Ancaman
Media Sosial terhadap Perkembangan Anak
Yulina
Eva Riany ; Peneliti dan
Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi
Kesehatan di The University of Queensland, Australia
|
KORAN
SINDO, 01 Juli 2014
Anak
merupakan investasi masa depan bagi semua orang tua. Karena itu, setiap fase
dalam proses perkembangan anak menjadi persoalan penting untuk senantiasa
diperhatikan.
Upaya
memproteksi anak dari berbagai dampak negatif lingkungan sekitar harus
diseimbangkan dengan strategi pendidikan anak yang tetap memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada mereka agar mampu mengeksplorasi,
bereksperimen, serta mengenal dunia mereka lebih jauh. Demikian pula ketika
anak mulai beranjak remaja, kebutuhan mereka untuk bersosialisasi guna
mengenal komunitas luar tetap membutuhkan pantauan dan kewaspadaan yang
terukur.
Sebagaimana
banyak diketahui, sosialisasi merupakan proses penyesuaian dan pengenalan
anak terhadap dunia luar untuk mengasah pengetahuan, kepekaan sosial, dan
mematangkan karakter dasar mereka menuju individu yang siap dan matang.
Seiring pesatnya revolusi dunia teknologi informasi, proses sosialisasi
sering kali tidak ditempuh melalui proses interaksi langsung, melainkan
dengan menggunakan alat komunikasi digital yang belakangan memiliki akses
tanpa batas untuk mengenal semua aspek, dari yang positif maupun negatif.
Keleluasaan
mereka untuk mengakses sumbersumber informasi di dunia maya itu membuka
peluang besar bagi proses internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan
kepribadian dan karakter dasar anak. Untuk itu, langkah-langkah protektif dan
antisipatif menjadi mutlak ditempuh untuk menghindarkan anak dari ragam
pengaruh negatif dunia maya yang sering kali lepas dari kendali dan kontrol
perhatian para orang tua.
Kemampuan
orang tua untuk menyediakan berbagai fasilitas alat komunikasi canggih bagi
anak-anak mereka sering kali tidak sepadan dengan kemampuan dan perhatian orang
tua dalam memproteksi anakanak dari potensi negatif yang ditimbulkannya. Bagi
sebagian orang tua, kemampuan menyediakan fasilitas komunikasi terkini
laiknya smartphone atau gadget justru menjadi ajang pamer sekaligus upaya
menunjukkan eksistensi untuk menegaskan kelas sosial-ekonomi mereka sebagai
orang tua yang mapan secara ekonomi.
Mereka
lupa bahwa fasilitas yang diberikan itu tak ubahnya pisau bermata dua (two edges knife), yang tak hanya
memudahkan anak-anak mereka mudah bersosialisasi dengan teman sebayanya,
tetapi juga berpotensi menikam mereka dari belakang akibat intensitasnya
mengeksplorasi isi materi dunia maya yang tidak mendidik. Melalui alat-alat
komunikasi super canggih itu, anak-anak akan terjembatani untuk
mengeksplorasi persoalan-persoalan sensitif, yang secara materi barangkali
tidak tepat atau belum sesuai dengan jenjang umur dan level kedewasaan
mereka.
Ambil
contoh Jaka, 9, anak seorang teman yang sejak kecil dididik dalam sistem
pendidikan di Australia dan belakangan harus pulang ke Indonesia karena
mengikuti penugasan orang tuanya, tiba-tiba mengeluh takut dan menolak tidur
sendiri di kamarnya. Jaka mengaku ketakutan seusai membaca broadcast cerita dan foto penampakan
“hantu” yang dikirim teman-temannya di grup media sosial dan grup komunikasi
maya. Selama di Australia, sebagaimana anak-anak belia di usianya, Jaka tidak
diperkenankan memiliki akun media.
Dalam
konteks ini, Jaka mengalami kejutan budaya sekaligus kegamangan psikologis
karena dalam sistem pendidikan dan pergaulan sosial sebelumnya, dirinya
relatif tidak terpapar oleh materi-materi irasional yang tidak mendidik.
Patut dipahami bahwa dalam masa pertumbuhan di usia anak prasekolah dan
sekolah, anak akan cenderung mengeksplorasi daya imajinasi mereka sehingga
belum mampu membedakan yang mitos dan fakta. Cerita-cerita horor dan mistis
yang berakar pada mitos dan irasionalitas itu akan dengan mudah dipahami
sebagai “realitas faktual” dalam ruang imajinasi mereka.
Jika
tidak dikontrol, perkembangan daya kritisisme anak akan terhalang oleh
materi- materi imajinatif yang tidak mendidik. Selain materi horor, media
sosial dan alat-alat komunikasi canggih itu juga memberikan kesempatan besar
pada anak untuk terpapar materi seksualitas, sensualitas, serta pornografi
yang tidak sesuai dengan level kedewasaan mereka. Materi-materi propaganda
dan ekstremisme yang menstimulasi lahirnya neo-fundamentalisme juga menjadi
materi lain yang harus diantisipasi.
Belum
lagi dampak lain akibat banyaknya software
permainan (game) di dalam alat-alat
komunikasi tersebut, hingga membuat mereka sering kali terasing oleh dunia
dan lingkungan sekitarnya akibat tingginya intensitas bermain digital mereka
ketimbang kegiatan bersosialisasi dan berkomunikasi dalam ruang permainan
verbal dengan temanteman sebaya mereka.
Keniscayaan Proteksi
Dalam
kondisi seperti itu, orang tua harus benar-benar hadir sebagai pihak yang
mampu menjaga sekaligus menyeimbangkan setiap dinamika dalam proses perkembangan
anak. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilakukan orang tua yang
“terpaksa” memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki akun media sosial
atau alat-alat komunikasi canggih yang memiliki akses bebas terhadap
internet.
Pertama,
pada dasarnya orang tua harus bersikap tegas dengan memberikan regulasi jelas
kepada anak untuk membatasi penggunaan media internet dan alat-alat
komunikasi canggih lainnya sesuai dengan porsi dan kadar kebutuhan masing-
masing. Langkah antisipatif ini mutlak dilakukan mengingat sebelum anak
menjadi individu yang matang, sikap permisif orang tua justru berpeluang
menjadi efek negatif bagi anak.
Sebab
anak belum memiliki tingkat kematangan dan pemahaman yang mapan untuk memilah
dan menyeleksi materi- materi layak, tidak layak, atau belum layak untuk
dikonsumsinya. Karena itu, arahan (parental
guidance) menjadi kata kunci bagi keberhasilan anak melalui fase-fase
perkembangannya yang aman dan terarah. Kedua, orang tua harus selalu
mendampingi dan memberi pengertian kepada anak-anak bahwa setiap informasi
yang diterimanya dari dunia maya tidak sepatutnya diterima seutuhnya, ditelan
bulat-bulat, melainkan harus melalui daya serap dan seleksi pemikiran yang
kritis dan rasional.
Bahkan,
nilai kritisisme yang menegaskan sesuatu yang rasional pun belum tentu
faktual, juga harus mulai ditanamkan kepada anak sejak dini. Ketiga, orang
tua tidak boleh lepas kendali atas apa yang dilakukan dan diperhatikan
anakanak mereka yang dalam masa pertumbuhan. Upayakan sikap keterbukaan dalam
berkomunikasi melalui diskusi akan segala hal dengan anak sehingga orang tua
dapat menghindari sikap tertutup anak dari perhatian orang tuanya.
Jika
terpaksa harus memiliki akun media sosial dan menggunakan alat komunikasi
super canggih lainnya, langkah protektif dapat dilakukan dengan mewajibkan
anak untuk memberikan password kepada
orang tua. Keempat, orang tua harus mengetahui persis siapa saja elemen dan
pihak-pihak yang berada di sekitar ikatan pertemanan dan pergaulan anak.
Pemetaan lingkungan anak itu penting untuk memudahkan orang tua
mengantisipasi gaya dan model pergaulan anak, sekaligus mengidentifikasi
karakter-karakter orang-orang yang berada di sekitar anaknya.
Dengan
mengetahui betul selukbeluk watak dan karakter orang-orang di sekitar
anaknya, orang tua dapat memberikan pengarahan yang optimal bagi pembentukan
karakter anak, terutama mereka yang sedang beranjak dewasa. Langkah-langkah
kecil orang tua ini selanjutnya harus ditopang oleh hadirnya peran negara
dalam upaya memproteksi anak-anak dari pengaruh negatif dunia digital.
Regulasi atau aturan ketat perlu diberlakukan untuk membedakan segmentasi
peran dan materi media yang layak konsumsi berdasarkan level kedewasaan dan
kebutuhan masing-masing individu.
Jika
pemerintah belum mampu hadir di level itu, orang tua sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab dalam membentuk karakter mental anak, harus sadar
sepenuhnya akan peran ini. Karena itu, dalam rangka memperingati Hari
Keluarga Nasional (29 Juni), penulis berusaha mengingatkan para orang tua
agar jangan bangga menjadi orang tua yang hanya mampu menyediakan fasilitas
komunikasi canggih bagi anak-anaknya jika pada akhirnya belum menghadirkan
peran kontrol dan arahan yang tepat dan proporsional pada anak.
Jika
orang tua cenderung permisif dan lepas kendali, pada akhirnya
fasilitasfasilitas mewah itulah yang justru berpotensi menggelincirkan dan
menjerumuskan anak-anak kita pada ancaman dekadensi moral dan salah pergaulan
hingga meng-hambat terwujudnya generasi muda nusantara yang kritis dan
konstruktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar