Mereformasi
Reformasi Polri
Adnan
Pandu Praja ; Komisioner KPK;
Mantan Komisioner Kompolnas
|
KOMPAS,
01 Juli 2014
SUDAH banyak program Reformasi
sejak Polri pisah dari TNI, termasuk adanya Kompolnas. Namun, masyarakat
belum merasakan manfaatnya secara signifikan. Padahal, ada tiga potensi
ancaman serius keamanan nasional yang akan dihadapi Polri.
Pertama, perseteruan
purnawirawan TNI antar-pendukung pasangan capres semakin meruncing. Ini bisa
meninggalkan luka mendalam pasca pilpres, yang dapat merembet menjadi konflik
horizontal di lingkungan perwira TNI aktif. Sejarah menunjukkan, konflik
horizontal di Indonesia tidak jarang disebabkan konflik di tubuh TNI dan
masyarakat jadi korban tak berdosa. Tiada harapan perlindungan selain kepada
Polri.
Kedua, politik uang pada
pemilihan legislatif kemarin diyakini banyak pihak akan membuat kinerja
anggota Dewan terkait berusaha mengembalikan modalnya dengan cara koruptif.
Ketiga, konsekuensi pasar bebas
ASEAN 2015 akan membuat Indonesia kebanjiran produk asing dan orang asing.
Akibatnya, eskalasi kejahatan trans-nasional akan meningkat tajam.
Siapkah Polri menghadapi itu
semua?
Integritas rendah
Berdasarkan Survei Integritas
KPK 2013, Indeks Integritas Polri 6,63 dari skala 0 sampai 10. Posisi Polri
di bawah Mahkamah Agung dengan indeks integritas 7,10. Hasil survei KPK masih
lebih baik dari hasil survei Transparency
International tentang Global
Corruption Barometer 2013 yang menempatkan Polri pada posisi buncit
dibandingkan kepolisian di lingkungan negara ASEAN. Oleh karena itu, tidak
ada pilihan selain mereformasi kembali reformasi Polri yang sedang
berlangsung, yaitu reformasi struktural, instrumental, dan kultural.
Reformasi instrumental perlu
direformasi kembali. Pertama, transparansi proses penyidikan dengan
menyampaikan perkembangan penyidikan kepada publik. Memang ada pasal dalam
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 yang
memungkinkan penyidik merahasiakan perkembangan kasus apabila dikhawatirkan
menghambat proses penyidikan. Besaran informasi yang dirahasiakan menjadi
diskresi penyidik.
Semakin besar permainan kasus
dapat dilihat dari banyaknya informasi yang dirahasiakan. Sebaliknya, semakin
banyak informasi penanganan kasus yang disampaikan kepada publik akan membuat
penanganan kasus lebih profesional. Jadikan media sebagai alat kontrol
kinerja penyidikan sekaligus perisai intervensi karena Survei Kompolnas 2010
mengungkapkan, 90 persen penyidik mengaku diintervensi dalam menangani kasus.
Transparansi penanganan kasus
akan membuat mereka yang berniat mengintervensi berpikir seribu kali. Untuk
menjadi transparan tidak perlu anggaran khusus. Jangan pernah gunakan uang
untuk mendongkrak citra dalam penanganan kasus. Korban ataupun pelapor akan
dapat menerima apa pun hasil penyidikan apabila dilaksanakan secara
profesional.
Kedua, penyidik agar direkrut
dari berbagai latar belakang keilmuan sejalan dengan meningkatnya kualitas
kejahatan yang bersifat sistemik, multidisiplin, dan transnasional. Sudah
bukan masanya lagi monopoli profesi penyidik. Zaman sudah berubah. Dalam
menyidik kasus korupsi, misalnya, auditor memiliki peran sangat menonjol.
Penyidik KPK bahkan ada yang berlatar belakang pendidikan sastra Arab.
Ketiga, peran inspektorat
pengawas agar diperkuat sebagai garda terdepan yang akan menjamin kualitas
penyidikan. Di pundak inspektorat pengawasan, kepercayaan publik terhadap
Polri akan terbangun.
Untuk membangun akuntabilitas
pemeriksaan pelanggaran disiplin, perwakilan masyarakat yang berintegritas
perlu dilibatkan sebagai anggota majelis hakim. Jumlah mereka harus lebih
dominan dibandingkan anggota Polri. Argumennya, pertama, pihak eksternal
steril dari ikatan emosional masa lalu dan masa datang. Kedua, mereka
representasi masyarakat pemberi mandat. Putusan sidang pelanggaran disiplin
harus disampaikan secara terbuka kepada publik.
Orientasi penyidikan
Reformasi kultural yang perlu
direformasi adalah orientasi penyidikan. Orientasi penyidikan semata untuk
membangun kepercayaan publik sesuai tahapan kedua quick wins yang sedang berlangsung di Polri, yaitu trust building. Kepercayaan publik
adalah buah dari keterbukaan proses penyidikan dalam waktu yang panjang walau
sangat fluktuatif.
Perubahan mindset Polri bukan
militer tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus bisa diwujudkan dalam
kebijakan, misalnya dalam proses pemilihan kepala kepolisian daerah
(kapolda). Kapolda adalah jabatan sipil setingkat gubernur. Jika calon
nonkarier belum bisa diterima sesuai semangat UU Aparatur Sipil Negara No
5/2014, setidaknya seleksi pemilihan kapolda dilakukan secara terbuka dengan
melibatkan wakil masyarakat agar anggota Polri terbaik saja yang terpilih.
Setiap perubahan kebijakan akan
menimbulkan resistensi, khususnya oleh mereka yang telah lama berada di zona
nyaman. Pengalaman KPK selama ini dengan tidak kompromi terhadap siapa pun
sayogianya dapat menjadi perbandingan berharga agar Polri terlepas dari
jebakan kultural yang menyandera reformasi Polri.
Di atas itu semua, untuk menjadi
akuntabel, transparan dan berwajah sipil perlu komitmen kuat presiden agar
Polri dihormati dan disegani. Bagaimanapun, Polri tetap bagian dari
eksekutif. Diskresi yang lahir karena intervensi harus bisa diintervensi
kembali tanpa harus menunggu korban terlebih dahulu. Jangan setengah hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar