Rabu, 02 Juli 2014

Ancaman Media Sosial terhadap Perkembangan Anak

Ancaman Media Sosial terhadap Perkembangan Anak

Yulina Eva Riany ;  Peneliti dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia
KORAN SINDO, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Anak merupakan investasi masa depan bagi semua orang tua. Karena itu, setiap fase dalam proses perkembangan anak menjadi persoalan penting untuk senantiasa diperhatikan.

Upaya memproteksi anak dari berbagai dampak negatif lingkungan sekitar harus diseimbangkan dengan strategi pendidikan anak yang tetap memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka agar mampu mengeksplorasi, bereksperimen, serta mengenal dunia mereka lebih jauh. Demikian pula ketika anak mulai beranjak remaja, kebutuhan mereka untuk bersosialisasi guna mengenal komunitas luar tetap membutuhkan pantauan dan kewaspadaan yang terukur.

Sebagaimana banyak diketahui, sosialisasi merupakan proses penyesuaian dan pengenalan anak terhadap dunia luar untuk mengasah pengetahuan, kepekaan sosial, dan mematangkan karakter dasar mereka menuju individu yang siap dan matang. Seiring pesatnya revolusi dunia teknologi informasi, proses sosialisasi sering kali tidak ditempuh melalui proses interaksi langsung, melainkan dengan menggunakan alat komunikasi digital yang belakangan memiliki akses tanpa batas untuk mengenal semua aspek, dari yang positif maupun negatif.

Keleluasaan mereka untuk mengakses sumbersumber informasi di dunia maya itu membuka peluang besar bagi proses internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan kepribadian dan karakter dasar anak. Untuk itu, langkah-langkah protektif dan antisipatif menjadi mutlak ditempuh untuk menghindarkan anak dari ragam pengaruh negatif dunia maya yang sering kali lepas dari kendali dan kontrol perhatian para orang tua.

Kemampuan orang tua untuk menyediakan berbagai fasilitas alat komunikasi canggih bagi anak-anak mereka sering kali tidak sepadan dengan kemampuan dan perhatian orang tua dalam memproteksi anakanak dari potensi negatif yang ditimbulkannya. Bagi sebagian orang tua, kemampuan menyediakan fasilitas komunikasi terkini laiknya smartphone atau gadget justru menjadi ajang pamer sekaligus upaya menunjukkan eksistensi untuk menegaskan kelas sosial-ekonomi mereka sebagai orang tua yang mapan secara ekonomi.

Mereka lupa bahwa fasilitas yang diberikan itu tak ubahnya pisau bermata dua (two edges knife), yang tak hanya memudahkan anak-anak mereka mudah bersosialisasi dengan teman sebayanya, tetapi juga berpotensi menikam mereka dari belakang akibat intensitasnya mengeksplorasi isi materi dunia maya yang tidak mendidik. Melalui alat-alat komunikasi super canggih itu, anak-anak akan terjembatani untuk mengeksplorasi persoalan-persoalan sensitif, yang secara materi barangkali tidak tepat atau belum sesuai dengan jenjang umur dan level kedewasaan mereka.

Ambil contoh Jaka, 9, anak seorang teman yang sejak kecil dididik dalam sistem pendidikan di Australia dan belakangan harus pulang ke Indonesia karena mengikuti penugasan orang tuanya, tiba-tiba mengeluh takut dan menolak tidur sendiri di kamarnya. Jaka mengaku ketakutan seusai membaca broadcast cerita dan foto penampakan “hantu” yang dikirim teman-temannya di grup media sosial dan grup komunikasi maya. Selama di Australia, sebagaimana anak-anak belia di usianya, Jaka tidak diperkenankan memiliki akun media.

Dalam konteks ini, Jaka mengalami kejutan budaya sekaligus kegamangan psikologis karena dalam sistem pendidikan dan pergaulan sosial sebelumnya, dirinya relatif tidak terpapar oleh materi-materi irasional yang tidak mendidik. Patut dipahami bahwa dalam masa pertumbuhan di usia anak prasekolah dan sekolah, anak akan cenderung mengeksplorasi daya imajinasi mereka sehingga belum mampu membedakan yang mitos dan fakta. Cerita-cerita horor dan mistis yang berakar pada mitos dan irasionalitas itu akan dengan mudah dipahami sebagai “realitas faktual” dalam ruang imajinasi mereka.

Jika tidak dikontrol, perkembangan daya kritisisme anak akan terhalang oleh materi- materi imajinatif yang tidak mendidik. Selain materi horor, media sosial dan alat-alat komunikasi canggih itu juga memberikan kesempatan besar pada anak untuk terpapar materi seksualitas, sensualitas, serta pornografi yang tidak sesuai dengan level kedewasaan mereka. Materi-materi propaganda dan ekstremisme yang menstimulasi lahirnya neo-fundamentalisme juga menjadi materi lain yang harus diantisipasi.

Belum lagi dampak lain akibat banyaknya software permainan (game) di dalam alat-alat komunikasi tersebut, hingga membuat mereka sering kali terasing oleh dunia dan lingkungan sekitarnya akibat tingginya intensitas bermain digital mereka ketimbang kegiatan bersosialisasi dan berkomunikasi dalam ruang permainan verbal dengan temanteman sebaya mereka.

Keniscayaan Proteksi

Dalam kondisi seperti itu, orang tua harus benar-benar hadir sebagai pihak yang mampu menjaga sekaligus menyeimbangkan setiap dinamika dalam proses perkembangan anak. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilakukan orang tua yang “terpaksa” memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki akun media sosial atau alat-alat komunikasi canggih yang memiliki akses bebas terhadap internet.

Pertama, pada dasarnya orang tua harus bersikap tegas dengan memberikan regulasi jelas kepada anak untuk membatasi penggunaan media internet dan alat-alat komunikasi canggih lainnya sesuai dengan porsi dan kadar kebutuhan masing- masing. Langkah antisipatif ini mutlak dilakukan mengingat sebelum anak menjadi individu yang matang, sikap permisif orang tua justru berpeluang menjadi efek negatif bagi anak.

Sebab anak belum memiliki tingkat kematangan dan pemahaman yang mapan untuk memilah dan menyeleksi materi- materi layak, tidak layak, atau belum layak untuk dikonsumsinya. Karena itu, arahan (parental guidance) menjadi kata kunci bagi keberhasilan anak melalui fase-fase perkembangannya yang aman dan terarah. Kedua, orang tua harus selalu mendampingi dan memberi pengertian kepada anak-anak bahwa setiap informasi yang diterimanya dari dunia maya tidak sepatutnya diterima seutuhnya, ditelan bulat-bulat, melainkan harus melalui daya serap dan seleksi pemikiran yang kritis dan rasional.

Bahkan, nilai kritisisme yang menegaskan sesuatu yang rasional pun belum tentu faktual, juga harus mulai ditanamkan kepada anak sejak dini. Ketiga, orang tua tidak boleh lepas kendali atas apa yang dilakukan dan diperhatikan anakanak mereka yang dalam masa pertumbuhan. Upayakan sikap keterbukaan dalam berkomunikasi melalui diskusi akan segala hal dengan anak sehingga orang tua dapat menghindari sikap tertutup anak dari perhatian orang tuanya.

Jika terpaksa harus memiliki akun media sosial dan menggunakan alat komunikasi super canggih lainnya, langkah protektif dapat dilakukan dengan mewajibkan anak untuk memberikan password kepada orang tua. Keempat, orang tua harus mengetahui persis siapa saja elemen dan pihak-pihak yang berada di sekitar ikatan pertemanan dan pergaulan anak. Pemetaan lingkungan anak itu penting untuk memudahkan orang tua mengantisipasi gaya dan model pergaulan anak, sekaligus mengidentifikasi karakter-karakter orang-orang yang berada di sekitar anaknya.

Dengan mengetahui betul selukbeluk watak dan karakter orang-orang di sekitar anaknya, orang tua dapat memberikan pengarahan yang optimal bagi pembentukan karakter anak, terutama mereka yang sedang beranjak dewasa. Langkah-langkah kecil orang tua ini selanjutnya harus ditopang oleh hadirnya peran negara dalam upaya memproteksi anak-anak dari pengaruh negatif dunia digital. Regulasi atau aturan ketat perlu diberlakukan untuk membedakan segmentasi peran dan materi media yang layak konsumsi berdasarkan level kedewasaan dan kebutuhan masing-masing individu.

Jika pemerintah belum mampu hadir di level itu, orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membentuk karakter mental anak, harus sadar sepenuhnya akan peran ini. Karena itu, dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional (29 Juni), penulis berusaha mengingatkan para orang tua agar jangan bangga menjadi orang tua yang hanya mampu menyediakan fasilitas komunikasi canggih bagi anak-anaknya jika pada akhirnya belum menghadirkan peran kontrol dan arahan yang tepat dan proporsional pada anak.
Jika orang tua cenderung permisif dan lepas kendali, pada akhirnya fasilitasfasilitas mewah itulah yang justru berpotensi menggelincirkan dan menjerumuskan anak-anak kita pada ancaman dekadensi moral dan salah pergaulan hingga meng-hambat terwujudnya generasi muda nusantara yang kritis dan konstruktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar