Rabu, 02 Juli 2014

Merindukan Wibawa Polisi

Merindukan Wibawa Polisi

Bambang Widodo Umar ;  Guru Besar Sosiologi Hukum Departemen Kriminologi FISIP-UI, Pengamat Kepolisian
KORAN SINDO, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Wibawa polisi adalah pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi masyarakat melalui sikap dan perilakunya yang baik, santun, dan tidak arogan dalam menjalankan tugas selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

Peristiwa dramatis menjelang akhir 2013 di Jakarta, di mana empat aparat kepolisian yang bertugas di lapangan menjadi sasaran tembak orangorang tak dikenal, itu bisa dikatakan salah satu indikasi melemahnya wibawa polisi. Dari catatan Indonesia Police Watch pada 2013 telah terjadi 27 polisi tewas ditembak mati oleh orang tak dikenal. Itu menunjukkan luasnya wilayah orang-orang yang melawan polisi. Keberanian warga masyarakat melawan polisi sudah melampaui batas. Hingga kini motif yang sesungguhnya belum diketahui. Demikian pula para pelakunya belum tertangkap.

Jika peristiwa itu tidak ditangani secara tuntas, sangat mungkin suatu saat akan terulang lagi. Perkembangan Polri setelah enam puluh delapan tahun sejak kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan kemampuan dan wibawanya secara signifikan tampak belum sepenuhnya tercapai. Seiring itu reformasi Polri yang telah berjalan tiga belas tahun juga belum berpengaruh secara mendasar terhadap profesionalitasnya. Memang tidak mudah membangun wibawa polisi.

Dilema yang dihadapi Polri adalah eksistensinya ibarat sebuah bola dalam sistem pemerintahan yang menjadi objek sekaligus subjek permainandalampertandingan penuh konflik kepentingan antara kesebelasan pihak dominan (pemerintah) dan pihak subordinat (masyarakat). Menyaksikan nasib polisi yang selama kehadirannya cenderung dibutuhkan, tapi dilecehkan, hati akan trenyuh melihat kondisi seperti ini.

Namun, jika melihat jurang kesenjangan kehidupan materi antara aparat kepolisian lapisan atas dan bawahan, hati akan berkata lain. Kenapa bisa begitu? Diakui atau tidak, di lingkungan kerja Polri masih ada istilah bagian basah dan bagian kering. Maka itu, yang punya jabatan struktural atau yang bekerja di bagian basah tambah basah, sedangkan yang bekerja di bagian kering tetap kering.

Kondisi ini menjadi titik rawan kemunculan penyimpangan baik di tingkat atasan maupun bawahan dalam konteks penyalahgunaan wewenang. Implementasi Polri yang demikian dikhawatirkan hanya akan memperkental citra negatif seperti yang dituduhkan pada dirinya. Implementasi tersebut cenderung menyuburkan self-fulfilling prophecy. Namun, itu terpulang pada kesadaran para pemimpin Polri. Citra negatif yang lekat pada diri polisi sesungguhnya sudah ada sejak zaman Hindia Belanda di Indonesia. Suatu predikat yang diberikan kepadanya adalah tangan panjang kekuasaan para penguasa. Label itu tentu memengaruhi kinerja polisi.

Profesi dan Wibawa Polisi

Profesi merupakan suatu bidang kerja yang memerlukan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur, serta berlandaskan intelektualitas. Profesi juga diartikan sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui study dan training yang bertujuan mencitakan keterampilan yang bernilai tinggi sehingga pekerjaan dan keterampilan itu diminati orang dan dia dengan melakukan pekerjaan itu mendapatkan imbalan berupa bayaran atau gaji yang sesuai.

Profesi polisi pada dasarnya merupakan pekerjaan mulia (nobile officum) karena ia sebagai garda terdepan penjaga integritas moral masyarakat sesuai aturanaturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah ditetapkan. Dalam masyarakat polisi tidak bekerja sendiri sebagai penjaga integritas moral, namun di tangannya aturan-aturan moral baik buruk itu akan terwujud. Profesi polisi yang berkonotasi mulia dan sejalan dengan arti “wibawa” itu sangat mudah tergelincir ke dalam tindakan-tindakan tercela. Wibawa tidak secara otomatis melekat pada tugas, tapi pada manusianya.

Perlu disadari bagi Polri bahwa sumber- sumber kewibawaan seperti kekuasaan yang diberikan dan pengakuan secara hukum tidak otomatis menjadi pendukung wibawanya. Sumber-sumber kewibawaan akan cepat meninggalkan profesi jika orang-orang yang mengemban profesi itu banyak yang mengotori. Ini disebabkan, sumber kewibawaan bersifat komplementer dengan keteladanan, netralitas, kepatuhan pada hukum, tanggung jawab, profesionalitas, dan penampilan kendati mungkin saja salah satu sumber kewibawaan itu mendominasi dalam profesi.

Biasanya “kekuasaan” yang diandalkan dan umpan baliknya hanyalah perasaan takut dari masyarakat kepada polisi. Keberadaan polisi di tengah-tengah struktur kekuatan antara pemerintah dan masyarakat yang belum seimbang dimungkinkan lewat pilihan logis polisi memilih berpihak kepada golongan yang berkuasa secara politis. Dalam kondisi ini dilema yang merantai organisasi Polri adalah manakala praktisi politik menyelipkan kepentingan- kepentingan yang tidak sesuai tujuan organisasi.

Selanjutnya yang terjadi ialah fungsi kepolisian sebagai penegak hukum menjadi kabur dan tidak lebih menjadi alat kepentingan politik tertentu yang merefleksikan kebijakannya dalam perilaku polisi. Dalam posisi demikian polisi mudah tersudut, dituduh mengabaikan kebutuhan dan tujuan moral kolektif. Ironisnya lagi, semua kebijakan itu berada di luar kekuatan Polri untuk mengendalikannya, barangkali untuk memahami sekalipun.

Berada di tengah-tengah arus kekuatan yang cenderung masih berseberangan yaitu penguasa (pemerintah) dan yang dikuasai (masyarakat) dimungkinkan Polri menghadapi pihak yang penguasa secara politis dan didekati oleh pihak penguasa secara ekonomis. Dalam kondisi demikian akan terbentuk hubungan antara penguasa secara politis dan penguasa secara ekonomis terintegrasi secara horizontal yang keputusan-keputusan pentingnya mewarnai wajah polisi.

Di sisi lain, polisi berhadapan dengan pihak masyarakat (subordinat) yang menyalahkan polisi karena dianggap membiarkan keadaan itu terjadi. Munculnya kecemburuan masyarakat sebenarnya karena tekanan-tekanan yang dirasakan akibat mereka menerima kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak memihak kepada dirinya dan kesadaran-kesadaran dominan ataupun kesadaran semu yang dianggap menyimpang dari moral kolektif dari tindakan Polri yang tidak sesuai ideologinya, Tri Brata. Di sinilah dilema polisi, suatu kenyataan ideologinya Tri Brata sebagai nilai-nilai pengikat diri yang bersifat universal dan sekaligus juga bersifat medial.

Ideologi itu berubah menjadi temporal manakala para praktisi politik mencabikcabiknya menjadi serpihan istilah yang digunakan sebagai lembaran-lembaran bendera kelompoknya dan ia berubah menjadi lateral manakala para praktisi politik menerjemahkan ke dalam bahasa yang sesuai tujuan kelompoknya. Yang terjadi selanjutnya ialah ideologi (Tri Brata) menjadi tidak lebih dari pernyataan-pernyataan simbolik yang tidak utuh diimplementasikan dalam perilaku keseharian polisi.

Dapat dikatakan, pekerjaan polisi itu tidak akan berarti jika tanpa dilekati dengan wibawa. Penurunan wibawa polisi merupakan pertanda negatif bagi eksistensi lembaga kepolisian. Masalah itu terjadi manakala masyarakat menuntut polisi menjadi “wasit” yang adil dan tidak memihak dalam menjalankan tugas, namun otoritas kekuasaan merangkak memengaruhi kewenangannya. Dalam kondisi ini polisi mudah tersudut mengabaikan tuntutan masyarakat dan tujuan moral kolektif.

Apalagi semua pengaruh itu berada di luar kendalinya, bahkan untuk memahami sekalipun. Masyarakat pada dasarnya memahami dilema yang dihadapi Polri. Adapun pelecehanpelecehan hingga pembunuhan yang ditujukan pada dirinya pada dasarnya wujud ketakutan dan kekecewaan masyarakat terhadap struktur yang tidak memberikan peluang bagi mereka menyalurkan aspirasi lewat informasi dua arah (dialogis). Masalah wibawa polisi seharusnya disikapi sebagai suatu fenomena yang menunjukkan bahwa Polri sebagai alat negara dan salah satu sarana sosial kontrol dalam sistem sosial dapat dikatakan dalam kondisi rawan.

Inilah keadaan yang oleh Emile Durkheim dikatakan sebagai “anomi”, di mana struktur apa pun yang menyimpang dari konsensus cita-cita dan tujuan bersama secara potensial bersifat labil. Sejauh ini jika Polri tetap konsisten dengan cita-cita dan tujuan bersama Tri Brata, suatu saat akan berhasil melepaskan diri dari struktur yang merantai (mengekang) dirinya. Karena itu, polisi harus menjadi figur teladan di masyarakat karena polisi dalam menjalankan tugas tidak cukup hanya mengandalkan kekuasaan dan pengakuan hukum atas otoritasnya.

Polisi harus orang yang berbudi dan beriman yang perbuatannya dapat memberi pengaruh kepada masyarakat. Ia harus lebih tinggi dan lebih mulia kepribadiannya, bukan seseorang yang merasa berkuasa karena telah diberikan kedudukan untuk menguasai masyarakat, melainkan kuasailah masyarakat secara wajar dengan pancaran wibawa yang melekat pada pribadi polisi sesuai profesinya yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar