Kamis, 03 Juli 2014

Iptek, Politik, dan Capres

Iptek, Politik, dan Capres

Dedy Saputra  ;  Kepala Bidang Analisis Kelembagaan Iptek
Kementerian Riset dan Teknologi
MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) membuat terobo san dengan mengadakan acara debat calon wakil presiden (cawapres) bertemakan Pembangunan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dilaksanakan Minggu (29/6). Meskipun yang berdebat `hanya' kandidat cawapres, dipilihnya tema SDM dan Iptek merupakan sebuah terobosan karena isu tersebut, khususnya iptek, belum banyak dibahas baik dalam kampanye maupun penyampaian visi dan misi capres dan cawapres. Iptek Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada dalam titik nadir karena berbagai aspek dan indikator yang terkait dengan iptek sangat rendah. Salah satu hal yang menyebabkan hal tersebut ialah kurang perhatiannya pemimpin bangsa ini terhadap upaya memajukan iptek dan aplikasinya terhadap pembangunan bangsa. Karena itu, kepemimpinan Indonesia di tahun mendatang sangat menentukan masa depan kemajuan iptek Indonesia.

Iptek dan politik

Termarginalkannya iptek dalam politik Indonesia sebenarnya sudah dirasakan sejak awal bergulirnya kegiatan pemilu. Bila melihat visi dan misi partai politik (parpol) yang berpartisipasi dalam Pemilu 2014, hanya sedikit yang memasukkan iptek sebagai bagian dari platform mereka. Demikian halnya dalam kampanye pemilu legislatif lalu, boleh dibilang tidak ada seorang caleg pun yang mengusung isu iptek untuk menarik konstituennya. Bahkan dalam masa kampanye capres dan cawapres sebelumnya, kedua pasangan, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, dalam pemaparan maupun pidato-pidato mereka di berbagai kesempatan tidak pernah menyinggung strategi yang akan dilakukan dalam memajukan iptek nasional.

Padahal, di negara lain iptek merupakan isu penting yang mesti diangkat dalam ranah politik karena bagaimanapun iptek memiliki multiplier effect terhadap sektor lainnya. Dalam pemilu Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, iptek menjadi isu perdebatan di antara dua kandidat presiden AS saat itu, yaitu Mitt Romney dan Barack Hussein Obama. Melalui visi yang mereka tawarkan, keduanya berusaha meyakinkan publik AS akan pentingnya iptek untuk merebut kembali kejayaan, bukan dengan kekerasan seperti citra yang melekat pada AS selama ini.

Dalam konstelasi politik, kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perkembangan iptek di Tanah Air sebenarnya sudah dirasakan dalam satu dasawarsa terakhir, khususnya di era pascareformasi. Iptek tidak lagi menjadi sektor/bidang prioritas karena tertutupi oleh isu lainnya seperti pemberantasan korupsi dan isu politis lainnya. Hal itu dapat terlihat dari adanya penurunan alokasi anggaran iptek yang cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Di era pemerintahan Soeharto (Orde Baru), anggaran iptek kita rata-rata mencapai 0,5% dari produk domestik bruto (PDB). Ironisnya setelah lebih dari 10 tahun reformasi, anggaran iptek kita masih berkisar 0,09%-0,1% dari PDB. Sementara itu, negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan India memiliki anggaran iptek lebih dari 0,5% dari PDB.

Mengapa penting?

Sudah tidak terbantahkan lagi, bahwa iptek merupakan salah satu unsur penting di dalam membangun dan memajukan suatu bangsa. Dengan iptek, suatu bangsa dapat secara efektif mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki dan pada akhirnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian atau sering dikenal dengan perekonomian berbasis teknologi (technology-based economics). Negara seperti Jepang, Korea, dan Taiwan merupakan bukti empiris bagaimana iptek telah berperan di dalam menun jang kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, dengan penguasaan iptek yang mumpuni, negara-negara tersebut mampu menyejahterakan masyarakat mereka.

Dalam konteks Indonesia, iptek sebenarnya sangat penting dalam menjawab persoalan yang dihadapi saat ini, seperti untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, bidang kesehatan, mengurangi kecelakaan transportasi, antisipasi bencana alam, hingga peningkatan prestasi di bidang olahraga. Karena itu, upaya untuk memajukan iptek nasional harus menjadi prioritas untuk pembangunan sekaligus meningkatkan kesejahteraan bangsa. Terlebih lagi, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah serta sumber daya manusia yang kualitasnya tidak kalah dari bangsa lain.

Dengan kondisi tersebut, sudah seyogianya bangsa Indonesia dapat menyejajarkan diri di bidang iptek dengan bangsa lain. Namun, kenyataannya kemampuan dan penguasaan iptek Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain bahkan di kawasan ASEAN. Menurut UNDP, ketertinggalan Indonesia tidak hanya dalam aspek percepatan teknologi (technology achievement), tetapi juga dalam penyerapan teknologi (technology absorption). 

Kondisi itu juga berdampak terhadap kinerja daya saing negara di mata 
internasional. World Economic Forum (WEF) dalam laporannya tentang The Global Competitiveness Report 2013-2014 atau laporan daya saing global menempatkan posisi Indonesia pada posisi 38. Meskipun posisi itu merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya (50), posisi daya saing Indonesia masih tertinggal dari Malaysia (24) dan Thailand (37).

Dalam bukunya berjudul Kekuatan Daya Saing Indonesia (2008), mantan Menristek Zuhal berpendapat bahwa `tantangan terberat kita adalah bagaimana membangun kepemimpinan yang m visioner. Dan itu harus ada orang v yang mampu menempatkan iptek pada dan prioritas yang tinggi'. Itulah sebabnya, dalam Pilpres 2014 ini, kita berharap tidak hanya disuguhi sosok dan rekam jejak para capres-cawapres, tetapi juga pemikiran visioner mereka untuk menjawab persoalan bangsa saat ini, termasuk pemanfaatan iptek untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Kita mungkin dapat becermin dari keberhasilan pemimpin di negara lain dalam memajukan iptek karena visi dan keberpihakan mereka terhadap iptek, seperti Abdul Kalam di India, Mahathir Mohamad di Malaysia, ataupun Bhumibol Adulyadej di Thailand. Presiden Abdul Kalam membuat India menjadi negara yang disegani dalam persenjataan dan ruang angkasa. Selain itu, Kalam sukses membawa India menuju kemandirian teknologi dalam pengembangan perangkat lunak (software) open source yang memungkinkan mengurangi ketergantungan terhadap produk dari luar.

Malaysia yang pernah memiliki pemimpin visioner, Mahathir, berhasil meletakkan dasar-dasar kebangkitan iptek di Malaysia melalui Visi 2020-nya, dengan membangun konsep multimedia super corridor (MSC). Thailand juga cukup beruntung memiliki Raja Bhumibol Adulyadedj yang sangat menaruh perhatian terhadap bidang pertanian. Hasilnya hingga kini `Negeri Gajah Putih' tersebut terus menghasilkan produkproduk pertanian yang inovatif dan berkualitas dan bersaing di mancanegara.

Sebagai catatan, pada 2050 studi UNDP menempatkan Indonesia sebagai major player bersama India dan Tiongkok di Asia Pasifik. McKinsey Global Institute juga memprediksi Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada 2030. Tanpa kepemimpinan yang visioner, mustahil visi dan titik-titik cerah tersebut akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar