Mereformasi
Kepolisian
Marwan
Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 01 Juli 2014
Menyambut
Hari Bhayangkara 1 Juli 2014 beberapa peristiwa yang cenderung menyudutkan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dapat dijadikan indikasi bahwa
Polri masih dalam tahap perbaikan (reformasi).
Peristiwa
tersebut adalah kelambanan mengungkap pelaku kampanye hitam yang sempat
memanas di antara pendukung calon presiden. Reformasi Polri tahap kedua
sampai 2014 ini adalah membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan masyarakat agar mendukung tugas dan
fungsi kepolisian. Tetapi, realitas berkata lain sebab reformasi untuk
membangun partnership building
belum menunjukkan hasil maksimal sehingga reformasi Polri tidak boleh
berhenti.
Lebih
dari itu, tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) merupakan
tugas utama Polri selain mengayomi, melayani, melindungi masyarakat, serta
menegakkan hukum. Malah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memberi
kewenangan strategis bagi Polri misalnya dalam melaksanakan tugas menjaga
kamtibmas dilaksanakan dengan keleluasaan represi. Inilah yang sering
berbenturan dengan kepentingan masyarakat, terutama saat ada aksi unjuk rasa
yang kadang dihadapi dengan kekerasan.
Maka
itu, aparat kepolisian harus punya referensi bagaimana menjaga dan menghargai
penyampaian aspirasi pengunjuk rasa sebagai bagian dari hak asasi manusia
(HAM). Kondisi masyarakat yang cenderung bebas, terbuka, lepas kontrol, dan
ekstrem harus diantisipasi polisi dengan pendekatan persuasif.
Butuh Kesabaran
Ada
ungkapan miring dalam masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur.
Kalaupun ada, pastilah itu polisi tidur dan patung polisi. Bagi anggota Polri
yang jujur dan mengabdi sepenuhnya, tudingan itu jelas menyakitkan. Tetapi,
terpaksa diterima karena hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan
oknum-oknum polisi melakukan pungutan liar, tak peduli itu di jalan atau di
tempat pelayanan surat izin mengemudi (SIM). Itulah wujud dari terbukanya
gambaran tugas polisi yang bisa disaksikan secara kasatmata setiap hari.
Misalnya
saat mengatur arus lalu lintas, melakukan patroli untuk mencegah gangguan
kamtibmas, atau menangkap penjahat. Membangun profesionalitas Polri butuh
kesabaran dan tidak boleh menyakiti hati rakyat. Ini menjadi bagian pekerjaan
rumah bagi polisi dalam kesehariannya yang tentu saja membutuhkan kesabaran,
ketelatenan, kemandirian, dan kemahiran. Dunia kejahatan juga harus diurai
polisi agar tidak semakin meluas dan merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Itu yang menuntut polisi agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama pada kejahatan yang rumit dibuktikan dalam bentuk pembuktian secara
ilmiah (scientific criminal
investigation).
Dalam
kenyataan, niat dan modus operandi penjahat (mens rea) kadang selangkah lebih maju dari kemampuan polisi
sehingga harus diimbangi kualitas sumber daya manusia yang memadai
(profesional). Realitas selama ini, perjalanan mengubah watak dan perilaku
anggota Polri tampak berjalan lamban dan alot. Terutama yang berkaitan dengan
masalah mengubah perilaku manusia atau mengubah kultur lantaran termasuk
pekerjaan raksasa yang berat dan membutuhkan waktu yang amat panjang.
Reformasi kultur yang cukup alot itu tidak selalu dapat dipahami semua orang
tentang bagaimana kesulitan mengubah perilaku dan kultur.
Masyarakat
berhak merasakan ada perubahan sikap, perilaku, dan kultur polisi dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya. Polri harus mandiri, tidak boleh memberi
peluang diintervensi dalam menegakkan hukum. Setiap kebijakan kepolisian yang
menyangkut kamtibmas harus dapat diawasi. Begitu pula soal proses yudisial
seperti penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan harus di bawah kontrol
kejaksaan.
Partisipasi Masyarakat
Setidaknya
Polri harus profesional dalam mengapresiasi tugas kamtibmas agar mampu
menjadi pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Artinya, Polri
harus mampu mengayomi dan melayani masyarakat dengan baik. Kemudian
melindungi masyarakat dalam menata tertib hukum. Formulanya tentu melalui
pendekatan persuasif, bukan dengan ancaman dan represi.
Dalam
reformasi Polri tahap kedua harus mampu membangkitkan partisipasi masyarakat
sebab rasa aman merupakan bagian dari tanggung jawab masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat diberi ruang, kesempatan, dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman
sebagai bagian dari membangun civil society. Betapa tidak sederhananya
pekerjaan mereformasi Polri. Selain mendorong Polri untuk terus memperbaiki
kualitas personil, tetapi masyarakat juga tidak bisa tinggal diam melihat
Polri jalan sendiri kemudian bersikap terima beres.
Kebersamaan
itu menjadi momentum membangun hubungan masyarakat dengan institusi Polri,
sekaligus hubungan warga dan personil polisi. Polri harus mampu membangun
sosok personelnya yang bersahabat dan santun, sementara masyarakat memotivasi
dan menerima Polri sebagai mitra. Kita juga berharap pemerintah dan DPR
memberikan perhatian penuh dengan menganggarkan dana yang memadai dalam
mereformasi Polri.
Misalnya,
peralatan dan kesejahteraan anggota Polri diperbaiki agar tidak selalu
dijadikan alibi atas berbagai dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kondisi yang terbatas bisa menggoda anggota Polri untuk mencari kompensasi
melalui “kerja sampingan” yang merugikan publik atau meminta setoran bawahan.
Gurita penyalahgunaan wewenang harus dipotong sebab lambannya reformasi Polri
tidak boleh disikapi dengan cara jalan pintas.
Selama
gurita itu belum berhasil dipangkas, reformasi, terutama reformasi memperoleh
atau membangun sosok aparat yang bersih, efektif, profesional, akan
terhambat. Tetapi, juga tidak boleh ada pembenaran jika hambatan dan kendala
itu dijadikan alasan untuk tidak serius membangun Polri. Kita tidak boleh
berhenti memotivasi Polri agar berubah ke arah yang lebih baik. Jangan
berhenti mereformasi Polri, dirgahayu
polisi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar