Kamis, 03 Juli 2014

Mereformasi Reformasi Polri

Mereformasi Reformasi Polri

Adnan Pandu Praja ;  Komisioner KPK; Mantan Komisioner Kompolnas
KOMPAS, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SUDAH banyak program Reformasi sejak Polri pisah dari TNI, termasuk adanya Kompolnas. Namun, masyarakat belum merasakan manfaatnya secara signifikan. Padahal, ada tiga potensi ancaman serius keamanan nasional yang akan dihadapi Polri.

Pertama, perseteruan purnawirawan TNI antar-pendukung pasangan capres semakin meruncing. Ini bisa meninggalkan luka mendalam pasca pilpres, yang dapat merembet menjadi konflik horizontal di lingkungan perwira TNI aktif. Sejarah menunjukkan, konflik horizontal di Indonesia tidak jarang disebabkan konflik di tubuh TNI dan masyarakat jadi korban tak berdosa. Tiada harapan perlindungan selain kepada Polri.

Kedua, politik uang pada pemilihan legislatif kemarin diyakini banyak pihak akan membuat kinerja anggota Dewan terkait berusaha mengembalikan modalnya dengan cara koruptif.

Ketiga, konsekuensi pasar bebas ASEAN 2015 akan membuat Indonesia kebanjiran produk asing dan orang asing. Akibatnya, eskalasi kejahatan trans-nasional akan meningkat tajam.

Siapkah Polri menghadapi itu semua?

Integritas rendah

Berdasarkan Survei Integritas KPK 2013, Indeks Integritas Polri 6,63 dari skala 0 sampai 10. Posisi Polri di bawah Mahkamah Agung dengan indeks integritas 7,10. Hasil survei KPK masih lebih baik dari hasil survei Transparency International tentang Global Corruption Barometer 2013 yang menempatkan Polri pada posisi buncit dibandingkan kepolisian di lingkungan negara ASEAN. Oleh karena itu, tidak ada pilihan selain mereformasi kembali reformasi Polri yang sedang berlangsung, yaitu reformasi struktural, instrumental, dan kultural.

Reformasi instrumental perlu direformasi kembali. Pertama, transparansi proses penyidikan dengan menyampaikan perkembangan penyidikan kepada publik. Memang ada pasal dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 yang memungkinkan penyidik merahasiakan perkembangan kasus apabila dikhawatirkan menghambat proses penyidikan. Besaran informasi yang dirahasiakan menjadi diskresi penyidik.

Semakin besar permainan kasus dapat dilihat dari banyaknya informasi yang dirahasiakan. Sebaliknya, semakin banyak informasi penanganan kasus yang disampaikan kepada publik akan membuat penanganan kasus lebih profesional. Jadikan media sebagai alat kontrol kinerja penyidikan sekaligus perisai intervensi karena Survei Kompolnas 2010 mengungkapkan, 90 persen penyidik mengaku diintervensi dalam menangani kasus.

Transparansi penanganan kasus akan membuat mereka yang berniat mengintervensi berpikir seribu kali. Untuk menjadi transparan tidak perlu anggaran khusus. Jangan pernah gunakan uang untuk mendongkrak citra dalam penanganan kasus. Korban ataupun pelapor akan dapat menerima apa pun hasil penyidikan apabila dilaksanakan secara profesional.

Kedua, penyidik agar direkrut dari berbagai latar belakang keilmuan sejalan dengan meningkatnya kualitas kejahatan yang bersifat sistemik, multidisiplin, dan transnasional. Sudah bukan masanya lagi monopoli profesi penyidik. Zaman sudah berubah. Dalam menyidik kasus korupsi, misalnya, auditor memiliki peran sangat menonjol. Penyidik KPK bahkan ada yang berlatar belakang pendidikan sastra Arab.

Ketiga, peran inspektorat pengawas agar diperkuat sebagai garda terdepan yang akan menjamin kualitas penyidikan. Di pundak inspektorat pengawasan, kepercayaan publik terhadap Polri akan terbangun.

Untuk membangun akuntabilitas pemeriksaan pelanggaran disiplin, perwakilan masyarakat yang berintegritas perlu dilibatkan sebagai anggota majelis hakim. Jumlah mereka harus lebih dominan dibandingkan anggota Polri. Argumennya, pertama, pihak eksternal steril dari ikatan emosional masa lalu dan masa datang. Kedua, mereka representasi masyarakat pemberi mandat. Putusan sidang pelanggaran disiplin harus disampaikan secara terbuka kepada publik.

Orientasi penyidikan

Reformasi kultural yang perlu direformasi adalah orientasi penyidikan. Orientasi penyidikan semata untuk membangun kepercayaan publik sesuai tahapan kedua quick wins yang sedang berlangsung di Polri, yaitu trust building. Kepercayaan publik adalah buah dari keterbukaan proses penyidikan dalam waktu yang panjang walau sangat fluktuatif.

Perubahan mindset Polri bukan militer tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus bisa diwujudkan dalam kebijakan, misalnya dalam proses pemilihan kepala kepolisian daerah (kapolda). Kapolda adalah jabatan sipil setingkat gubernur. Jika calon nonkarier belum bisa diterima sesuai semangat UU Aparatur Sipil Negara No 5/2014, setidaknya seleksi pemilihan kapolda dilakukan secara terbuka dengan melibatkan wakil masyarakat agar anggota Polri terbaik saja yang terpilih.

Setiap perubahan kebijakan akan menimbulkan resistensi, khususnya oleh mereka yang telah lama berada di zona nyaman. Pengalaman KPK selama ini dengan tidak kompromi terhadap siapa pun sayogianya dapat menjadi perbandingan berharga agar Polri terlepas dari jebakan kultural yang menyandera reformasi Polri.

Di atas itu semua, untuk menjadi akuntabel, transparan dan berwajah sipil perlu komitmen kuat presiden agar Polri dihormati dan disegani. Bagaimanapun, Polri tetap bagian dari eksekutif. Diskresi yang lahir karena intervensi harus bisa diintervensi kembali tanpa harus menunggu korban terlebih dahulu. Jangan setengah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar