Iptek,
Politik, dan Capres
Dedy
Saputra ; Kepala Bidang Analisis Kelembagaan Iptek
Kementerian Riset dan
Teknologi
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2014
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) membuat
terobo san dengan mengadakan acara debat calon wakil presiden (cawapres)
bertemakan Pembangunan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang dilaksanakan Minggu (29/6). Meskipun yang berdebat `hanya'
kandidat cawapres, dipilihnya tema SDM dan Iptek merupakan sebuah terobosan
karena isu tersebut, khususnya iptek, belum banyak dibahas baik dalam
kampanye maupun penyampaian visi dan misi capres dan cawapres. Iptek
Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada dalam titik nadir karena berbagai
aspek dan indikator yang terkait dengan iptek sangat rendah. Salah satu hal
yang menyebabkan hal tersebut ialah kurang perhatiannya pemimpin bangsa ini
terhadap upaya memajukan iptek dan aplikasinya terhadap pembangunan bangsa.
Karena itu, kepemimpinan Indonesia di tahun mendatang sangat menentukan masa
depan kemajuan iptek Indonesia.
Iptek dan politik
Termarginalkannya iptek dalam
politik Indonesia sebenarnya sudah dirasakan sejak awal bergulirnya kegiatan
pemilu. Bila melihat visi dan misi partai politik (parpol) yang
berpartisipasi dalam Pemilu 2014, hanya sedikit yang memasukkan iptek sebagai
bagian dari platform mereka. Demikian halnya dalam kampanye pemilu legislatif
lalu, boleh dibilang tidak ada seorang caleg pun yang mengusung isu iptek
untuk menarik konstituennya. Bahkan dalam masa kampanye capres dan cawapres
sebelumnya, kedua pasangan, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, dalam
pemaparan maupun pidato-pidato mereka di berbagai kesempatan tidak pernah
menyinggung strategi yang akan dilakukan dalam memajukan iptek nasional.
Padahal, di negara lain iptek
merupakan isu penting yang mesti diangkat dalam ranah politik karena
bagaimanapun iptek memiliki multiplier
effect terhadap sektor lainnya. Dalam pemilu Amerika Serikat (AS)
beberapa waktu lalu, iptek menjadi isu perdebatan di antara dua kandidat
presiden AS saat itu, yaitu Mitt Romney dan Barack Hussein Obama. Melalui
visi yang mereka tawarkan, keduanya berusaha meyakinkan publik AS akan
pentingnya iptek untuk merebut kembali kejayaan, bukan dengan kekerasan
seperti citra yang melekat pada AS selama ini.
Dalam konstelasi politik,
kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perkembangan iptek di Tanah Air
sebenarnya sudah dirasakan dalam satu dasawarsa terakhir, khususnya di era
pascareformasi. Iptek tidak lagi menjadi sektor/bidang prioritas karena
tertutupi oleh isu lainnya seperti pemberantasan korupsi dan isu politis
lainnya. Hal itu dapat terlihat dari adanya penurunan alokasi anggaran iptek
yang cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Di era pemerintahan
Soeharto (Orde Baru), anggaran iptek kita rata-rata mencapai 0,5% dari produk
domestik bruto (PDB). Ironisnya setelah lebih dari 10 tahun reformasi,
anggaran iptek kita masih berkisar 0,09%-0,1% dari PDB. Sementara itu, negara
lain seperti Malaysia, Thailand, dan India memiliki anggaran iptek lebih dari
0,5% dari PDB.
Mengapa penting?
Sudah tidak terbantahkan lagi,
bahwa iptek merupakan salah satu unsur penting di dalam membangun dan
memajukan suatu bangsa. Dengan iptek, suatu bangsa dapat secara efektif
mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki dan pada akhirnya
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian atau sering
dikenal dengan perekonomian berbasis teknologi (technology-based economics). Negara seperti Jepang, Korea, dan
Taiwan merupakan bukti empiris bagaimana iptek telah berperan di dalam menun
jang kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Meskipun tidak memiliki sumber daya
alam yang memadai, dengan penguasaan iptek yang mumpuni, negara-negara
tersebut mampu menyejahterakan masyarakat mereka.
Dalam konteks Indonesia, iptek
sebenarnya sangat penting dalam menjawab persoalan yang dihadapi saat ini,
seperti untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, bidang
kesehatan, mengurangi kecelakaan transportasi, antisipasi bencana alam,
hingga peningkatan prestasi di bidang olahraga. Karena itu, upaya untuk
memajukan iptek nasional harus menjadi prioritas untuk pembangunan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Terlebih lagi, Indonesia memiliki potensi
sumber daya alam yang berlimpah serta sumber daya manusia yang kualitasnya
tidak kalah dari bangsa lain.
Dengan kondisi tersebut, sudah
seyogianya bangsa Indonesia dapat menyejajarkan diri di bidang iptek dengan
bangsa lain. Namun, kenyataannya kemampuan dan penguasaan iptek Indonesia
masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain bahkan di kawasan
ASEAN. Menurut UNDP, ketertinggalan Indonesia tidak hanya dalam aspek
percepatan teknologi (technology
achievement), tetapi juga dalam penyerapan teknologi (technology absorption).
Kondisi itu
juga berdampak terhadap kinerja daya saing negara di mata
internasional. World Economic Forum (WEF) dalam
laporannya tentang The Global
Competitiveness Report 2013-2014 atau laporan daya saing global
menempatkan posisi Indonesia pada posisi 38. Meskipun posisi itu merupakan
peningkatan dari tahun sebelumnya (50), posisi daya saing Indonesia masih
tertinggal dari Malaysia (24) dan Thailand (37).
Dalam bukunya berjudul Kekuatan Daya Saing Indonesia (2008),
mantan Menristek Zuhal berpendapat bahwa `tantangan terberat kita adalah
bagaimana membangun kepemimpinan yang m visioner. Dan itu harus ada orang v
yang mampu menempatkan iptek pada dan prioritas yang tinggi'. Itulah
sebabnya, dalam Pilpres 2014 ini, kita berharap tidak hanya disuguhi sosok
dan rekam jejak para capres-cawapres, tetapi juga pemikiran visioner mereka
untuk menjawab persoalan bangsa saat ini, termasuk pemanfaatan iptek untuk
meningkatkan daya saing bangsa.
Kita mungkin dapat becermin dari
keberhasilan pemimpin di negara lain dalam memajukan iptek karena visi dan
keberpihakan mereka terhadap iptek, seperti Abdul Kalam di India, Mahathir
Mohamad di Malaysia, ataupun Bhumibol Adulyadej di Thailand. Presiden Abdul
Kalam membuat India menjadi negara yang disegani dalam persenjataan dan ruang
angkasa. Selain itu, Kalam sukses membawa India menuju kemandirian teknologi
dalam pengembangan perangkat lunak (software)
open source yang memungkinkan
mengurangi ketergantungan terhadap produk dari luar.
Malaysia yang pernah memiliki
pemimpin visioner, Mahathir, berhasil meletakkan dasar-dasar kebangkitan
iptek di Malaysia melalui Visi 2020-nya, dengan membangun konsep multimedia
super corridor (MSC). Thailand juga cukup beruntung memiliki Raja Bhumibol
Adulyadedj yang sangat menaruh perhatian terhadap bidang pertanian. Hasilnya
hingga kini `Negeri Gajah Putih' tersebut terus menghasilkan produkproduk
pertanian yang inovatif dan berkualitas dan bersaing di mancanegara.
Sebagai catatan, pada 2050 studi
UNDP menempatkan Indonesia sebagai major player bersama India dan Tiongkok di
Asia Pasifik. McKinsey Global Institute
juga memprediksi Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh
di dunia pada 2030. Tanpa kepemimpinan yang visioner, mustahil visi dan
titik-titik cerah tersebut akan tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar