dan
kesadaran-kesadaran dominan ataupun kesadaran semu yang dianggap menyimpang
dari moral kolektif dari tindakan Polri yang tidak sesuai ideologinya, Tri
Brata. Di sinilah dilema polisi, suatu kenyataan ideologinya Tri Brata
sebagai nilai-nilai pengikat diri yang bersifat universal dan sekaligus juga
bersifat medial.
Ideologi
itu berubah menjadi temporal manakala para praktisi politik mencabikcabiknya
menjadi serpihan istilah yang digunakan sebagai lembaran-lembaran bendera
kelompoknya dan ia berubah menjadi lateral manakala para praktisi politik
menerjemahkan ke dalam bahasa yang sesuai tujuan kelompoknya. Yang terjadi
selanjutnya ialah ideologi (Tri Brata) menjadi tidak lebih dari
pernyataan-pernyataan simbolik yang tidak utuh diimplementasikan dalam
perilaku keseharian polisi.
Dapat
dikatakan, pekerjaan polisi itu tidak akan berarti jika tanpa dilekati dengan
wibawa. Penurunan wibawa polisi merupakan pertanda negatif bagi eksistensi
lembaga kepolisian. Masalah itu terjadi manakala masyarakat menuntut polisi
menjadi “wasit” yang adil dan tidak memihak dalam menjalankan tugas, namun
otoritas kekuasaan merangkak memengaruhi kewenangannya. Dalam kondisi ini
polisi mudah tersudut mengabaikan tuntutan masyarakat dan tujuan moral
kolektif.
Apalagi
semua pengaruh itu berada di luar kendalinya, bahkan untuk memahami
sekalipun. Masyarakat pada dasarnya memahami dilema yang dihadapi Polri.
Adapun pelecehanpelecehan hingga pembunuhan yang ditujukan pada dirinya pada
dasarnya wujud ketakutan dan kekecewaan masyarakat terhadap struktur yang
tidak memberikan peluang bagi mereka menyalurkan aspirasi lewat informasi dua
arah (dialogis). Masalah wibawa polisi seharusnya disikapi sebagai suatu
fenomena yang menunjukkan bahwa Polri sebagai alat negara dan salah satu
sarana sosial kontrol dalam sistem sosial dapat dikatakan dalam kondisi
rawan.
Inilah
keadaan yang oleh Emile Durkheim dikatakan sebagai “anomi”, di mana struktur
apa pun yang menyimpang dari konsensus cita-cita dan tujuan bersama secara
potensial bersifat labil. Sejauh ini jika Polri tetap konsisten dengan
cita-cita dan tujuan bersama Tri Brata, suatu saat akan berhasil melepaskan
diri dari struktur yang merantai (mengekang) dirinya. Karena itu, polisi
harus menjadi figur teladan di masyarakat karena polisi dalam menjalankan
tugas tidak cukup hanya mengandalkan kekuasaan dan pengakuan hukum atas
otoritasnya.
Polisi
harus orang yang berbudi dan beriman yang perbuatannya dapat memberi pengaruh
kepada masyarakat. Ia harus lebih tinggi dan lebih mulia kepribadiannya,
bukan seseorang yang merasa berkuasa karena telah diberikan kedudukan untuk
menguasai masyarakat, melainkan kuasailah masyarakat secara wajar dengan
pancaran wibawa yang melekat pada pribadi polisi sesuai profesinya yang
mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar